Marketing Politik Syariah, Antitesa Politik Kamuflase

Kita dikagetkan dengan ulah sejumlah anggota DPR yang menggelar rapat di hotel berbintang di daerah Prapatan, Jakarta sejak Kamis (9/6). Mereka yang tergabung dalam Panja RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan tega memilih tempat rapat bertarif mahal –berdasarkan informasi, Rp. 1,6 juta/malam-, untuk hanya membahas satu pasal dalam RUU OJK tersebut.

Apa yang anggota DPR tersebut lakukan tentu tidak relevan dengan kondisi bangsa dan rakyat, dimana ketimpangan sosial masih menggurita. Namun apa lacur, jurus-jurus mabuk politisi selalu mampu menutupi penyimpangan-penyimpangan mereka. Apa lagi kalau bukan ditutupi dengan politik pencitraan. Jadilah yang salah dianggap benar.

Dinamika Politik

Diskursus tentang siasah (politik) selalu menarik untuk dikaji. Bukan karena di sana ada kekuasaan yang secara alamiah memiliki daya magnetik bagi setiap manusia, akan tetapi dalam Islam sebagaimana pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna, siasah dan kekuasaan menjadi spektrum yang memiliki otoritas untuk menegakkan syariat Allah SWT.

Sayyid Quthb sebagai penerus pemikiran Imam Syahid Hasan Al Banna, kemudian lebih tegas mengatakan bahwa hanya ada dua sistem dan model masyarakat, yaitu jahiliyah dan masyarakat islami. Maka kewajiban setiap muslim untuk membebaskan dirinya dari kungkungan jahiliyah. Ide ini merupakan ide dasar pemikiran gerakan Sayyid Quthb sebagaimana ditulis oleh Ust. Abu Ridho di dalam bukunya Islam dan Politik (2004).

Sebagai negara demokratis, di Indonesia, dinamika politik mengalami perkembangan pesat dengan berbagai eksperimen yang semakin fleksibel. Marketing politik salah satunya, menjadi cabang kajian akademik yang baru. Perkembangan ini sejalan dengan keterbukaan ruang informasi dan dukungan tekhnologi, dimana masyarakat mengambil referensi dalam setiap keputusannya sebagai bagian dari entitas politik, baik secara aktif maupun pasif.

Di Indonesia, penulis buku Marketing Politik, Prof. Firmanzah (2006) memunculkan istilah pemasaran politik, yang merupakan perilaku bagaimana politisi dan partai politik bisa memasarkan ide dan gagasannya, memenangi persaingan, atau mengelola partai politik.

Pemasaran politik adalah rangkaian proses yang berawal dari mengumpulkan informasi, pemetaan dan analisis semua persoalan, hingga kemudian perumusan solusinya. Ini merupakan proses hulunya. Proses yang jarang disentuh oleh partai dan pelaku politik yang cenderung elitis. Dengan demikian partai politik, seharusnya menempatkan litbang (penelitian dan pengembangan) sebagai divisi strategis.

Hingga pada akhirnya program yang dibawa oleh partai politik akan sesuai dengan kondisi permasalahan nyata di masyarakat. Hal ini, akan menghindarkan partai politik dari pragmatisme. Proses ini bermuara pada pemosisian (positioning) partai politik yang jelas sehingga tidak menimbulkan kegamangan pemilih dalam mengambil keputusan menentukan pilihannya.

Jika melihat perkembangan politik kontemporer, apa yang disebut sebagai marketing politik ini sejatinya telah menjadi bagian dari strategi politik di Indonesia sejak awal reformasi. Setidaknya bermula pada pemilu tahun 2004. Bukan saja oleh parpol sebagai organisasi politik, akan tetapi hingga ke personal-personal politisinya.

Politik Kompetitif

Sejak periode reformasi bergulir, sejumlah konsultan politik yang terpisah secara organisasional dengan parpol, muncul sebagai lembaga yang bekerja secara profesional dengan tugas memenangkan customernya (parpol), termasuk juga politisi baik calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif.

