Izinkan Kami Menata Ulang Peradaban!

Sejarah telah mengubur dalam-dalam puing reruntuhan Sosialisme-Komunisme. Ideologi yang diusung Karl Marx, Lenin, Stalin dan kawan-kawannya itu telah terbukti gagal menyejahterakan manusia bersamaan dengan bubarnya adidaya Uni Soviet yang pecah menjadi serpihan tak bernilai. Dan sepertinya wajar saja jika ide-ide mereka tak lagi diminati sebab memang tak bisa memberi solusi. Kalaupun ada geliat bangkitnya paham kiri ini, maka itu tak lain hanyalah riak kecil saja.

Lantas, dengan sistem apakah dunia menapaki hari-harinya? Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History menyatakan bahwa sejarah telah berakhir. Dan demokrasi dengan kapitalisme-nyalah yang menjadi pemenang. Namun, benarkah tesisnya itu? Yang jelas, Jeremy Seabrook menampik hal tersebut. Ia menganggap kapitalisme yang merupakan saudara dekat liberalisme itu sebagai biang kerok kemiskinan global. “Apakah ekonomi melayani umat manusia, ataukah kemanusiaan telah ditindas untuk melayani ekonomi?” demikian tulisnya dalam Kemiskinan Global; Kegagalan Ekonomi Model Neoliberalisme.

Pernyataannya itupun didukung begitu banyak fakta yang mengindikasikan semakin dekatnya kehancuran kapitalisme. Lihat saja begitu jauhnya jurang kesenjangan kaya-miskin. Menurut Hammer (1994: 16), pada saat ini 20% penduduk dunia (The Club of Rich) menguasai 83% kekayaan dunia, mengendalikan 81% perdagangan dunia dan mendapat 81% hasil investasi, sembari menikmati 70% energi, 85% persediaan kayu dunia dan 60% pangan. Perbandingan kekayaan 20% penduduk terkaya dunia dengan 20% penduduk termiskin dunia adalah 60 berbanding 1. Data lain mengemukakan bahwa tren kemiskinan semakin memburuk. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dolar per hari meningkat menjadi 1,214 miliar jiwa (20% penduduk dunia). Selain itu, 1,6 miliar jiwa (25% penduduk dunia) lainnya hidup antara 1-2 dolar sehari.(The United Nations Human Development Report, 1999).

Indonesia pun tak jauh beda. Walaupun mengaku bermazhab ekonomi Pancasila, tetap saja kiblatnya adalah kapitalisme. Konglomerat tak beradab dan pihak asing dilayani dengan istimewa oleh pemerintah. Aset-aset strategis diobral murah. Termasuk yang jelas-jelas menguasai hajat hidup orang banyak-yang notabene harus dikelola negara berdasarkan UUD 1945- diprivatisasi tanpa merasa berdosa. Mungkin sebentar lagi, pemerintah juga akan menjual pulau-pulau di nusantara untuk melunasi utang berbunga ‘lunak’ dari IMF. Data Susenas yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik pada Maret 2005 menunjukkan jumlah orang miskin mencapai 39,05 juta orang atau 17,5% penduduk Indonesia. Ya wajar saja, lha wong harga-harga pada membumbung tinggi, upah nggak naik juga, celetuk seorang ibu.

Belum lagi jika kita melihat tingkat pengangguran yang selalu meningkat tajam, kelaparan yang menjadi tradisi rutin dan pendidikan yang selalu diagungkan tapi tak pernah dipedulikan. Masalah buruh belum selesai, lebih sedih lagi menyapa generasi muda yang terkena bias budaya ekstravaganza. Sikap hedonis yang didesain pemahaman liberal membuat mereka menjadi free thinker dan telah menuai hasil. Hasil penelitian LSCK PUSBIH di Yogyakarta memperlihatkan bahwa 97,05% mahasiswi di kota pelajar itu telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Parahnya, semua responden mengaku semua itu dilakukan tanpa ada paksaan alias atas dasar suka sama suka. So, have fun aja. Begitu mungkin pikir mereka. Dalam sebuah seminar yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur di FISIP Universitas Airlangga, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ketika itu Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend meningkat. Tetapi peningkatan itu bukan disebabkan oleh pemerkosaan melainkan karena suka sama suka alias free sex. Bahkan di Surabaya ada 6 dari 10 gadis yang sudah tidak perawan lagi.

Peredaran narkoba pun tak terbendung. Pada tahun 2000 lalu, tercatat ada 4 juta pengguna narkoba di seantero Indonesia. Dari jumlah itu, 70% di antaranya adalah anak usia sekolah, 14-20 tahun. Na’udzubillah.

Islam, Sebuah Solusi

Kalau Anda seorang muslim, maka tak perlu pusing mencari solusi. Sebab, dien ini sudah sempurna dan mengatur segenap aspek hidup. Tak percaya? Simak saja surah Al-Maidah ayat 3, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Masalahnya, kita belum konsisten melaksanakan syariah. Mayoritas umat Islam hanya mau mengambil Islam setengah-setengah. Yang mahdhah (ritual) saja, tidak yang muamalah (sosial). Mereka mengikuti langkah syaithan dengan tidak menjalankan Islam dengan kaffah (menyeluruh) sebagaimana diinstruksikan Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah:208. Padahal Rasulullah Muhammad Saw. telah membuktikan bagaimana ia membangun kegemilangan peradaban dengan tuntunan wahyu (Al-Qur’an). Mendirikan sebuah Imperium besar tak tertandingi yang diteruskan khulafa al rasyidin hingga akhirnya diruntuhkan dengan kepicikan Mustafa Kemal Pasha di masa Daulah Utsmaniyyah pada tahun 1924.

