Solusi Damai Dua Negara ?

Pada tahun 1967, terjadi perperangan antara negara yang didukung penuh AS dan Inggris dengan negara negara Arab yang ingin mempertahankan wilayah mereka atau karena “tidak nyaman” dengan zionis (saya akan lebih memilih menyebut zionis sebagai penjajah palestina dari pada menyebut israil. Karena israil pada dasarnya adalah nama seorang nabi. Wallahu’alam bishawab).

Perang itu berakhir dengan kekakalahan. negara negara arab. Meskipun begitu, tetap saja timbul sebuah kesan bahwa keberadaan negara zionis di tanah palestina seakan akan selalu terancam. Beberapa tahun sebelum itu, sejak berdirinya negara zionis di tanah Palestina tahun 1948, pembunuhan dan pengusiran rakyat Palestina telah berlangsung, bahkan hingga saat ini. Semua kejadian itu dilandasi dengan alasan yang sama yang selalu di dengung dengungkan negara zionis, “untuk melindungi rakyat dan negara zionis”.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, dunia internasional telah beberapa kali mengajukan opsi perdamaian dua negara. Untuk mewujudkan opsi tersebut, telah diadakan beberapa kali perundingan. Sayangnya, sampai saat ini hasil dari perundingan masih terlihat sangat bias, jika memang bukan tak ada gunanya.

Perdamaian memiliki makna tersendiri bagi zionis. Perdamaian bagi mereka di aplikasikan dengan mengadakan blokade-blokade atas tanah yang diduduki oleh rakyat palestina, sehingga menyebabkan warga palestina berada dalam “penjara tanpa atap”.

Selain itu, selama proses perdamaian, negara zionis masih tetap merampas tanah warga palestina dengan membangun pemukiman pemukiman warga zionis. Ketika rakyat palestina yang di wakili para pejuangnya mengadakan perlawanan atas sesuatu yang menjadi hak mereka, tentara zionis membalasnya dengan satuan pasukan khusus yang di bekali senjata senjata paling canggih.

Dengan alasan untuk melindungi “rakyat dan negara zionis” mereka melakukan pembunuhan masal terhadap rakyat Palestina.

Semua ini tidak hanya terjadi satu kali, begitu banyak bayi bayi Palestina yang terbunuh karena “pembelaan diri” negara Zionis ini, padahal siapapun tahu, seorang bayi tidak mungkin memikul senapan apalagi menerbangkan sebuah roket. Begitulah, perdamaian di Palestina tidak pernah berjalan lama. Itupun jika benar benar pernah ada yang namanya “perdamaian”.

Kalau begitu, masih mungkinkah solusi dua negara. Kalau memang mungkin, berapa banyakkah lagi bayi bayi Palestina akan terbunuh karena menunggu aplikasi yang sebenarnya dari “perdamaian” itu.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, yang diringkas oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’I dengan judul “Kemuhan dari Allah, di katakan bahwa“Ketika Nabi saw diutus dan beliau mengingatkan kaum Yahudi akan janji mereka kepada Allah dan janjinya ihwal Muhammad Saw, maka (seorang Yahudi) Ibnu ash-Sha’if berkata, “Demi Allah, Allah tidak mengambil janji dari kami ihwal keimanan kepada Muhammad, dan kami pun tidak berjanji kepada Nya,” Maka Allah menurunkan ayat, “Apakah setiap kali mereka membuat perjanjian, sebagian mereka melemparkannya (al-baqarah 100).”

Berkenaan dengan firman Allah, “bahkan mayoritas mereka tidak beriman” (al-baqarah 100), al-Hasan berkata, “Adalah benar bahwa tiada perjanjian yang mereka ikrarkan di bumi ini melainkan mereka melanggarnya dan mencampakkannya. Hari ini mereka berjanji, esok mengingkarinya”.

Telah di ketahui bahwa sudah menjadi catatan sejarah bagi Yahudi sebagai sebuah kaum yang senantiasa mengkhianati janjinya, bahkan dengan Rabb mereka.

Dalam sirah Nabawiyah kita juga mengetahui bagaimana sikap Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati. Begitu juga dengan sifat mereka yang menjadikan hawa nafsu mereka mengalahkan sebuah kebenaran yang sebelumnya mereka yakini.

Beberapa saat setelah menempati Madinah, Rasulullah saw, sebagai kepala politk dan pemerintahan di Madinah, mengikat perjanjian dengan kaum Yahudi yang merupakan bagian penduduk Madinah. Salah satu butir perjanjian yang disepakati oleh Yahudi, seperti yang dimuat dalam Sirah Nabawiyah, Syaikh Al Mubarafakfury, ialah “Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang terikat dengan perjanjian ini dan wajib membantu orang yang di zhalimi”.

Perjanjian ini tidak berlaku lama. Beberap saat setelah terjadinya perang badar, kaum Yahudi bani Qainuqa merupakan kaum yang pertama kali meencederai perjanjian itu. Ibnu Hisyam mengisahkan melalui riwayat ibnu Aun dikatakan tentang seorang wanita muslimah yang pergi ke pasar bani Qainuqa dan duduk di sampig seorang pengrajin perhiasan. Beberapa orang dati Yahudi menganggu wanita ini dengan menyingkap jilbab wanita ini. Namun wanita ini menolaknya. Kemudian pengrajin itu mengikat ujung baju wanita ini sehingga ketika dia berdiri, auratnya tersingkap sehigga menjadi bahan tertawaan kaum Yahudi. Wanita inipun berteriak sehingga seorang muslim yang ada disana menyerang pengrajin ini hingga tewas. Kemudian orang orang Yahudi ini mengikat orang muslimin tersebut lalu membunuhnya. Sebelum ini, setelah di sepakatinya perjanjian tersebut diatas, kaum Yahudi telah beberapa kali menganggu dan mengolok olok kaum muslimin.

