Konsep Hukum Waris; antara Adat dan Syariat

Pak Rahmat adalah saudagar terkemuka di daerah ini, selain memiliki perusahaan yang banyak, Pak Rahmat dikenal oleh masyarakat sebagai dermawan yang kerap kali memberikan sumbangan materil untuk pembangunan fasilitas umum di wilayahnya. Namun sayang, nyawa manusia memang sudah ditakdirkan, ia kemudian meninggal dunia dalam usia ke-63 lantaran penyakit Hepatitis yang sudah lama ia derita. Sungguh naas, sepeninggal Pak Rahmat timbullah perselisihan antara istri, anak-cucu dan saudaranya berkaitan harta warisan yang ia tinggalkan, mereka bertikai dalam pembagian harta warisan yang melimpah-ruah tersebut antara siapa yang berhak dan yang tidak, perpecahan pun terjadi, harta warisan Pak Rahmat kemudian membeku dan tiada lagi alokasi dana untuk zakat, sedekah maupun donasi lainnya bagi masyarakat yang membutuhkan.

Cerita di atas mungkin hanya sekedar sinopsis fiktif yang tidak pernah terjadi, namun alur cerita yang dimainkan oleh keluarga besar Pak Rahmat mungkin sering kali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Masalah pembagian harta waris sangatlah urgen, oleh karenanya Allah secara langsung telah mensyari’atkan hukum pewarisan di dalam Al-Qur’an sebagai tawaran solutif agar tidak terjadi perpecahan dalam sebuah keluarga muslim. Mungkin kita lupa atau tidak tahu –atau bahkan tidak ingin tahu– bahwa sejak 14 abad silam sebenarnya Allah telah memaparkan solusi tersebut secara gamblang dalam surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176.

Dalam sistem pensyariatan, dikenal istilah ijmaliy (global) dan tafshiliy (rinci), pada umumnya ayat Al-Qur’an selalu datang dalam bentuk ijmaliy. Seperti perintah untuk shalat, membayar zakat dan menunaikan haji, Al-Qur’an tidak menerangkan secara detail kapan seorang muslim harus shalat, harta apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya, dan bagaimana menunaikan haji, apa syarat, rukun dan yang membatalkan sebuah ibadah, semua itu diterangkan oleh Rasulullah Saw dalam sunnahnya. Namun coba anda kembali buka ayat-ayat pewarisan di atas, perhatikan dan amati, di sana anda akan menemukan ayat-ayat tersebut datang dalam bentuk tafshiliy (detail), ayat-ayat tersebut secara langsung menyebutkan bagian-bagian tertentu (al-furudh al-muqaddarah) yang berhak dimiliki oleh masing-masing ahli waris. Dari indikator di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa penerapan hukum waris berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Mengetahui merupakan suatu keharusan.

Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan sebuah hadits dari Ahwash dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Pelajarilah ilmu mawarits dan ajarkanlah, karena sesunguhnya suatu saat aku akan meninggal, dan ilmu ini –mawarits– akan hilang, dan aku takut jika nanti terdapat dua orang yang bertikai dalam permasalahan warisan sedangkan mereka tidak menemukan orang yang dapat memberikan solusi bagi mereka.” Hadits tersebut membicarakan tentang keberadaan Mawarits (ilmu hukum pewarisan Islam) yang kini mulai punah. Kecemasan Rasulullah kini mulai terbukti, bahwa sekarang umat Islam lambat-laun mulai meninggalkan konsep Mawarits dan tengah beralih menuju konsep-konsep baru yang terlahir dari praktik adat-istiadat. Sudah maklum bahwa sehebat apapun hukum manusia tidak akan pernah bisa menandingi hukum Tuhan Yang Maha Adil.

