Kiblat Kita

Ketika ALLAH memerintahkan kaum muslimin agar mengubah kiblat mereka dari semula di Baitul Maqdis menjadi Ka’bah di Masjidil Haram, sebagian kaum muslimin merasa berat dengan perintah ini. Mereka sudah terbiasa dengan kiblat mereka sebelumnya, dan ditambah lagi Yerusalem memang adalah bumi para nabi terdahulu, pembawa risalah tauhid, sama seperti yang dibawa oleh nabi mereka ketika itu dan Rasulullah panutan kita semua, Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya yang lebih berat dengan ketetapan ini adalah para ahli kitab. Alasan mereka tentu saja karena sebelumnya mereka bisa sedikit merasa bahwa kaum muslimin itu juga mengikuti mereka karena toh mereka juga menghadap Yerusalem, tetapi ketika hal itu diubah, mereka tidak punya alibi lagi bahwa Islam ini harus ikut dan dicocokkan dengan ajaran mereka, melainkan ajaran mereka lah yang harus ikut pada Islam, risalah penyempurna yang keberlakuannya hingga akhir zaman.

Tetapi di sini ALLAH hendak menguji kaum muslimin, mana yang mereka patuhi, kelaziman dan penerimaan yang selama ini telah mereka punyai atau apapun ketetapan ALLAH yang dikehendaki-Nya. Di sinilah ketaatan dan penyerahan diri seorang muslim amat diuji, ketauhidan orang-orang beriman ditanyai, apakah masih ada ilah lain yang mereka patuhi dan ikuti, atau memang betul-betul terbukti bahwa hanya ALLAH Ilah satu-satunya sebagaimana yang mereka akui. Sungguh mengena ketika ALLAH ‘mengklarifikasi’ ketetapan-Nya ini kepada kaum muslimin. Dikatakan dalam Al Quran :
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada ALLAH, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. “ (Q.S. Al Baqarah 177)

Amat jelas saat ini Umat Islam dijepit oleh Peradaban Timur dan Barat. Umat ini dikepung dengan berbagai definisi kebaikan dan kemajuan yang dikeluarkan oleh para pengusung kedua peradaban tersebut. Dan sayangnya, Islam ini tidak bisa dijalankan 10%, 20%, 50%, 75%, atau 90%, bahkan 99%, dan kemudian memberikan sisanya untuk nilai-nilai lain. Sungguh sayang, Islam tidak bisa dan tidak akan pernah bisa diperlakukan sedemikian. Islam itu harus dan hanya bisa dijalankan 100%, kaffah, menyeluruh. Sekalipun manusia menjalankan Islam itu 99% dalam hidup mereka, tetapi yakinlah, tidak akan Islam ini memberikan dirinya pada manusia 1% pun, yang ada hanya 0%. Islam itu penyerahan total, 100%, di luar itu yang ada hanya 0%.

Pernahkah kita berpikir sebenarnya hendak dibawa kemana umat ini ? Apa yang ada dalam pikiran kita ketika mendefinisikan umat yang maju, umat yang baik, umat yang menjadi panutan, dan umat terdepan? Sungguh begitu banyak ukuran kemajuan dan kebaikan bagi sebuah umat, namun sayangnya, ukuran-ukuran yang lebih banyak terdengar adalah ukuran yang dibuat oleh manusia itu sendiri, dan bukan ukuran yang telah diberikan oleh Sang Pencipta Manusia.

Negara yang maju bisa dilihat dari kemajuan materinya, begitulah kata Timur dan Barat. Tetapi bila manusia itu mau mendengarkan nuraninya, maka ia pasti bingung kenapa ketika materi itu yang dibuat maju, maka yang terjadi pada manusia adalah sebaliknya. Setiap yang didahulukan akan terus menjadi yang lebih dulu. Jadi jika materi yang didahulukan untuk dibangun, maka hanya ada satu kemungkinan, manusia yang terbangun oleh materi, ia tidak lebih hanya sebagai hamba dari yang membangunkannya.