Lihatlah sistem ekonomi non-ribawi yang menentramkan dan memberdayakan. Semuanya untuk kemaslahatan rakyat. Mulai dari konsep zakat, infaq, shadaqah, fidyah, dam, wakaf dan sejenisnya. Sampai-sampai di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, amil-amil zakat berkeliling benua Afrika untuk mencari fakir miskin yang berhak menerima zakat, namun tak ditemukan. Sistem politik Islam juga begitu mengagumkan. Sistem yang jujur tak pernah menipu seperti demokrasi lipstiknya barat. Demokrasi barat tak pernah meridhai kemenangan kelompok Islam meskipun demokratis seperti FIS di Aljazair dan HAMAS di Palestina karena dianggap akan menghancurkan demokrasi itu sendiri, tetapi Islam sesungguhnya tak pernah memusingkan bentuk negara. Yang penting, apakah negara tersebut dapat berperan sebagai instrumen penegak syariah Allah atau tidak. Demikian Anis Matta dalam pandangan Suherman, M.Si (Rekonstruksi Politik Kaum Muslim: Studi Interpretatif atas Pemikiran H.M. Anis Matta).

Bukti lain jayanya Islam di masa lampau adalah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan. Pencapaian prestasi gemilang itu tercermin dari lahirnya par ilmuwan semisal Al Biruni (fisika, kedokteran), Jabir Haiyan (kimia), Al-Khawarizmi (matematika), Al Kindi (filsafat), Ibnu Khaldun (politik, sosiologi), Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Rusyd (filsafat) dan masih banyak nama lain lagi. Bahkan bangsa Eropa mengenal kebiasaan mandi dan membuat jamban setelah belajar dari umat Islam yang kala itu persebarannya sudah sampai ke Andalusia.

Ilmuwan barat sendiri mengakui secara jujur kebenaran hal itu. “Sepanjang masa kekhalifahan Islam, para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya; menyediakan peluang kepada siapapun yang membutuhkan; memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah mereka; menjadikan pendidikan menyebar luas hingga ilmi, sastra, filsafat dan seni mengalami kejayaan luar biasa yang membuat Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durrant, Story of Civillization). Sekarang, tinggal kita ubah paradigma berpikir. Kita harus kaffah berIslam. Juga meninggalkan hukum thagut yang menjauhkan umat ini dari rahmat Allah dan menggantinya dengan Islam yang jelas-jelas merupakan rahmat bagi semesta. “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumya selain Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Maidah:50) Al-Ghuraba’, Generasi Perubah

Saat mayoritas anak muda shopping di mall atau mejeng di jalanan, mereka asyik beraktivitas di sudut-sudut masjid. Ketika sudah banyak muda-mudi yang terjerumus ke lembah hitam seks bebas, mereka bahkan mengharamkan pacaran, karena merupakan bentuk lain dari mendekati zina. Di kala kaum hawa zaman kiwari ini berbusana begitu terbuka tanpa batas, mereka menutup rapat-rapat auratnya dengan jilbab rapi hingga seluruh tubuh. Kalau kebanyakan anak lelaki sudah biasa nyabu, maka mereka merokok pun tidak.

Muhammad Fathi menuliskan, “Merekalah generasi yang keislamannya tidak hanya sebatas shalat, shaum dan dzikir. Namun, generasi yang dadanya bergejolak saat kesucian agama dihinakan. Hatinya meleleh, bersedih dengan setiap kelemahan jiwa padahal ia masih bisa bernafas. Generasi yang tidak menyia-nyiakan usianya begitu saja, namun mengubahnya menjadi kekuatan dahsyat untuk sebuah karya.”(The Power of Youth)

Merekalah yang Allah janjikan dalam QS. Al-Maidah:54, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Merekalah generasi baru (jiilun jadid) yang dinubuwatkan Rasulullah, “Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaanya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing (ghuraba’). Merekalah orang-orang yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.”(HR. Ahmad)

Merekalah yang akan mengubah dunia dengan tuntunan wahyu, berakidah salim, beribadah shahih, berakhlak kokoh. Dengan tarbiyah (pembinaan) dan tashfiyah (pemurnian) mereka akan memimpin peradaban dan menyelamatkan manusia dari adzab ketika berpaling dari syariah, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha:124).

Kalian tidak percaya? Silahkan engkau tertawa sepuas hatimu, ku tak akan berpaling karena hinaan itu. (Untuk Para Pengabdi, Virgiawan Listanto)

Profil Penulis

Anugrah Roby Syahputra, berdomisili di Kabupaten Aceh Besar, alumni SMA Negeri 1 Binjai, Sumatera Utara dan Program Diploma Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Medan. Sekarang bergiat di Forum Lingkar Pena Aceh. e-mail : [email protected] HP : 085262000442 Alamat : Komplek Rumah Dinas Kanwil Ditjen Bea dan Cukai NAD Jl. Reformasi, Desa Santan, Kec. Ingin Jaya, Kab. Aceh Besar, NAD