Mendudukkan Kembali Peran Agama

Ada satu ungkapan yang berkembang, agama lahir dan berkembang demi kemanusiaan. Karena itu, dalam setiap komunitas (atau masyarakat) pasti terdapat agama (ajaran, keyakinan) yang diagung-agungkan sebagai pagar moral penganutnya. Meski dalam pengejawantahannya memiliki perbedaan, namun jika diteliti lebih lanjut, setiap agama selalu memunculkan nilai-nilai normatif yang mendukung kemanusiaan sebagai patron yang tidak boleh tidak harus ada, jika ia tidak mau dikatakan sebagai agama yang tidak berpihak kepada kemanusiaan.

Dalam konteks Islam, nilai-nilai normatif tersebut bersumber dari al-Qur’an sebagai kitab suci. Dalam terminologi tradisionalis-ortodoks, peran al-Qur’an adalah sebagai penentu pola berpikir dan sikap penganutnya. Akan tetapi, al-Qur’an sebagai sumber normatif, tidak bisa tidak, harus melakukan reinterpretasi terhadap dirinya atau harus direkonstruksikan sehingga memenuhi kriteria agama yang berpihak kepada kemanusiaan, dan ini adalah diskursus yang diajukan pemikiran modernis-liberal.

Pemikiran-pemikiran keislaman tersebut kini semakin mencuat. Di satu sisi, Islam adalah agama yang integral benar dan karenanya memiliki wewenang untuk mengklaim dan menentukan nilai yang seharusnya berkembang dalam masyarakat (pemikiran pertama). Meskipun pemikiran ini di Indonesia minoritas tetapi kita perlu untuk mewaspadainya. Bukan untuk diberangus dan ditindak dengan arogansi tetapi semata untuk memahami bahwa perbedaan bukanlah alat justifikasi kebenaran atas nama agama.

Sedangkan di sisi lain, Islam hanyalah dilihat sebagai sebuah kultur atau budaya. Dalam menjalankan perannya, ia hanyalah sumber dan bukan aturan mutlak, seperti pada pemikiran pertama. Pemikiran ini pun hanya menjadi konsumsi sebagian kecil muslim di Indonesia, mereka adalah para elit agamawan atau yang dikenal sebagai ulama (pemikiran kedua). Lalu siapa kelompok mayoritas di negeri ini? Pertanyaan ini akan terjawab di akhir.

Sebenarnya kedua pemikiran itu bukanlah baru. Dalam sejarahnya, kedua pemikiran ini telah mendapat tempat yang luas, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Tidak hanya di masa sekarang tetapi juga di masa awal atau yang dikenal sebagai era kemunculan Islam sebagai generasi awal yang dipuji sebagai generasi terbaik (sahabat hingga tabi’ut tabiin) seperti hadits masyhur “khoirul quruun, qorni, tsummalladziina yaluunamhum, tsummalladziina yaluunamhum- sebaik-baik zaman adalah zamanku (Rosul dan sahabat), kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya…”.

Bukti yang menunjukkan ini adalah perbedaan dua pola pikir sahabat besar, sekaligus dua pemimpin besar yang diakui sebagai muslim terbaik setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Abu Bakar dan Umar Ibnu Al-Khattab. Abu Bakar meskipun orang yang secara kepribadian lembut tetapi pemikirannya sangat tegas dan ortodoks, dalam konteks tertentu.

Umar sebaliknya, meskipun secara pribadi dikenal keras tetapi pemikirannya sangat fleksibel dan modern, bahkan melampaui zamannya. Pemikiran pertama merupakan representasi sekaligus penjelmaan pemikiran Abu Bakar di zaman modern, sedangkan pemikiran kedua adalah warisan dari intelektualitas Umar.