Fenomena ini semakin memperkeras sphere kompetisi dalam dunia politik. Berbagai strategi politik hanya cenderung pada kontruksi brand image (citra merek) tidak selalu korelatif dengan realitas. Artinya terjadi marketing kamuflase, yang dalam bahasa agama disebut sebagai kebohongan atau dusta.

Misalnya dalam kampanye, untuk menarik massa, maka dibuatlah seribu satu macam janji demi menarik voters, tapi setelah terpilih janji tinggal janji. Maka jamaklah politisi munafik yang mengumbar janji dan dusta.

Lain lagi misalnya dengan politisi yang mengedepankan image melalui media massa, yang oleh penulis disebut sebagai pemimpin yang mengkontruksi kekuasaan nihil skill leadership. Tetapi menjadikan media sebagai basis kekuatan leadership.

Model pemimpin seperti ini pada titik tertentu akan sulit mengkomunikasikan dirinya secara real, apa adanya kepada masyarakat. Maka biasanya, media selalu menjadi pelarian untuk menepis berbagai isu yang bisa mengancam kredibilitasnya.

Padahal era keterbukaan informasi yang diperkuat oleh makin besarnya netizen (penduduk internet yang terkoneksi dan bisa berbagai informasi kapan dan dimana saja) saat ini, memungkinkan masyarakat mengambil cross information dari sumber yang beragam. Artinya masyarakat dapat memverifikasi validitas suatu image yang ‘direkayasa’ oleh lembaga-lembaga marketing atau konsultan politik.

Oleh karenanya, menjadi penting meninjau ulang mainstream marketing politik yang secara tidak langsung turut mengkontaminasi karakter para pelakunya. Jangan sampai pemimpin-pemimpin yang lahir dan mengelola negeri ini pada dasarnya tidak memliki kapasitas, hanya mengandalkan citra!

Kekhawatiran ini tentu tidak berlebihan jika kita melihat perkembangan respon masyarakat akhir-akhir ini yang sering diartikulasikan melalui kritik kepada parpol dan politisi, khususnya penguasa. Misalnya protes melalui demonstrasi, seminar, opini di media dan berbagai kritik yang bernada skeptik.

Boomerang Politik

Rilis Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada akhir Mei 2011 ini, cukup menguatkan kekhawatiran berbaliknya marketing politik yang dilakukan selama ini, menjadi boomerang, mengancam iklim demokrasi kita.

Menurut data LSI, saat ini ada 80% swing voters atau floating mass (massa mengambang), yaitu mereka yang jika pemilu diadakan saat ini, mereka belum menetapkan pilihan. Massa mengambang merupakan pemilih rasional dan sensitif terhadap dinamika politik. Mereka adalah pemilih terdidik.

Alasannya tentu beragam, tapi dari hasil survey tersebut, alasan yang jamak karena kekecewaan terhadap pemerintah sebagai representasi dari parpol pemenang pemilu. Bahkan survey tersebut menggambarkan rontoknya loyalitas konstituen pada parpol. Termasuk loyalitas pemilih SBY dan Partai Demokrat pada pemilu 2009 lalu, terkoreksi cukup radikal. Anjlok dibawah angka 50% (mediaindonesia.com).

Trend signifikan massa mengambang ini sejalan dengan sikap pragmatis partai-partai politik yang ramai-ramai memperlihatkan perilaku tanpa basis nilai (ideologi politik).
Maka menyongsong pemilu 2014 yang masih menyisakan waktu 3 tahun, partai politik harus berbenah, memperbaiki diri dengan intropeksi mendalam, dalam bahasa Josep Schumpeter disebut dengan menghidupkan “Kreatifitas dan Inovasi”.

Sementara itu, untuk menarik massa mengambang tersebut, Nursal (2004) mengafirmasi agar menggunakan strategi pull-marketing, yaitu mengontruksi image politik yang positif. Menurut Robinowitz dan Mcdonald (1989), simbol dan image politik harusnya membangkitkan sentimen yang oleh Gioia dan Thomas (1996), dikatakan sebagai identitas.

