Menuju Persatuan Umat : Ikhlas Ketika Berbeda

Perbedaan itu adalah rahmat ALLAH bagi mereka yang senantiasa mewaspadai ada lahan subur di hatinya tempat tumbuhnya bibit kesombongan. Lawan dari sifat sombong bukanlah rendah hati, melainkan ikhlas. Inilah definisi yang diberikan Al Quran ketika menceritakan bagaimana terjadinya dosa pertama yang diperbuat makhluk. Sang makhluk merasa dirinya lebih baik dari yang lain dan tidak hendak mengakui kelebihan yang lain. Sangat lugas peringatan Al Quran, bahwa mereka yang selamat dari tipu daya sang perintis dosa adalah mereka yang ikhlas. Sangat sederhana ungkapan Al Quran ketika memilih hanya mereka yang ikhlas yang tidak termasuk dalam rombongan yang tanpa sadar menjadi pengikut sang perintis dosa. Ketergelinciran hanya terjadi ketika seseorang tidak menyadari ada bahaya yang bisa menyebabkan ia tergelincir.

Ikhlas berasal dari kata khalasha, artinya murni. Lawan katanya adalah syaraka, artinya campuran. Tidaklah sesuatu itu dikatakan campuran melainkan ketika ia tidak lagi satu. Dan tidak mungkin sesuatu itu dikatakan murni, satu, bila ia telah menjadi dua atau lebih. Pantaslah Rasulullah SAW mengumumkan beratnya bobot yang terkandung dalam surat Al Ikhlas. Pantas pula bila ALLAH amat murka pada mereka yang mengakui ada ilah lain selain Dia, baik ilah itu mereka sadari maupun tidak mereka sadari. Bagaimana bisa mereka sadar bahwa ada ilah lain di hatinya, bila ilah itu adalah dirinya sendiri?

Bagi mereka yang ikhlas, mereka yang merasa dirinya terlalu tidak berdaya untuk meng-ilahkan dirinya sendiri, atau menghadirkan ilah lain selain ALLAH, maka perbedaan adalah rahmat. Perbedaan adalah kemutlakan. Sejarah manusia memutlakkan bahwa tidak pernah terlahir manusia yang sama sepanjang periode hidupnya manusia. Bahkan wajah yang kita lihat di cermin setiap hari selalu menunjukkan perbedaan antara hari yang satu dengan hari yang lain.

Akhlak ketika menghadapi perbedaan di antara umat adalah bertemu, kenali mereka yang berbeda. Yakinlah kita tidak punya pengetahuan apa-apa atas seseorang melainkan bila kita sudah bertemu orang itu. Bahkan Sahabat Umar r.a. punya ukuran sendiri untuk mengatakan kita kenal seseorang, yaitu bila kita pernah bermalam bersamanya, pernah makan bersamanya, dan pernah berurusan dalam hal harta dengannya. Bila kita belum mampu bertemu dengannya, maka berharaplah suatu saat untuk bertemu dengannya, dan rencanakanlah. Bila kita belum mampu bertemu dengannya, maka kenalilah dari mereka yang kenal dengannya.

Hamka dan ayahnya amatlah berbeda. Haji Rasul sosok yang keras dan ketat dalam pendidikan, sedangkan Hamka menyukai kebebasan dan pengembaraan. Keduanya sering adu argumentasi. Tetapi berkurangkah rasa cinta di antara mereka? Sungguh bila membaca kisah kasih sayang antara Haji Rasul dan Hamka, rasanya ingin kita menjadi ayah seperti Haji Rasul, dan ingin pula kita menjadi anak seperti Hamka. Berkurangkah kemuliaan salah satu dari mereka karena berbeda? Sejarah tidak mencatat cacat dari keduanya melainkan hanya keteladanan. Siapa yang dengan berani tidak membungkukkan badannya membentuk sikap rukuk ketika diperintah Jepang, sang penyembah dewa matahari, selain Haji Rasul yang merasa amat tidak pantas bagi seorang muslim untuk rukuk selain kepada Dia Yang Ahad. Siapa yang membuat Universitas Al Azhar Mesir ‘terpaksa’ mengadakan Doctor Honoris Causa pertama dalam sejarah universitas tersebut selain Hamka karena karya-karyanya dalam dakwah.