Kedua pemikiran tersebut memiliki penganut fanatis yang berbeda. Kelompok pertama terpaku pada literal ayat, sedangkan kelompok kedua tidak, mereka lebih mementingkan konteks dibandingkan teks. Meminjam istilah kaum poststrukturalis, kelompok kedua berusaha untuk melepaskan makna dari teksnya, sebab, makna tidak hanya perwakilan zamannya. Ia otonom dan dapat diinterpretasikan dengan segala variabel yang ada, baik dalam dunia abstrak maupun konkrit. Lebih lanjut, Interpretator sendirilah yang menghidupkan teks dan mengejawantahkannya dalam kedua dunia tersebut.

Dalam pandangan penulis, kedua kelompok pemikiran ini masih berjalan dalam patron yang tepat dan tidak begitu (dengan cetak miring) melenceng. Kenapa? karena sumber dan tujuan yang mereka gunakan pun suci dan sakral yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Yang berbeda hanyalah cara interpretasi teks sebagai sumber normatif yang memang multi-interpretatif, dan itu merupakan hal yang diperbolehkan dalam khazanah pemikiran keislaman, bahkan dianjurkan.

Bukankah perbedaan adalah rahmat? Dan bukankah konsep ijtihad sendiri bermula dari akar pemikiran ini?

Sekarang kita menjawab pertanyaan yang masih tersisa. Siapakah kelompok mayoritas di negeri ini? Bila melihat realitas, kelompok mayoritas adalah kelompok yang oleh Allah dikatakan sebagai pendusta agama (aroaitalladzii yukadzibu biddiin?) yaitu mereka yang sholat tetapi tidak shalat dalam arti yang sesungguhnya. Kata sholat di sini adalah representasi dari sistem syari’at yang kaffah.

Sholat (ibadah) mereka adalah pseudo, hanya memenuhi nafsu ibadahnya semata, dalam bahasa Karl Marx agama adalah candu, tanpa mau eksternalisasi nilai-nilai luhur yang menjadi tujuan sholat yaitu nilai individu dan kolektif sosial. Nilai individu terwujud dalam kesholehan transendental. Sedangkan nilai kolektif sosialnya adalah peleburan diri dalam pembentukan masyarakat yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (masyarakat madani atau civil society).

Rasanya, kita tidak perlu untuk berpanjang-panjang membicarakannya, bukankah bukti sudah menjadi konkrit. Negara kita yang merupakan syurga dunia (sumber daya yang melimpah) tak bisa menjadi syurga (sejahtera), bahkan telah menjadi neraka dunia (dilanda berbagai krisis). Inilah wujud konkrit kekufuran kolektif (kufur ashghor) masyarakat kita terhadap nilai-nilai agama yang mereka pegangi.

Sehingga, Tuhan pun tak enggan untuk mencabut kembali semua hikmah yang terpendam dalam berbagai karunia yang telah dilimpahkan-Nya. Tugas kita sekarang adalah mengembangkan bekal yang sudah ada di negara kita untuk menjadikan kata calon dalam awal kalimat baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur menjadi pemilik sah kalimat itu, bukan sekedar calon. Sanggupkah kita? Allah Azza Wa Jalla sendiri sudah menjawab keraguan kita, Innalloha laa yughoyyiru ma biqoumin hatta yughoyyiru maa bianfusihim. Caranya? Dudukkan agama dalam perannya dan jauhkan kepentingan yang merusaknya. (ditulis di Kampus UNJ Rawamangun).

Profil Penulis

Hilmi A. Sobari, Pengamat Sosial, Politik, Budaya dan Agama.
Pemuda berusia 25 tahun ini pernah belajar Islam di Ponpes Al Wathoniyah Al Islamiyah (MWI) Kebarongan Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan kesarjanaannya didapatkan di Jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Semasa menjadi mahasiswa aktif di Forum IDEKITA dan Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ, dua organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang penulisan dan penalaran. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Harian PELITA, portal warnaislam.com, Buletin Pasca Sarjana UNJ, Tabloid OPINI dan salah satu cerpennya diikutkan dalam Antologi Cerpen DIDAKTIKA, Lembaga Penerbitan Mahasiswa UNJ. Sekarang bekerja di Departemen Manhaj Islami Yayasan Syifa Budi Jakarta. 
e-mail: [email protected] blog : idehilmi.wordpress.com