Manusia-manusia Langit Dan Pragmatisme Israel

Genosida Gaza yang memahat sejarah getir pada musim dingin Januari 2009 ini belum tampak beranjak menginjak epilog. Bahkan, tampaknya serangan maut Israel akan kian menggila memberangus orang-orang tak berdosa dan membumihanguskan kota pertahanan terakhir milik Palestina, Gaza!

Distrik seluas 363 km4 didiami persatu kilometernya oleh 3.806 jiwa —menjadi kota terpadat di dunia— itu belum kuasa Israel aneksasi. Padahal 77.433 bangunan apartemen telah roboh diterjang roket-roket Olmert semenjak Israel melancarkan serangannya pada Februari 2008 silam; atau, 820 orang telah menemui syahid dan 3.350 orang mengalami cidera akibat dagelan kematian Israel selama dua pekan Holocoust Gaza jilid II berlangsung. Cukup menakjubkan, sebab jalur sempit dengan lima kota administratif yang dihimpit 150 ribu kepala keluarga tersebut tak bisa ditaklukkan.

Membicarakan soal logika natural manusia yang acap kita pakai untuk mengkalkulasi dunia yang material, maka selayaknya kita juga mesti membincangkan alam multi serba-serbi ini yang seringkali mementahkan rumus matematik nalar kita. Sepanjang waktu kita sering dihentak oleh banyak realitas yang lahir justeru di luar perhitungan logika. Karena mau atau tidak mau harus diakui bahwa di hamparan metafisika ini mungkin berlaku "Keajaiban Langit" atas kehendak Tuhan yang melampaui cakupan daya otak manusia. Sampai yang tak ternalar membiak menjadi mungkin, lalu benar-benar ada. Dan, peniscayaan keajaiban itu memiliki prosedural tersendiri.

Hebatnya adalah bahwa manusia-manusia yang telah Allah seleksi untuk mendiami Jalur Gaza, merupakan representasi dari kumpulan orang-orang yang memperoleh legitimasi Pencipta untuk menerima sebuah keajaiban. Karenanya yang berlaku di Gaza adalah episode-episode ketidaklumrahan yang mencengangkan Ehud Olmert, Czipi Livni, Ehud Barak, dan Mahmoud Abbas yang memakai logika matematis dalam upaya menganeksasi Gaza. Bayangkan, sudah 1,6 milyar Dolar AS kerugian perang yang harus ditanggung oleh agresor Israel, namun sampai kini Jalur Gaza masih terus mengobarkan padare perlawanan dan pada setiap paras sumringah anak negerinya senantiasa menyungging senyum kemenangan.

Israel tak mengerti dan tidak akan pernah memahami bahwa di bumi suci itu terdapat manusia-manusia yang dengan kemuliaan obsesinya mampu menembus limit angkasa. Sanggup menerabas bongkahan maut menjadi pernik pualam paling dirindu. Dan luar biasanya lagi, manusia-manusia super itu masih sempat menyediakan keranda-keranda neraka di Gaza untuk mengubur hidup-hidup tentara Israel.

Mengamati Pragmatisme

Lantas bagaimana proyeksi kesudahan invasi pembantaian Israel di Gaza, akankah gelombang serangan membabibuta Zionis akan menggerus lagi sekerat wilayah Palestina itu? Tidak. Sekali lagi tidak. Gaza adalah simbol perlawanan hakiki para pejuang patriotik yang rela membeli kemerdekaan dan kebebasan untuk tanah air serta kesucian agamanya dengan gelimang darah dan linangan air mata. Tidak ada lagi ongkos pengorbanan meraih kemenangan yang lebih mahal dari itu. Dimana pada saat yang bersamaan, dunia ini sudah dijejali oleh prototype manusia-manusia pengecut yang gentar darahnya mengalir demi membela kebenaran.

Apalagi Israel saat ini terjangkiti wabah kronis yang tengah menjalar dan menggerogoti imunitas imperalismenya. Wabah pragmatisme yang tercipta oleh bias keputusasaan mewujudkan proyek Israel Raya —kerajaan Yahudi yang membentang dari sungai Nil di Mesir hingga sungai Eufrat di Irak— pada Mei 1998. Taksasi 50 tahun paska deklarasi pendudukan Israel 14 Mei 1948 itu hanya ilusi.

