The Third Wave Democratization dan Akhir Hegemoni Barat

Mengacu pada tesis Samuel P. Hungtington dalamThe Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century(1991) yang mensinyalir bahwa dunia Arab dan kawasan Timur Tengah tidak dapat menutup diri dari arus global demokratisasi kenyataan itulah yang kini terjadi.

Bagai oase ditengah sahara, gelombang perubahan –demokratisasi- akhirnya mengamuk di seantero jazirah. Gersangnya kehidupan dibawah kooptasi dan cengkraman kuku-kuku besi rezim yang setia mengawasi, akan segera berakhir. Penguasa despotik negeri-negeri tempat dimana para anbiya (nabi) pernah menjejak dakwah, kini dicekam ketakutan diterjang gelombang perubahan.

Mungkin disana ada titisan Fir’aun yang pongah karena kuasa, atau turunan Qarun yang seolah menembus langit akibat kesombongan dengan harta melimpah yang akhirnya mengabdikan namanya terkubur dalam sejarah keangkuhan material. Tapi selalu begitu, dimana ada Fir’aun disitu ada Musa, tumbuh dan beranjak dewasa. Pada akhirnya Musa melawan, dan tak ada gentar atas sihir material, karena tongkat kebenaran tergenggam erat.

‘Fir’aun vs Musa Abad 21’
Siapa sangka, aksi bakar diri tukang sayur Mohamed Bouazizi menjadi hulu ledak revolusi yang menyulut emosi rakyat hingga menumbangkan diktatorTunisia, Presiden Zein Abidin Ben Ali. Dan kini, gelombang revolusi itu menginspirasi jazirah. Menjalar sepanjang sahara menyusuri aliran sungai Nil, menjadi momok bagi diktator-diktator yang dalam hitungan beberapa dekade, memiskinkan sekaligus mengisolasi masyarakat jazirah arab dari modernisasi, khususnya kebebasan politik.

Rezim yang berhasil mendekonstruksi citra Islam dengan negara-negara arab sebagai representasi, menjadi buruk di mata dunia. Aksi Mohamed Bouazizi setidaknya menjadi cracker bagi cerita kusam negeri-negeri Islam yang barangkali dikangkangi turunan Fir’aun dan Qarun.

Yang teranyar dan hingga kini masih terus bergolak adalah Mesir. Tak lama setelah tumbangnya Zein Abidin, rakyat Mesir ikut terinspirasi untuk mengulingkan diktator Housni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga dekade sejak tahun 1981.

Hingga kini di negri Fir’aun itu, sudah lebih 100 orang korban jiwa dan ribuan luka-luka sebagaimana dilansir beberapa media. Rakyat Mesir anti Mubarak solid untuk satu tuntutan yaitu Mubarak harus mundur dan segera diadakan perubahan fundamental atas konstitusi negara yang selama ini dijadikan sebagai landasan normatif bagi rezim Mubarak untuk mengebiri hak-hak rakyat.

Nil yang teduh, membelah empat negara sepanjang Afrika, mengantar Musa As menyusur ke Istana Fir’aun menjadi saksi atas titisan darah Musa mengaliri jiwa anak-anak muda yang merindu perubahan. Tahrir Square terus berismbah darah, sudut-sudut Alexandria hingga Kairo diterkam cekam. Namun Nil masih setia dan bisu dalam dekapan rindu yang bergejolak, seperti ekspresi ‘pemuda-pemuda Musa’ itu. Sejarah memang kerap terulang, Fir’aun versus Musa Modern kembali bertemu, dan kali ini ‘Musa’ yang memiliki pasukan superior, dan akan menenggelamkan ‘Fir’aun’ di Laut Merah.

Gelombang Demokratisasi
Terus memuncaknya amarah rakyat Mesir yang berlanjut pada bentrok berdarah membuat sejumlah negara Arab secara saksama mengikuti perkembangan yang terjadi, tentu disertai ketakutan kalau-kalau mereka menyusul nasib Zein Abidin dan Mubarak. Sebut saja misalnya Suriah, Libya, Yaman, Jordania, Sudan, dan bahkan juga Arab Saudi.