Manusia yang cerdas adalah manusia yang pandai dalam menuntut haknya. Begitulah Barat menggaungkan. Mereka tempatkan kejelian dalam menuntut hak setara dengan keharusan memenuhi kewajiban. Tidak ada yang salah dengan cara berpikir ini. Hanya saja mental itu tidaklah dibentuk melainkan dari cara berpikir yang menjadi kebiasaan. Jika seorang manusia sudah bermental sebagai penuntut hak, maka rasanya hanya seorang tuan yang pantas bermental demikian. Dan jika manusia sudah menjadi tuan, maka yang lain hanyalah hamba yang diperbudak oleh sang tuan. Lalu bagaimana seorang tuan dalam waktu yang sama dapat berperilaku sebagai seorang hamba di hadapan Dia yang hanya pantas untuk menjadi Satu Tuan?

Hidup adalah untuk menunjukkan harga diri, begitulah slogan Timur. Demi harga diri, segala sesuatu dikerahkan, kemiskinan ditutupi, penghambaan disamarkan, bahkan nyawa pun rela diserahkan agar harga diri tetap bernilai. Cukuplah sikap sedemikian menunjukkan bahwa ilah mereka adalah harga diri mereka sendiri. Cukuplah topeng harga diri mereka lebih berharga ketimbang bisikan nurani mereka yang senantisa bertanya, apa arti hidupmu bila hidup dan matimu yang sudah jelas bukan dalam kuasamu tidak juga membuatmu bersiap untuk menghadap-Nya.

Barat dan Timur bekerja keras untuk cita-cita mereka, sehingga definisi kerja keras pun harus mengacu pada bagaimana mereka bekerja keras. Lebih sepertiga waktu dari sehari mereka sisihkan untuk yang mereka sebut bekerja. Waktu bekerja terpisah dari ibadah. Bekerja adalah untuk keluarga tetapi hanya sisa waktu dari bekerja untuk keluarga. Bekerja hanya untuk mempertahankan hidup tetapi sayangnya hidup yang ingin dipertahankan adalah kehidupan dunia, yang satu pasti darinya, yaitu ajal akan menjemput tanpa memberitahu mereka. Akibatnya, kenal saudara bukanlah hal yang penting bagi mereka. Berkumpul untuk beribadah bersama tidak lagi hal yang utama dibandingkan berkerja sendiri-sendiri untuk tujuan bersama. Lalu apa yang terjadi dengan sisanya? Bagi mereka, sisa waktu tidak boleh dipakai untuk bekerja, harus yang lain, untuk berpesta, hura-hura, dan apapun asal tidak bekerja. Bila ini definisi mereka dalam bekerja, dan ini pula yang terjadi pada kita, lalu apa bedanya kita dan mereka?

Umat harapan tidak mungkin membagi hidup mereka antara beramal dan selainnya, karena bila hidup itu tidak amal itu sendiri, maka yang ada hanyalah kesia-siaan semata. Umat harapan tidak bisa tidak, adalah umat yang kekuatannya adalah iman, penglihatannya melampaui dunia, perhitungannya adalah persiapan Hari Penghisaban, kesenangannya adalah bersusah payah meniti jalan surga, kewaspadaannya ketika ia tahu malaikat sudah di ubun-ubunnya, jalannya adalah yang dicontohkan Rasulnya, dan kitab yang paling sering dikhatamkannya adalah kitab-Nya.

