Osama, Asymmetric Warfare dan Gerakan Dakwah

Di balik kejadian-kejadian besar, sering kali tersimpan pesan sederhana namun sangat subtansial yang luput dari perhatian publik. Pun yang terjadi dengan kabar “tewasnya” Osama bin Laden di ujung senjata-senjata mesin SEAL Team 6 (ST6), yang awal Mei ini menjadi trending topic berbagai media nasional dan internasional.

Helicopter hovering above Abbottabad at 1AM (is a rare event)”. Demikian tulis Sohaib Athar, pengguna Twitter yang tinggal di Abbottabad, Pakistan, yang tercatat sebagai pewarta pertama penyerbuan militer AS yang menewaskan Osama bin Laden.

Menggunakan akun @ReallyVirtual, konsultan TI yang tinggal di Abbottabad tersebut, mengabarkan tewasnya Osama sekitar tujuh jam sebelum Presiden AS Barack Obama menyampaikan pernyataan resmi, Senin (2/5/2011) pagi. Apa yang dilakukan oleh Sohaib Athar tersebut, merupakan fakta revolusi informasi melalui new media.

Media Quantum

George W. Bush menjadikan media sebagai mesin propaganda stigma negatif pasca runtuhnya World Trade Centre pada 11 September 2001. Sesaat setelah runtuhnya simbol keangkuhan AS di kota New York tersebut, Bush sekonyong-konyong menuding Osama bin Laden dan jaringan Al Qaidah sebagai dalang. Walau berbagai saksi dan bukti menguatkan fakta adanya rekayasa pada kejadian yang memukul telak AS di awal abad 21 tersebut.

Namun Bush terlanjur berkhotbah di atas kepongahannnya. Bahwa Osama bin Laden, Al Qaedah dan Islam lah yang harus bertanggung jawab. Dalam waktu relatif singkat, stigma negatif menjadi debranding bagi keindahan Islam. Islam menjadi momok menakutkan di seluruh penjuru dunia.

Mesin-mesin industri media AS dan Zionis, memblow up tanpa pandang etika cover boot side. Berita disetting sedemikian rupa untuk memojokkan Islam. Islamofobia dimana-mana. Termasuk juga dampaknya kita rasakan di Indonesia. Gerakan-gerakan Islam, tiba-tiba dipandang miring. Dekade pertama abad 21 menjadi pertarungan citra Islam sebagai agama rahmatn lil alamin.

Kini, hampir sepuluh tahun setelah propaganda itu berjalan dengan memanfaatkan momentum nine eleven (11 September 2001). Osama bin Laden telah diklaim tewas oleh AS (walau hingga kini tidak ada bukti otentik). Penyerbuan pasukan SEAL Team 6 ke Abbotthabad, tempat yang diklaim AS sebagai persembunyian Osam, pertama kali di wartakan secara sederhana, refleks dan tanpa perencanaan mellaui media baru (new media) oleh Sohaib Athar.

Convergensi Global

Super high way information, itulah yang terjadi. Secara virtual, informasi teraktual menembus rumah hingga ke kamar kita, dari semua penjuru dunia. Penetrasi digital menyerbu bahkan kadang di luar kesadaran kita. Bumi terpolar menjadi satu dalam genggaman information technology (IT).

Di dalam buku The World is Flat : a Brief History of The Twenty First (2005), Thomas L. Friedman telah memprediksi bahwa dunia akan di datarkan oleh konvergensi peristiwa yang berhubungan dengan politik, inovasi, dan perusahaan. Perkembangan cepat membuat manusia semakin sibuk, manusia saling terkoneksi satu sama lain menembus batas ruang dan waktu. Tembok-tembok runtuh dan jendela mulai dibangun. Globalisasi menjadi kunci wajah baru dunia di abad 21 tersebut.

Setiap orang di dunia memiliki kesempatan yang sama dalam mamanfaatkan peluang di lapangan. Jika dahulu perubahan di bawah kendali elite, kini civil society juga memegang peranan penting dalam proses perubahan sosial karena mampu menggerakkan massa. Perubahan sosial ini, sejalan dengan keyakinan dua penganut teori konvergensi, Evans dan Sthepens (1988) yang telah meramalkan kecenderungan konvergensi.

Oleh penganut teori konvergensi, modernisasi dan pembangunan dilihat telah bergerak secara positif untuk semakin memperbaiki diri. Determinasi terhadap teori perubahan sosial yang selama ini disempitkan dalam ruang dikotomi analisis tradisionalisme dan modernisme secara kasus per kasus, tidak lagi dilihat dengan pendekatan universalisme.

Variabel perubahan seperti agama, budaya, kelas, gender, negara, gerakan sosial hingga perusahaan multi nasional (MNC), menjadi entitas baru dalam mendesakkan perubahan ke ruang global.

Media Dan Islamisasi

Keber-agama-an misalnya dapat kita saksikan di Indonesia. Pasca reformasi dengan keterbukaan informasi, arus pemikiran agama mengalir deras dari Timur Tengah. 13 tahun kemudian, kita menyaksikan muslimah bangga dengan identitas ke-Islam-annya, mengenakan jilbab dengan tetap mengikuti trend mode.