Suriah sendiri sudah mempersiapkan diri. Presiden Suriah Bashar al-Assad yang mewarisi kekuasaan ayahnya, Hafez al-Assad, yang berkuasa selama tiga dekade di Suriah, mengatakan bahwa ia akan mendorong demokratisasi dalam bentuk reformasi politik. Bashar bahkan mengajak para penguasa Arab untuk lebih akomodatif terhadap aspirasi politik dan ekonomi rakyatnya. Ajakan Bashar, pun di amini oleh Libya yang berada dibawah rezim Muammar Qaddhafi.

Pun oleh Raja Yordania, Abdullah II pada tanggal hari Rabu, 2 Februari kemarin, telah menyerah pada tekanan publik dan membubarkan kabinetnya dengan menunjuk perdana menteri agar segera melakukan reformasi politik. Oleh Ikhwanul Muslimin, salah satu kelompok Islam modern yang mengusung Pan Islamisme, Raja Abdullah II diminta agar segera menghilangkan hak absolut raja untuk menunjuk perdana menteri, mengeluarkan dekrit dan membubarkan parlemen. Kelompok ini juga meminta agar partai-partai diberi keterlibatan lebih luas dalam pemerintahan, khususnya di parlemen.

Sementra itu pemuda-pemuda dari kelompok pers dan pemuda di San’a Yaman, juga tak mau ketinggalan. Seperti juga di Tunisia, Mesir, Yordania, negeri Ratu Saba’ itu menginginkan pergantian rezim Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah memimpin selama lebih 30 tahun. Artikulasi perubahan dengan jargon demokratisasi terus diteriakkan. Pemerintah berkuasa yang pro pada kepentingan Amerika tidak lagi legitimate di mata publik Yaman yang membatasi hak-hak politik rakyat.

Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika pada Kamis (3/2/2011) sebagaimana dikutip kantor berita nasional Aljazair, juga akan mencabut aturan darurat yang telah diberlakukan selama 19 tahun. Pasca pencabutan aturan tersebut, maka masyarakat bebas melakukan demonstrasi sebagai bentuk ekspresi politik. Hak-hak partai politik pun akan diperluas.

Perubahan Geopolitik Timur Tengah
Efek domino dari demam demokratisasi dan tekad untuk keluar dari keterpurukan multidimensi baik ekonomi maupun politik tak akan pernah usai. Amerika Serikat (AS) dan saudara jauhnya, Zionis Israel tentu tak akan tinggal diam karena merasa terancam. Kedua negara ini adalah pemangku kepentingan terbesar di kawasan Timur Tengah.

Maka tak heran jika Perdana Menteri Zionis Israel, Benjamin Netanyahu dan Presiden AS, Barrack Husein Obama terus memantau perkembangan di kawasan. Khusus untuk Mesir, yang menjadi gerbang dan menempati posisi kunci atas pengaruh AS-Zionis Israel, secara intensif dimonitor dari Gedung Putih.

Ketakutan ini bukan tanpa alasan, bisa jadi Mesir akan berpindah kendali ke kelompok oposisi, kelompok Islam konservatif Ikhwanul Muslimin, yang merupakan kekuatan terbesar setelah National Democratic Party (NDP), partai pendukung pemerintahan Housni Mubarak. Dan inilah ketakutan terbesar AS dan Zionis Israel.

Kegagalan NDP menyampaikan dan memenuhi aspirasi rakyat yang tercermin dari kegagalan pemerintahan Mubarak, menjadi dasar delegitimasi terhadap partai tersebut. Sementara keseriusan Ikhwanul Muslimin dalam mengusung ide-ide perubahan dengan kehidupan demokratis adalah tawaran baru menuju kesejahteraan.

Kenyataan ini menjadi stimulus bagi meluasnya aseptability (penerimaan) masyarakat terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin. Kesuksesan PartaiKeadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki yang berafiliasi pada ideologi politik kenegaraan Ikhwanul Muslimin, menjadi bargaining position tentang role model politik Mesir masa depan. Sehingga kekosongan tokoh dan pilihan politik pasca Mubarak menjadi bola manis bagi Ikhwan.

Selain di Mesir, Tunisia yang di masa transisi ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi juga akan diambil alih oleh partai berhaluan Islam. Partai Al Nahdah atau Partai Renaisans yang didirikan oleh Syaikh Rashid Ghannouchi adalah partai papan atas dan berpotensi besar mengendalikan pemerintahan Tunisia. Partai An-Nahdhah, didirikan pada tahun 1981, berfokus pada menghidupkan kembali peran masjid, menolak pemisahan antara agama dan negara dan mendukung Arabisasi pendidikan sambil mempertahankan pembelajaran untuk bahasa asing.

