Kita Butuh Pemimpin Visioner

At Basle I founded the Jewish State… Perhaps in five years, and certainty in fifty, everyone will know it.”*

(Di Basel saya mendirikan negara Yahudi…Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam lima puluh tahun, tiap orang akan mengetahui itu) THEODOR HERZL, Pendiri Zionisme (1860-1904)

Ada yang menarik dari seorang Herzl, sang pendiri gerakan Zionisme. Dia memiliki visi yang jauh ke depan. Inilah yang membuat kenapa Herzl disebut sebagai salah seorang Yahudi yang punya visi jauh ke depan. Dalam salah satu tulisannya, dia berkata bahwa di Negeri Basel, Swiss, dia telah mendirikan Negara Yahudi. Itu diyakini olehnya, kalau tidak dalam waktu lima tahun ke depan, maka itu akan menjelma dalam lima puluh tahun. Dan, betul, pada 1948 apa yang dicita-citakan oleh Herzl pun menjadilah: Berdirinya Negara Israel.

Tentunya, gerakan zionisme yang memiliki banyak cacat itu tidak ingin kita ikuti. Dengan tega, gerakan ini telah merampas hak asasi bangsa Palestina baik yang Muslim ataupun Kristiani. Namun yang menarik dari seorang Herzl adalah, dalam konteks pergerakan, dia memiliki visi yang begitu jauh ke depan. Beberapa kali dia ditolak oleh Yahudi sendiri, tapi karena perjuangannya juga, bangsa Yahudi bisa disatukan.

Saya tidak mengajak kita semua untuk ikut alur hidupnya Herzl, tapi yang bisa kita petik dari dia adalah, visinya yang begitu besar. Betapa hari ini kita melihat banyak penyimpangan anggaran, korupsi merajalela, skandal demi skandal terkuak. Ini berarti ada yang salah di situ. Apakah para tokoh kita di negeri ini tidak memiliki visi yang jauh untuk kemajuan dan kesejahteraan kita semua? Saat ini, kita membutuhkan pemimpin yang punya visi besar, visi masa depan. Pemimpin seperti ini memang tidaklah dilahirkan secara tiba-tiba. Ia dibentuk, dikader secara sistematis, dididik dalam suasana kepemimpinan, dan sejarah hidupnya patut untuk ditiru. Kemenangan Obama di Amerika, salah satunya karena Obama mengetahui kehendak dunia. Dia tidak ingin terlalu frontal terhadap dunia Arab, walau dia tetap mengatakan bahwa dia sangat pro dengan Israel.

Kita membutuhkan pemimpin yang tidak pragmatis. Bukan yang hanya memanfaatkan jabatan hanya untuk kepentingannya pribadi atau kelompok, akan tetapi untuk kemaslahatan bersama. Artinya, bahwa ketika seseorang telah menjadi tokoh publik, maka visi hidupnya juga akan menjadi publik. Dia tidak hanya menjadi miliknya kalangan tertentu saja, akan tetapi dia menjadi milik bangsanya.

Ketika salah satu partai memanfaatkan tokoh nasional, seharusnya juga tidak dijadikan bumerang. Itu berarti, tokoh yang kita idolakan dalam kelompok kita juga diakui, dan diangkat oleh kelompok lain. Keinginan untuk hanya mengkotak-kotakkan seorang pahlawan yang bervisi besar nanti malah akan menjadi mentah ketika sang tokoh hanya diklaim sebagai milik kelompok tertentu, yang kebetulan sang tokoh pernah lama bergelut di lembaga itu.

Pemimpin yang visioner ini kita butuhkan dalam semua level kehidupan. Di kantor, di jamaah pergerakan, kampus, sekolah, gerakan buruh, tani, begitu juga gerakan kemahasiswaan. Kita membutuhkan para pemimpin yang punya visi jauh, yang kemudian diterjemahkan ke dalam gagasan-gagasan kecil praksis di lapangan.

Kita belajar dari nabi besar kita Muhammad SAW yang telah mendidik para sahabatnya untuk menjadi pemimpin di masa depan. Walau dikemudian hari ada konflik antar para sahabat, tapi karakter kepemimpinan itu ada. Nabi telah mencotohkan kepada kita semua betapa semua kita adalah pemimpin, dan tiap kita akan dimintai pertanggunganjawab di hari kelak. Seorang yang punya visi masa depan, tentu tidak akan menggunakan kepemimpinannya untuk bersantai saja, atau untuk meninggikan derajat diri dan kelompoknya saja, akan tetapi pikirannya untuk semua, untuk bangsanya.

Pada akhirnya kita berharap semoga dari rahim negeri kita akan muncul banyak pemimpin besar yang bukan hanya tampil menjelang kampanye, akan tetapi telah tampil sejak lama secara bertahap tapi pasti. Pemimpin visioner, apakah karakter itu telah ada dalam diri kita?

***

*Michael Prior. Zionism and the State of Israel. London & New York: Routledge. 1999, hal. 6

Profil Penulis:

Yanuardi Syukur. Lahir di Tobelo (Halmahera Utara), 13 Januari 1982. Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta dan Jurusan Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini sebagai mahasiswa Pascasarjana Pps UI Kekhususan Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah Angkatan XV.

Email: [email protected]
Blog: yankoer.multiply.com