Rasulullah saw akhirnya mengusir mereka dari Madinah karena sikap mereka ini, padahal sebelumnya Rasulullah saw berkeputusan untuk menyerang mereka atas pengkhianatan yang mereka lakukan.

Kaum Yahudi lainnya, dari bani Nadhir juga mengkhianati perjanjian dengan merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah saw pada tahun keempat hijriyah beberapa saat setelah peristiwa Bir’u Ma’unah .

Hal ini bermula ketika Rasulullah saw dan beberapa sahabatnya pergi keperkampungan bani Nadhir untuk meminta diyat atas terbunuhnya dua orang yang berada di dibawah perlindungan Rasulullah. Namun sesampainya disana, Rasulullah saw mendapatkan rencana pembunuhan dari bani Nadhir sehingga beliau langsung pulang ke Madinah.

Padahal sebelumnya, Bani Nadhir kembali “menjanjikan”, (setelah perjanjian mereka sebelumnya yang telah di nodai oleh bani Nadhir tersebut) akan “membantu” beliau saw untuk membayar diyat . Untuk menyikapi hal ini, Rasulullah saw mengumpulkan sahabatnya untuk menyerang bani Nadhir. Namun akhirnya Rasulullah saw hanya “mengusir” mereka.

Begitu juga dengan bani Quraizhah. Mereka mengkhianati perjanjian dengan membantu dan memprovokasi bani Ghatafan dan kaum kafir Quraish untuk menyerang madinah.

Bahkan bani Quraizhah ini juga bergabung dengan mereka. Sehingga terjadilah perang Ahzab (golongan) yang berupa penyerbuan golongan kafir Quraish, bani Ghatafan, bani Qurai’zhah kepada kaum Muslimin Madinah. Nasib yang dialami oleh bani Qurai’zhah lebih naas dari dua kaum Yahudi sebelumnya. Atas keputusan Sa’ad bin Muadz ra, laki laki mereka dibunuh sedangkan kaum wanita dan anak anak mereka di tawan.

Satu hal yang perlu di garis bawahi disini, kaum Yahudi mengkhianati perjanjian kepada kaum muslimin yang pada waktu itu merupakan mayoritas dan memiliki kekuatan baik secara politis dan militer di Madinah. Lalu bagaimana ketika kaum muslimin itu tidak memiliki kekuatan secara politis terhadap Yahudi, seperti di Palestina.

Apakah masih ada harapan bahwa mereka akan menaati perjanjian Setiap orang, siapapun, barangkali merindukan “sebuah negri di awan, dimana kedamaian menjadi istananya”. Namun sayangnya “negri di awan” itu tidak pernah ada. Apalagi untuk kasus zionis dan palestina, fakta fakta di lapangan menunjukkan, harapan akan semua itu harus di bayar dengan harga yang sangat mahal.

Repubilka, 20 Mei 2009, menurunkan sebuah berita dengan judul “Zionis tak Jamin Negara Palestina”. Dalam artikel itu, harian Republika juga mengutip pernyataan perdana mentri Zionis, Benjamin Netanyahu yang menyatakan “ Saya tak mengatakan dua negara untuk dua rakyat. Kita perlu memberikan penjelasan mengenai hal ini. Apakah ini berarti negara Hamas? Saya berharap tidak. Jadi bagaimana, saya yakin ini bukanlah negara Hamas, sebuah entitas yang mengancam zionis? Menurut saya ini perlu penjelasan mendasar”.

Netanyahu, diberitakan Republika, menyatakan ia sanggup melaksanakan pembicaraan damai dengan Palestina sesegera mungkin. Namun ia pun menegaskan, kesepakatan apapun tergantung pada penerimaan hak Palestina terhadap hak zionis untuk eksis sebagai negara Yahudi.

Pernyataan ini di sampaikan oleh Netanyahu ketika melakukan pertemuan dengan presiden AS, Barack Obama di gedung putih. Pertemuan ini warnai dengan unjuk rasa dari warga AS termasuk dari kalangan Yahudi sendiri yang menolak disamakan dengan Zionis Zionis. Salah satu Poster yang di bentangkan oleh pengunjuk rasa Yahudi tersebut, seperti yang dimuat di Repubilka, berbunyi “Zionism and Judaism are extreme opposite”.

Memang, barangkali, ada benarnya, jika ada Yahudi yang tidak memusuhi islam (minimal tidak menampakkan permusuhannya) dan tidak menyerang umat islam. Sebagai contoh, seseorang yang dikatakan Rasulullah saw sebagai “seorang yahudi yang baik”.

Dialah Mukhaririq. Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Hisyam dalam sirahnya, Seorang Yahudi dari Bani Tsa’labah bin Al Fithayaun itu adalah Mukhairiq yang terbunuh pada perang Uhud karena melaksakanan perjanjian dengan Rasulullah saw.

Dalam poster unjuk rasa di gedung putih di awal tulisan ini, juga ada beberapa orang Yahudi yang menentang keberadaan zionis yang disebut mereka sebagai “opposite ekstrem”.

Meskipun begitu keberadaan mereka ini tidak lah mengawakili aspirasi kaum Yahudi yang lain (terutama di negara zionis). Suara mereka, seperti juga suara suara penduduk dunia yang lain, tidak pernah didengarkan oleh pemuka pemuka zionisme yang lebih menurutkan nafsu bejat mereka.

Jadi, masih adakah solusi damai dua negara, sampai kapan?
Wallahu’alam Bishawab…

Imanuddin Rahman
Alumni FMIPA UI
Alamat: Jl. Rawapule No 24. Kukusan Beji, Depok
Email:[email protected]

.