Dianggap sebagai wakil utama Islam politik di Tunisia, Al-Nahdhah bertujuan membuktikan penerapan Islam dalam segala hal kehidupan dan menolak kekerasan sebagai sarana perubahan sementara menegaskan pentingnya konsultasi (syura) dalam menyelesaikan politik, budaya, dan isu-isu intelektual. Menghadapi demokrasi, faksi faksi politik Islam sendiri terfriksi menjadi setidaknya tiga kelompok.

Pertama, kelompok yang menolak demokrasi secara absolute dengan alasan bahwa demokrasi merupakan ideologi politik yang bersumber dari barat dan didasarioleh ruh kapitalisme yang materialistik. Demokrasi yang meninggikan akal manusia di atas segala-galanya, menurut kelompok ini, tentunya kontradiksi dengan ajaran Islam yang transenden, suci sehingga harus ditolak.

Kedua, kelompok moderat kritis yang melihat demokrasi sebagai batu loncatan untuk merebut kepemimpinan Islam. Bagi mereka, demokrasi hanyalah alat dan ijtihad politik untuk mencapai tujuan Islam, mengatur kehidupan manusia. Tentu disertai dengan kritisisme saat demokrasi itu kontradiksi dengan nilai-nilai agama.yang termasuk di dalam kelompok ini adalah HAMAS di Palestina, AKP di Turki, Al Nahdah di Tunisia, dan Ikhwanul Muslimin di Mesir serta Suriah.

Ketiga, yaitu kelompok yang tidak melihat apakah negara menggunakan sistem demokrasi atau sistem Islam, bagi kelompok ketiga ini ketika hak-hak ibadah dan kebutuhan dasar mereka terpenuhi,tidak ada masalah.

Jika kita melihat geopolitik Islam di negara-negara yang tengah bergolak tersebut, maka kedepan kelompok Islam akan mengendalikan beberapa negara. Sebutlah misalnya HAMAS yang telah menguasai Palestina, AKP yang telah mengendalikan Turki, An Nahdah yang berpeluang besar di Tunisia, Ikhwanul Muslimin berpeluang besar di Mesir dan di Suriah, begitu pula di Sudan dan Yaman.

Jika kenyataan ini terjadi, maka geopolitik di Timur Tengah akan bergeser menjadi vis a vis dengan kepentingan AS-Zionis Israel. Kelompok kekuatan politik Islam yang pro Demokrasi, akan mengurangi atau mungkin menghilangkan pengaruh AS serta Zionis Israel di Timur Tengah. Seperti Mesir yang memasok 40 persen energi Israel. Kedua negara yang selama ini energinya bergantung dari Timur Tengah akan terbonsai, karena langkah pertama yang akan dilakukan oleh kelompok politik Islam jika berkuasa, adalah menyelamatakan ekonomi rakyat dalam bentuk nasionalisasi dengan meninjau ulang kontrak dengan perusahaan asing. Termasuk melakukan proteksi terhadap produk AS yang selama ini menjadikan kawasan itu sebagai pasar utamanya.

Negara industri sekelas AS dan Zionis Israel yang sektor ekonominya digerakkan oleh energi dari Timur Tengah akan kehabisan pasokan, dan kehilangan pasar pada akhirnya melemah. Disisi lain, ideologisasi dan institusionalisasi Islam oleh partai dan kelompok Islam pro Demokrasi akan membangkitkan semangat dan percaya diri umat Islam di Timur Tengah yang selama ini dikebiri oleh diktator boneka Amerika-Zionis Israel. Akhirnya, apa yang dipostulatkan Samuel P. Huntington tentang Clash of Civilization, benturan peradaban antara Islam dan Barat akan terjadi. Inilah awal dari akhir hegemoni politik barat (AS-Zionis Israel) terhadap kawasan Timur Tengah.

…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Ali Imran: 140)

Jusman Dalle; Humas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia –KAMMI- Daerah Makassar dan Humas Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam Regional Sulawesi Selatan
Bisa dihubungi via blog di http://jusmandalle.cerita.web.id/ dan via Facebook: Jusman Dalle II