Mawarits kini semakin terpinggirkan dan terlupakan, pertama karena tidak banyak orang mengetahui akan Ilmu ini dan kedua masih terlalu banyak yang menyepelekan urgensi Mawarits hingga berasumsi bahwa permasalahan intern dalam hal pewarisan dapat diselesaikan melalui asas kekeluargaan saja. Selain itu, dampak dari termarjinalnya Mawarits mengakibatkan merebaknya praktik-praktik yang terlanjur mendarahdaging dalam adat kebudayaan masyarakat Indonesia perihal penentuan dan pembagian harta waris, yang mana jika praktik tersebut kita rujuk kembali kepada kamus syariat Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) maka tidak akan kita temukan, ataupun jika kita temukan ternyata praktik adat Indonesia tersebut bertolakbelakang dengan apa yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Seperti ‘wasiat’ misalkan, dalam adat masyarakat kita wasiat berarti seseorang yang sebelum meninggal telah menentukan bahwa harta peninggalannya nanti diberikan kepada anaknya si fulan atau istrinya si fulanah, sehingga tatkala si pemilik harta meninggal, maka ahli waris yang telah ditentukan bagian dari harta peninggalan tersebut –ketika si pemilik harta hidup– dapat memilikinya secara langsung melalui akad wasiat. Hal ini jika dikolerasikan dengan hadits Rasulullah maka sangatlah bertentangan, karena sebagaimana diriwayatkan oleh lima Imam Hadits (Imam al-Khamsah) kecuali Imam Nasa’i bahwa Rasulullah bersabda, “…Wasiat itu bukanlah untuk ahli waris” hal tersebut jelas, karena bagian ahli waris dari harta peninggalan telah ditentukan dalam Al-Qur’an dengan cara pewarisan, sehingga ahli waris tidak berhak memiliki harta peninggalan tersebut dengan cara wasiat.

Sedangkan dalam Islam, kata ‘wasiat’ berarti seseorang yang sebelum meninggal telah menentukan bahwa harta peninggalannya kelak diberikan kepada si A atau yayasan B atau masjid C, kepada saudara jauh, teman, instansi ata apa saja dengan syarat bukan termasuk ahli waris dan dengan syarat wasiat tersebut tidak boleh melebihi dari sepertiga harta peninggalan. Karena Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad ibn Abi Waqash secara tegas telah menentukan bahwa wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari harta peninggalan, “(wasiat itu) Sepertiga, dan sepertiga itu sudah cukup banyak…” Hadits inilah yang dijadikan landasan utama dalam wasiat dan inilah yang disepakati oleh ulama semenjak era sahabat hingga sekarang.

Selain praktik wasiat, kita juga mengenal praktik adopsi anak (anak angkat) yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Dalam adat nusantara, adopsi berarti mengambil anak orang lain dan menjadikannya sebagai anak kandung dengan memasukkan nasab dirinya kepada anak yang diadopsi, sehingga ketika si “orang tua” meninggal maka anak angkatnya tersebut dapat mewarisinya. Praktik adopsi dahulu juga santer di kalangan bangsa Arab jauh sebelum Islam datang, bahkan Rasulullah sempat mengadopsi Zaid ibn Haritsah dan menjadikannya sebagai anak angkat sehingga dipanggil Zaid ibn Muhammad, namun semenjak turunnya ayat 37 dari surat Al-Ahzab Allah secara tegas mengharamkan praktik adopsi. Maka nasab Zaid pun dikembalikan kepada ayah kandungnya sehingga dipanggil Zaid ibn Haritsah.

Adopsi dilarang di antaranya karena dapat menyebabkan percampuran nasab, itu artinya jika seseorang menganggap anak orang lain atau mengambilnya dengan tujuan baik yaitu menjadi orang tua asuh baginya tanpa memasukkan nasab dirinya kepada anak asuh tersebut, serta memanggilnya dengan nasab orang tua kandungnya maka hal ini tidaklah dilarang (lih; al-Ahzab:5), bahkan ini adalah hal yang terpuji karena merupakan sebuah bentuk sedekah yang amat mulia.

Selain adopsi anak, dalam adat-istiadat kita juga masih kental dengan budaya merasa sok berjasa atau merasa lebih ‘senior’ dibanding yang lain. Dengan demikian seumpama seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak lelaki, istri dan saudara kandung, maka sang saudara dari si mayit yang –sebenarnya menurut Al-Qur’an dan sunnah– tidak berhak sedikitpun dari harta itu (karena adanya anak lelaki), namun terkadang malah merasa paling berkuasa atas harta warisan tersebut dan mengambil alih seluruh harta dari saudaranya yang telah meninggal tersebut. Atau misalkan orang yang meninggal tadi memiliki empat istri dan delapan anak laki-laki, biasanya istri pertama ataupun anak yang tertua merasa lebih berhak akan harta warisan tersebut, merasa lebih berjasa dan berkuasa. Padahal dalam sistem pewarisan Islam tidak ada konsep diskriminatif dengan istilah ‘lebih dahulu’, ‘lebih berjasa’ maupun ‘lebih tua’, selama keempat istri dan keempat anak tersebut memenuhi syarat sebagai ahli waris maka mereka memiliki hak yang sama sesuai bagian masing-masing dari harta warisan tersebut.