Jika dahulu film bioskop hingga sinetron dipenuhi dengan adegan laga kolosal, di kekinian bahasa dakwah dengan setting cerita Timur Tengah, jamak kita saksikan. Religiusitas masyarakat menjadi mainstream baru seiring polarisasi ruang global.

Pun demikian dengan perusahaan global yang berbasis new media dan commerce orinted seperti Google, Facebook, Twitter, Yahoo, YouTube, dan sederet perangkat IT lainnya, menjadi media transformasi gagasan dan informasi yang mengubah paradigma masyarakat baik lokal, maupun dalam interaksi global.

Mengutip dari Dr.Mansour Fakih (2008), dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena urusan salah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain.

Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan suatu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan oleh power (kekuasaan) yang menjadi backbone. Media, oleh Jenderal Perang fenomenal asal Prancis, Napoleon Bonaparte, diakui memiliki kekuatan super, lebih menakutkan dari bedil seribu orang musuh.

Instrumen-instrumen polarisasi ruang global, yang selanjutnya melahirkan Gen-C (dipopulerkan Dan Pankraz. Gen-C bisa berati genrasi connected, cyber atau disebut juga digital creative) ini, dapat kita saksikan dari berbagai rilis data yang mengindikasikan semakin meleknya masyarakat dengan informasi yang didukung oleh fasilitas internet. Dalam hal ini new media memegang peranan secara radikal.

Pada tahun 2008 jumlah pengguna internet di Indonesia 24,5 juta orang. 15 juta diantaranya mengakses internet dengan handphone (mobile internet) sebagaimana dikutip dari buku Craking Zone karya Prof. Rhenald Kasali PhD.

Dua tahun kemudian, seiring dengan makin populernya jejaring sosial, yaitu pada 2010 angka tersebut melonjak menjadi 45 juta orang pengguna internet (Kemenkominfo). Signifikasi peningkatan ini, tak lepas dari semakin meleknya masyarakat terhadap kebutuhan informasi yang kian hari kian cepat dan mampu menyerbu ruang referensi kita.

Fakta fenomenologi (fenomena teknologi) tersebut tentu menyimpan sejumlah implikasi, baik positif maupun negatif. Dampak positif mislanya, masyarakat mengetahui apa yang terjadi dibelahan bumi lainnya dalam hitungan menit, bahkan secara realtime.

Alat Politik

Perubahan media ini, baik oleh pers yang berada dalam korporasi maupun “pers yang tidak melembaga” atau lebih relevan disebut dengan citizen journalis, membentuk perilaku tersendiri dalam dunia politik. Fakta bahwa kesadaran pencitraan berbanding lurus dengan perkembangan demokrasi bangsa-bangsa, termasuk juga di Indonesia.

Kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melengganga ke istana selama dua kali pemilihan umum mislanya, tak dapat dinafikan berakar dari pengaruh besar media yang menjadi lapangan terbuka ataraksi pencitraannya. Maka wajar jika sukses SBY kemudian melahirkan budaya latah, diikuti oleh politisi lain di negeri ini. Mulai dari politisi balita (yang baru lahir) hingga politisi yang sudah uzur, semua memanfaatkan media untuk pencitraan.

Media juga menjadi alat efektif dalam mengontrol pemerintah dalam kebijakan-kebijakan politiknya. New media seperti Facebook, Tweeter, You Tube, Yahoo, dan lainnya, dalam waktu relatif singkat menjadi ruang raksas yang menampung segala macam saran, protes dan kritik hingga tuntutan revolusi dari masyarakat.

Dalam kasus politik global, kita dapat saksikan terhadap gelombang revolusi yang hingga kini masih menghantui penguasa-penguas despotik di Timur Tengah dan Sub Afrika. Gerakan menuju ke arah tersebut, dapat kita saksikan pada gelombang revolusi di Asia Barat dan Afrika Utara saat ini.

Dengan menembak isu global –demorkasi dan HAM-, blowup media telah meggerakkan massa. Efek yang lahir dari perang asimetris (asymmetric warfare) di sejumlah Negara, berhasil mengubah peta politik global. Secara sadar, kita harus mengakui bahwa media-lah pemilik kekuatan super quantum itu.

Jika media menjadi senjata bagi Barat untuk mendekonstruksi citra Islam, maka dalam konteks dakwah, kekuatan media, -termasuk juga new media- seharusnya kita manfaatkan sebagai counter. Stigma negatif dari media-media asing, yang secara vulgar menyerang Islam, mereduksi antusiasme dan rasa percaya diri Muslim terhadap kebenaran agamanya adalah pekerjaan rumah yang harus diseriusi.

Bahasa dakwah, sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 125, menjadi relevan dilakukan di tengah gelombang new media. Mengajak dengan cara hikmah, melalui new media. “Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..."

Jusman Dalle; Penulis Analis Ekonomi Politik Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute dan Aktifis KAMMI Wilayah Sulselrabar