Karakter Bangsa yang Terkikis

Indonesia dikenal sebagai negara besar didunia dan memiliki posisi strategis secara geopolitik dan geoekonomi. Indonesia kaya dengan potensi demografi dan geografi, memiliki ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke, kepulauan Indonesia dipenuhi dengan beraneka ragam potensi alam di permukaan maupun dalam perut bumi. Namun terkikisnya identitas dan jati diri bangsa yang dimulai dari pemimpin membuat martabat sebagai sebuah bangsa berdaulat berkurang maknanya. Bangsa besar dan jaya sebagaimana cita-cita kemerdekaan sepertinya akan terus mengalami degradasi makna.

Kepercayaan dan penghargaan dunia terhadap bangsa Indonesia semakin berkurang karena lemahnya karakter para pemimpin dalam mengedepankan nilai kebangsaan. Elit bangsa justru sebagiannya menjadi pelaku kejahatan terhadap negara seperti korupsi dan berbagai perilaku moral hazard. Di saat yang sama, kebijakan menerima liberalisasi ekonomi menurut hukum pasar (free market) tanpa proteksi, membuat Indonesia kembali harus terjebak dalam permainan bangsa-bangsa pemilik modal.

Negara-negara maju bebas mengintervensi kebijakan ekonomi bangsa-bangsa lemah (third countries) dengan kekuatan modal dan kebijakan melalui lembaga ekonomi dunia seperti World Bank (WB), Internatonal Moneter Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO), atas nama globalisasi dan liberalisme. Kuatnya hegemoni dan cengkeraman kapitalisme global dalam dunia politik dan ekonomi membuat Indonesia yang memang masih lemah tidak mampu keluar dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.

Menurut Francis Fukuyama (2003) istilah liberalisme adalah aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Tetapi istilah William K.Tabb (2003) menyebutkan globalisasi membentuk kembali rezim perdagangan dan keuangan dunia serta mendefinisikan ulang kesadaran pada tingkat yang paling dekat dan lokal, mempengaruhi bagaimana orang memandang dirinya sendiri, ruang gerak anak-anak mereka dan entitas mereka. Beragam identitas mengalami perubahan akibat kekuatan globalisasi. Realitas ini menunjukan bangsa menghadapi tantangan yang sangat besar, sehingga diperlukan upaya pembangunan karakter dan identitas bangsa dalam berbagai aspek. Pemimpin negeri perlu menyadari tugas pembangunan karakter bangsa ini sebagai bagian penting dalam menanamkan spirit nasionalisme menuju amanah besar membangun kedaulatan dan kejayaan bangsa.

Sejarah Terus Berulang
Jika tidak belajar dari sejarah maka keburukan sejarah itu akan berulang pada setiap generasi. Prof. Amien Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia (2008) mengungkapkan berulangnya sejarah jatuh bangun negeri ini justru dipicu oleh kebodohan dan mental inlander sebagian elit yang memegang kekuasaan pada masanya. Dahulu negeri kita dijajah oleh VOC dengan dukungan politik, kekuatan militer, lembaga keuangan, media, bahkan dukungan kaum intelektual para orientalis seperti misionaris Snouck Hurgronje.

Kenyataannya yang sama kita saksikan saat ini, walaupun tidak ada penjajahan politik dan militer lagi, kita telah kehilangan kedaulatan ekonomi sampai pada titik yang sangat mencemaskan. Kekuatan korporasi asing (Multinational Corporate) telah menguasai dan mendikte perekonomian nasional hampir secara keseluruhan di berbagai bidang seperti perdagangan, keuangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, bahkan hingga pada kebijakan politik dan pertahanan.

Maka sejarah berulang, kita kembali terjajah dan mungkin akan terus terjajah, jika tidak ada inisiatif bangkit bergerak! Harus muncul kesadaran untuk belajar dari kejatuhan bangsa dan mengubahnya menjadi cambuk pelecut meraih kemerdekaan dan kedaulatan sejati. Mendidik pemuda agar berjiwa patriot dan tidak bermentalitas inlander. Ini rupanya alasan pemerintah negara-negara macan Asia seperti Jepang, China dan India mendidik anak muda mereka di bawah kesadaran nasionalisme yang tinggi, agar tidak menjadi pemimpin murahan pada saatnya meraih kekuasaan. Indonesia bisa jadi terpojok dengan kesuksesan semu membangun nasionalisme lewat program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di seluruh kelompok masyarakat. Namun seterusnya gagal mendefinisikan model pembangunan karakter bangsa pada para pemudanya justru pada era reformasi yang penuh kebebasan. Akibatnya justru pada era reformasilah kita melihat penjualan aset negara BUMN secara instan dan besar-besaran terjadi. Saat oposisi elit bangsa meneriakkan kemerdekaan dan demokrasi, lalu ketika berkuasa mereka bebas menjual aset negara.

Maka, membaca ulang dan mempelajari sejarah amat penting untuk tidak mengulang kejatuhan bangsa akibat kesalahan elit-elitnya. Those who don’t learn from history, are doomed to repeat it. Siapa pun yang tidak belajar dari sejarah, mereka pasti mengulanginya.

Saran dan komentar bisa dialamatkan ke
email: [email protected]
blog: taufiqamrullah.blogspot.com

Profil Penulis:

Taufiq Amrullah, putra Bugis yang lahir di Malua, Enrekang, Sulawesi Selatan pada 6 Juni 1980. Menamatkan pendidikan sarjananya di jurusan Teknik Elektro Universitas Hasanuddin Makassar pada 1998-2002, dan pascasarjana program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (MPKP FE UI) pada 2004-2006. Pendidikan informal diperoleh dengan mengikuti berbagai training, kursus dan studi banding di bidang teknik, ekonomi, sosial dan politik. Pada Agustus-September 2008 mengikuti International Visitor Leadership Program di lima negara bagian di Amerika Serikat mengenai ‘Grassroot Democracy: Campaign and Election’.