Malah wacana pembumian proposal Israel Raya membentur mekanisme terjal bagi proses pengejewantahan. Hal yang kemudian secara periodik memapah Zionis mengakselerasi pendangkalan target dari pemilikan teritorial ditafsirkan melebar menjadi hegemoni perekonomian. Ehud Olmert, secara malu-malu berlahan memutihkan rancangan Israel Raya pada penghujung tahun 2008 silam. Itu pun merupakan refleksi keberpihakan Olmert atas perspektif anyar Israel Raya yang dialihkan oleh Presiden Israel, Shimon Peres dengan terjemahan: "hegemoni ekonomi". (Shimon Peres and Arye Noer, The New Middle East, 1993).

Bagi Fayez Rasyid, analis kawakan di Arabian Network Information, Israel merekonstruksi proyek hegemoni teritorial mengalih menjadi hegemoni ekonomi karena tiga alasan mendasar, salah satunya: peningkatan eskalasi perlawanan rakyat Palestina yang tidak bisa dipadamkan. Perlawanan itu sangat diakui sebagai kontributor terbesar kegagalan Zionis membangun impian mereka mendirikan Israel Raya.

Kebuntuan Israel menyikapi gelombang perlawanan HAMAS dan faksi-faksi jihad rakyat Palestina di Gaza menciptakan pola penyelesaian pamungkas yang terkesan primitif dan pragmatik. Apa pun konsekuensinya Israel tampaknya memilih mengacuhkan seruan dunia internasional untuk menghentikan aksi genosida. Bagi Livni dan Barak, pembersihan HAMAS adalah harga mati. Strategi pintas yang justeru berpotensi memapah bangsa keras kepala itu menjeburkan diri ke kawah kebinasaan. Akibat pragmatisme Holocoust Gaza, solidaritas bangsa-bangsa yang semula tertidur nyenyak, kini bangkit serentak: Bela Palestina, Ganyang Israel.

Stabilitas spritual

Tidak perlu gelisah mengkhawatirkan orang-orang luar biasa yang sekarang menghunus senjata di Jalur Gaza. Apalagi meratapi pembantaian biadab Israel terhadap rakyat sipil serta bocah-bocah tanpa dosa di bumi itu. Karena mereka adalah manusia-manusia yang disediakan oleh alam untuk disemat sebagai tauladan bagi bangsa dunia. Karena mereka telah sukses menstabilkan temperatur spritualitas yang cenderung bersifat labil, bahkan fluktuatif. Kesuksesan mereka itu menciptakan energi tanpa batas. Dan, Asy-syahid Ahmad Yasin, sang penggetar dunia itu pernah berkata: "Quwwatu ar-rûhiyyati tanfajiru minha al-`ajâib". Spritualitas yang kokoh, pasti bakal menciptakan keajaiban demi keajaiban.

Keajaiban yang diciptakan manusia-manusia langit itu adalah kemampuan mereka menggiring Israel agar semakin berambisi menaiki puncak konflik, kemudian antipati dunia secara kolektif menebasnya jatuh berkalah-kalah. Pembunuhan ratusan orang-orang tak berdosa bukan menyumpat aksi perlawanan —seperti yang dikehendaki Israel— akan tetapi malah akan menambah deras arus konfrontasi tak terbendung dari rakyat Palestina. Dan, kita akan menjadi saksi bagi pejuang-pejuang Gaza betapa darah dan air mata mereka yang kini tumpah ruah membasahi bumi tertindas itu akan ditukar oleh Allah dengan kemuliaan dan kemerdekaan. []

Profil Penulis :

Taryudi, Kelahiran Purbalingga, 09 Maret 1985. Telah menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Al-Azhar Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir dan Ilmu Alquran pada Agustus 2008. Saat ini tengah merampungkan pendidikan magisternya pada civitas yang sama. Alamat District Nasr City, Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS KEHIDUPAN di lembaga Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir. No. kontak : +20163932877 Email : [email protected]