Selain praktik-praktik di atas, rupanya masyarakat pada umumnya masih belum memahami betul konsep “Bagian perempuan setengah dari bagian lelaki” (lidzakari mitslu hadzi-l-untsayain [an-Nisa:11]). Dan dari pintu ini pula banyak orang-orang yang dengki terhadap Islam lantas menyelewengkan ayat di atas lalu mengangkat permasalahan tersebut melalui isu kesetaraan gender. Perlu kita ketahui bersama, bahwa kaidah “Lelaki-perempuan satu banding dua” bukanlah standard operating procedure yang harus dan dapat diterapkan dalam seluruh kasus pewarisan. Adakalanya perempuan dengan lelaki mendapatkan bagian yang sama (kasus saudara seibu lelaki dengan perempuan), juga terkadang bagian perempuan lebih banyak dibanding lelaki (kasus anak perempuan dengan suami). Bahkan setelah dihitung ternyata hanya terdapat enam kasus saja dalam permasalahan pewarisan kaidah “Satu banding dua” ini dapat diterapkan. (1. Anak kandung lelaki dengan perempuan 2. Cucu lelaki dengan perempuan dari anak lelaki 3. Saudara kandung lelaki dengan perempuan 4. Saudara seayah lelaki dengan perempuan 5. Ayah dengan ibu ketika ada suami atau istri [kasus gharrawiyyatain] 6. Kakek dengan saudara perempuan kandung atau seayah [kasus akdariyyah]).

Namun, jika yang mereka maksud kesetaraan itu adalah ‘sama-rata’, hal ini memang bukanlah yang dikehendaki oleh Islam, karena Islam lebih mengedepankan “Keadilan” daripada hanya sekedar “Kesetaraan”. Karena segala sesuatu yang setara belum tentu adil dan belum tentu membawa manfaat, tetapi segala sesuatu yang adil meskipun terkadang tidak setara namun pasti membawa manfaat dan maslahat. Oleh karena itu, dalam akhir ayat-11 surat an-Nisa, Allah secara tegas menyatakan bahwa Dia-lah yang lebih tahu tentang keadilan dan lebih tahu kepada siapa harta tersebut lebih berhak dan bermanfaat untuk diberikan. Inilah konsep mendasar yang membedakan antara “Kesetaraan” dan “Keadilan”.

Terakhir, kita baru paham bahwa sesungguhnya terdapat begitu banyak praktik adat-istiadat, budaya dan kultur setempat yang mempengaruhi perubahan sebuah ketetapan hukum awal yang telah ditentukan dalam Islam. Dalam ilmu Fikih terdapat sebuah kaidah umum mengatakan bahwa adakalanya adat-istiadat setempat dijadikan piranti penentu dalam penerapan sebuah hukum (al-‘adah muhakkamah). Tentunya dengan syarat adat tersebut tidak bertentangan dengan teks valid (nash qath’iy) yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah sebagai mata air hukum Islam itu sendiri. Dari sebuah komponen kecil bernama praktik pewarisan yang terdapat dalam bangunan besar hukum Islam saja kita telah menemukan banyak penyelewengan istilah dan konsep yang begitu fatal, hal ini tidak dapat dibiarkan terus berkembang-biak hingga membawa dampak berbahaya bagi kemurnian Islam sebagai agama yang solutif, perlu tindakan pro-aktif yang dimulai dari diri kita sendiri untuk dapat membumikan syariat dan memfiter adat-istiadat, sehingga cerita fiktif keluarga besar Pak Rahmat di atas tidak perlu menjadi sebuah kisah nyata yang malah kita perankan di kemudian hari.

Profil Penulis

MS. Yusuf al-Amien, Alumnus KMI Gontor, kini tengah menyelesaikan program Licence di Universitas Al-Azhar Kairo konsentrasi Hukum Islam. Sempat aktif di IKPM dan ICMI Orsat Kairo.
e-mail: [email protected]