Umat yang maju bukanlah umat yang membangun gedung-gedung megah menantang langit karena sadar tidaklah tembok yang tinggi dan tebal itu melainkan hanya membuat dirinya asing dari saudaranya dan begitu pula sebaliknya. Umat yang maju bukanlah umat yang kebingungan mendefinisikan yang mana teknologi dan yang mana hanya sekedar hobi. Amat sederhana, teknologi ada karena kebutuhan, tetapi hobi ada karena keinginan semata. Masa emas ilmu pengetahuan Islam dicapai ketika para ulama mampu menjawab kebutuhan saudara-saudara sekeliling mereka dengan apa yang disebut teknologi. Umat yang maju bukanlah umat yang memperturutkan cintanya pada dunia hingga manusia di belahan bumi lainnya tidak punya apa-apa lagi selain rasa harap dari sesama. Anehnya, ketika mereka mengabarkan bahwa mereka sedang menyelamatkan dunia dengan menyisihkan beberapa digit di belakang koma dari harta mereka, dengan bulat-bulat mereka hisap sumber penghidupan masyarakat lain benua. Umat yang maju itu adalah umat yang berpikir untuk memajukan sesama. Cinta pada-Nya dibuktikan dengan memberikan apa yang dicinta untuk saudaranya. Yatim dan fakir miskin betul-betul menjadi tanggungan mereka karena ingatnya mereka pada Nabi Yatim yang mulia dan jelasnya kedustaan mereka terhadap agama bila melalaikan dua golongan ini yang ada di tengah-tengah mereka.

Umat yang maju adalah umat yang menghapus penghambaan manusia terhadap manusia. Cukuplah bila manusia itu takut terhadap manusia lainnya, maka ia sudah disebut hamba dari manusia lainnya. Tidak lalainya mereka mendirikan shalat juga berarti tidak lalainya mereka membayarkan zakat untuk mensucikan harta mereka. Mereka senantiasa berusaha memenuhi janji karena mereka sadar, sekalipun mereka berkelit atas janji, Dia tidak pernah menyalahi janji. Umat yang maju adalah umat yang bersabar terhadap sunnah-Nya. Sunnah-Nya adalah, tidaklah sesuatu itu disebut perjuangan melainkan bila kesusahan dan penderitaan senantiasa dirasakan. Dan sikap mereka terhadap kepastian ini adalah bersabar. Mereka masih ingat bagaimana perjuangan Rasul mereka tercinta. Daun dan batu pun pernah mengisi dan menahan perut Sang Junjungan tercinta. Lalu bagaimana mungkin mereka berpikir untuk menghindari kepastian dalam perjuangan ini dengan berharap kalimat-Nya akan tegak di muka bumi. Cukuplah ini disebut tidak mampu mengambil pelajaran. Dan rasanya pemberhentian di dunia ini terlalu singkat untuk bertaruh dengan lebih memperturutkan akal ketimbang wahyu.

Sungguh tidak ada kesia-siaan yang melebihi mereka yang merasa sedang berjuang untuk memajukan umat dengan cara mereka masing-masing, namun di sisi ALLAH amal mereka layaknya fatamorgana. Betapa banyak manusia di Hari-Nya kelak meminta untuk dikembalikan ke dunia dan bersumpah untuk tidak mengulangi apa yang pernah mereka kerjakan di dunia, tetapi mana mungkin ALLAH memberikan kesempatan itu karena yang akan terjadi hanya pengulangan saja. Setiap saat kesempatan itu sudah diberikan di dunia, yaitu ketika nurani senantiasa bertanya, dan menghendaki kita menjawabnya dengan jujur, dan kemudian melangkah dengan kejujuran itu. Sungguh, belum tibakah masa untuk melihat kembali kiblat kita dan mengoreksinya bila ternyata berbeda dengan kiblat generasi terbaik umat ini, yaitu Rasulullah SAW, mereka yang terdahulu dan yang pertama mengumandangkan kalimat syahadat di muka bumi, dan orang-orang yang mengikuti mereka secara istiqamah. ALLAH ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada ALLAH. Lalu bukankah ini makna sejati dari umat terdepan?

Tidaklah umat yang selamat di akhir zaman kecuali terpenuhi tiga hal atas sang umat harapan. Berotak Quran, berhati Quran, dan semangatnya tidak lain adalah satu-satunya senjata yang tak tergantikan, ruh jihad yang tidak pernah padam!

Profil Singkat Penulis

Ibnu Kahfi Bachtiar, akhir Maret 2009 menyelesaikan S2 bidang energi terbarukan di Universitas Oldenburg (Jerman). Saat ini ikut membantu salah satu organisasi energi terbarukan di tanah air, melanjutkan penelitian, dan sedang belajar berwirausaha.