Islam, Antara Teks dan Akal Manusia

Hingga saat ini, dunia masih menyaksikan betapa peliknya perdebatan tentang hubungan antara Teks dan akal dalam islam, perdebatan yang berkepanjangan itu menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang sudut pandang mereka terhadap agama, ada yang menganggap bahwa agama tidak dapat di rasio, sebagai orang muslim kita cukup hanya sami’na wa atho’na saja, tanpa harus menanyakan mengapa Allah memerintahkan ini dan itu, sehingga dalam ber-islam tak jarang terasa hampa.

Namun di lain pihak, ada yang menyangkal kalau agama tidak dapat di rasio, agama yang manusiawi harus dapat di rasio oleh akal manusia, selama tidak dapat di rasio, harus dicari pembenaran supaya dapat di rasionalkan meski dengan mendekontruksi teks atau nash yang sudah di cap sebagai qoth’i, hingga sampai pada kesimpulan pada pendewaan terhadap akal itu
sendiri.

Memang dalam Islam akal memerankan posisi yang penting dalam upaya mengaplikasikan
nilai-nilainya, kita tidak bisa memisahkan akal dalam memahami agama kita, bahkan di saat yang lain akal bisa menjadi satu-satunya jalan untuk menetapkan kebenaran atas agama, misalnya dalam kaitannya membenarkan wujudnya Allah, dan tentang kebenaran kenabian, tidak mungkin kita menjelaskan kepada orang lain dengan memaparkan teks-teks Alqur’an, kita dituntut untuk menggunakan dalil rasional untuk itu, begitu juga dengan Kenabian, suatu yang sulit untuk mengakui kebenaran Rasul tanpa menggunakan akal, sebab dalam kaitannya dengan hal keimanan ini kita di tuntut untuk lebih yakin dari pada keraguan, dan iman yang lemah.

Kemuliaan akal bukan hanya pada hal itu saja, kitab suci mana selain Alqur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, afala tatafakkarun, afala tadabbarun, kitab mana selain alqur’an yang menyebutkan pujian terhadap ulil albab. Begitulah Islam, sebuah agama yang menolak kejumudan dan taqlid buta.

Masalahnya akan menjadi lain ketika kita di hadapkan dengan pertanyaan apakah ada pertentangan dari pada keduanya? Kita akan merasa rancu, dan bingung saat kita menjumpai teks yang berlawanan dengan akal fikiran kita, terkadang dari kebingungan inilah kita terpaksa menjadikan teks itu sesuatu yang wajib di tundukkan kepada akal, atau malah sebaliknya kita membiarkan kebingungan itu apa adanya seperti kata teks, dengan penuh pasrah kita ikuti saja apa kata teks, walaupun tak jarang kita merasa belum puas akan jawaban itu.

Dalam kitab Dar’ut Ta’arudh Al Aql Wa Annaql yang tebalnya sepuluh juz, dengan tegas Ibnu Taymiah menolak pertentangan antara Teks dan Akal, menurut beliau antara teks dan akal sungguh tidak akan ada pertentangan antara keduanya, ketidak pertentangan antara teks dan akal terjadi ketika akal itu Shorih dan Teks yang Shahih, jadi ketika terjadi pertentangan antara keduanya, itu dikarenakan akal itu tidak Shorih atau teks yang tidak Shohih. Sebuah kemustahilan jika Teks bertentangan dengan Akal, karena keduanya sama-sama ciptaan Allah, kalau toh kita dapati itupun hanya dalam tekstual saja, tapi ketika kita mau berfikir dengan jeli, pertentangan itu akan dapat kita hilangkan tambah Dr Yusuf Qardhawi dalam dalam kitabnya Al Islam Wal Qodhoyal Mu’ashir.

Namun bukan berarti kita bisa mengkombinasikan antara teks dengan akal kita secara mutlak, ada batas-batas yang mana akal kita akan memerankan sedikit peran, pertama pengetahuan tentang alam ghaib seperti Malaikat, Lauhil Mahfudz, ‘Arsy, dan lain sebagainya, ketika wahyu telah menerangkan kepada kita tentang hal ini kita tidak usah menjadikan akal kita repot-repot berfikir apa dan bagaimana bentuknya, kita cukup beriman saja tentang keberadaannya, kedua adalah sesuatu yang telah di tetapkan hukumnya secara qoth’i atau qot’hiyyu tsubut dalam Alqur’an misalnya seperti kenapa Allah mewajibkan shalat lima waktu di saat siang pagi dan sore, kenapa shalat dengan bahasa arab, dalam menyikapi hal ini imam Ghazali memberikan perumpamaan seorang dokter yang memberikan resep kepada pasien, si pasien pasti tidak paham kenapa dokter memberikan resep seperti ini, tapi saat si pasien mau melaksanakan resep dokter dia akan sembuh, begitu juga dengan kita, kita hanya dapat mengatakan pasti ada hikmah di dalamnya meski kadang sebagian hikmah itu dapat kita ketahui dan sebagian lainnya tidak kita ketahui.

Seseorang yang ingin menundukkan teks kepada akal manusia, dia adalah orang yang salah, karena bagaimanapun akal tidak dapat kita tinggalkan sendirian tanpa ada pembimbing, karena akal seperti kata Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid, membutuhkan pembimbing karena memang terkadang akal itu di liputi oleh sesuatu perkara yang bisa menjadikan sesuatu itu kacau balau.

Kalau kita membiarkan teks yang sesuai dengan akal, kita dapat bertanya akal siapa yang dijadikan sebagai acuan, apakah akal orang awam, orang pilihan, para filusuf? sementara para filusuf itu sendiri berbeda pendapat satu sama lain tentang satu masalah, belum lagi filusuf seperti apa, apakah filsuf materialis, atau filusuf yang lain?

Terakhir kalinya penulis katakan akal manusia tidak cukup untuk memahami ajaran Allah yang universal, kita membutuhkan pembimbing, dan pembimbing itulah yang kita sebut sebagai wahyu yang termanifestasikan dalam bentuk Alqur’an dan Al hadist Rasulullah, Wallahu a’lam

Profil Penulis

Muhammad Bahaur Rijal, Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo Mesir S1 Fakultas Syari’ah Islam Semester 5