Marketing Syariah

Kontruksi identitas tentunya harus realistis, sesuai dengan validitas karakter dan perilaku politik dan politisi di lapangan. Konstruknya adalah ideologi dan patron politik. Untuk menggaet pemilih, maka dalam konteks inilah marketing politik syariah menjadi solusi sebagai antitesa atas kepalsuan sebagian besar politisi kini.

Syaikh Al-Qardhawi mengatakan, cakupan dari pengertian syariah menurut pandangan Islam sangatlah luas dan komprehensif (al-syumul). Artinya bahwa dalam syariah marketing politik, seluruh proses, baik proses perumusan, proses penawaran, maupun proses perubahan nilai (value), tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islami. Tidak seperti gaya pemasaran (marketing) yang dilakukan oleh partai politik pada waktu-waktu terdahulu, masih berada di livel intelektual rasional yang manipulatif.

Muhammad Syakir Sula (2006) dalam bukunya Syariah Marketing yang ditulis bersama Hermawan Kartajaya, menuliskan empat prinsip dasar marketing syariah. Di dalam tulisan ini disinkronkan dengan kajian politik.

Pertama adalah rabbaniyyah yaitu jiwa politisi dikontruksi dengan basis nilai agama yang transenden. Meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang bersifat ketuhanan adalah yang paling adil, paling sempurna, paling selaras dengan segala bentuk kebaikan, paling dapat mencegah segala bentuk kerusakan, paling mampu mewujudkan kebenaran, memusnahkan kebatilan dan menyebarluaskan kemaslahatan.

Sehingga dalam meramu janji-janji kampanye selaras dengan aturan Islam. Baik dari niat maupun dalam komitmen aplikasi. Politik yang akan berujung pada power (kekuasaan) menjadi sarana memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kedua adalah akhlaqiyyah. Yaitu mengedepankan akhlak (moral, etika) dalam seluruh aspek kegiatan politik, karena nilai-nilai moral dan etika adalah nilai yang bersifat universal, yang diajarkan oleh semua agama sehingga dapat diterima oleh semua manusia. Akhlaqiyah ini tentu menjadi antitesa terhadap perilaku politik yang jamak kita saksikan telah keluar dari koridor sebagai wakil rakyat atau pemimpin, dengan predikat “orang terhormat”.

Ketiga adalah al-waqi’iyyah atau realistis. Sebagaimana keluasan dan keluwesan syariah Islam yang melandasinya, maka aktifitas marketing politik harus dapat diterima nalar dan logika kolektif masyarakat. Bukan manipulasi dan kamuflase atau kita kenal dengan istilah pencitraan.

Keempat yaitu insaniyyah atau manusiawi. Bahwa Islam diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara. Filosofi politik adalah power untuk mendistribusi kesejahteraan kepada semua masyarakat tanpa pandang kelas dan strata bsosial.

Sebagaimana syariat islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariah humanistis dan universal.

Oleh Daniel Bell (1960) di dalam bukunya The End Of Ideology : On the Exhaustion of Poltiical Ideas in the Fifties di uraikan bahwa di Barat, konsensus para intelektual politik menerima negara kesejahteraan (welfare state) untuk mewujudkan welfare economics, desentralisasi kekuasaan, sistem ekonomi yang melibatkan pemerintah –di luar mekanisme pasar-, serta pluralitas politik. Sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial.

Maka kesejatian politisi adalah melayani semua masyarakat, bukan hanya kelompoknya saja. Disinilah politisi terlepas dari perangkap slogan yang mengatas namakan rakyat. Bahwa rakyat menanti realisasi dari klaim memperjuangkan kepentingan mereka. Pada akhirnya kita sadar bahwa bekerja dengan fakta jauh lebih melekat di dalam benak masyarakat dari sekedar slogan hampa dan palsu! Wallahu’alam

Jusman Dalle; Penulis adalah Pengurus Pusat KAMMI
Sedang melakukan riset untuk buku “Holistikasi Marketing Politik”