Hamka ketika muda begitu mengagumi Bung Karno, pahlawan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, dan amat sangat disegani oleh dunia barat karena tidak pernah mau tunduk pada kemauan mereka. Bahkan Hamka muda dalam puisinya semasa ia menjadi pejuang gerilya, mengatakan bahwa ia ingin syahid dengan baju yang disentuh dan dirapikan Bung Karno ketika Bung Karno melawat pasukan pejuang di tanah Minangkabau. Namun bukankah yang memenjarakan Hamka adalah Bung Karno, ketika tidak berdayanya Bung Karno di tengah hasutan bahwa Hamka adalah ancaman kelangsungan revolusi versi Bung Karno karena Hamka memperjuangkan Islam menjadi pedoman revolusi? Namun amat santunnya Hamka ketika sejarah bergetar menceritakan bahwa Hamka lah yang memimpin shalat jenazah ketika Bung Karno wafat.

Soekarno dan Hatta masing-masing menyadari bahwa mereka sangatlah berbeda, layaknya langit dan bumi. Soekarno menghendaki revolusi yang segera, sekarang, atau tidak sama sekali. Hatta menilai yang lebih tepat adalah mempersiapkan kader-kader revolusi terlebih dahulu secara bertahap. Tetapi ketika dihadapkan pada agenda bersama yang utama, maka yang dua itu pun menjadi satu dalam Dwitunggal. Menjelang wafatnya, walau Hatta tidak lagi menjadi pendamping Soekarno, tetapi tidak ada sosok yang lebih dirindukan pertemuannya oleh Soekarno melainkan Hatta.

Natsir muda dan Soekarno muda berperang pena melalui tulisan-tulisan mereka mengenai Islam dan negara. Pena dilawan pena, bukan malah menyerang pribadi. Keduanya berbeda tetapi pernah berguru pada guru yang sama, yaitu A. Hassan di Bandung. Perbedaan mereka tidak mengurangi persahabatan mereka. Sokarno tidak merasa yakin dengan pidatonya sebelum terlebih dahulu ia meminta Natsir untuk mengoreksinya. Soekarno tujuh tahun lebih tua dari Natsir, tetapi ketika bangsa Indonesia bersatu kembali setelah terpecah-pecah karena Konferensi Mejar Bundar, maka apa yang telah dilakukan Natsir untuk itu membuat Soekarno menaruh hormat dan melihat tidak ada yang pantas memimpin pemerintahan saat itu selain Natsir. Ketika pemerintahan Soekarno mengucilkan Natsir, Natsir tidak pernah sekalipun menganggap sahabatnya itu sebagai musuh. Tidak ada bait sejarah yang mencatat Natsir pernah menjelek-jelekkan Soekarno.

Ketika “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dihapus karena sengitnya perdebatan, maka jalan tengah yang dipilih demi persatuan adalah kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Walau belum puas dengan jalan tengah ini, para inisiator Piagam Jakarta bisa menerima pernyataan kedua ini, karena pernyataan kedua ini sebenarnya tidak mewakili melainkan jelas mewakili Islam sebagai dasar negara. Bukankah itu makna tauhid sebenarnya. Adakah selain Islam yang memiliki makna tauhid, mengakui bahwa Ilah itu hanya satu, yaitu ALLAH.

Rasulullah SAW menghadapai strategi yang amat berbeda dari sahabatnya. Taktik perang yang diusulkan Salman amat asing bagi bangsa arab saat itu. Taktik membuat parit yang dipahami betul oleh Salman kemudian membuat Rasulullah SAW memilih saran sang sahabat. ALLAH mengabadikan peristiwa Ahzab ini menjadi salah satu surat dalam Al Quran. Rasulullah SAW berbeda pendapat dengan sahabat-sahabat mudanya yang kebanyakan tidak ikut dalam Perang Badar dan merasa rugi karenanya. Rasulullah lebih memilih tetap di Madinah, sedangkan sahabatnya mengusulkan untuk keluar dari Madinah dan bergerak menuju Uhud. Akhirnya Rasulullah SAW keluar dengan baju perang lengkap yang tidak pantas untuk ditanggalkan kembali walau para sahabat menyesal setelah merasa Rasulullah terpaksa mengikuti kemauan mereka. Adakah berkurang kasih sayang ALLAH karena apa yang dialami Kaum Muslimin di Perang Uhud? Rasulullah SAW sepaham dengan Abu Bakar dalam menetapkan tawanan perang, dan berbeda dengan Umar. Namun ternyata ALLAH lebih memilih pendapat Umar ketimbang Abu Bakar. Adakah berkurang kemuliaan salah satu dari kedua Sahabat? Sirah hanya menyampaikan bahwa masing-masing Sahabat ini mengunggulkan Sahabat yang lain ketimbang diri mereka sendiri.

Berbeda bukan penyakit, tetapi membanggakan diri masing-masing lah penyakitnya. Berbeda bukan kelemahan, tetapi ketika tidak menerima bahwa ada pilihan yang tepat untuk waktu yang tepatlah yang melemahkan. Berbeda bukan musuh, tetapi ketika tidak hendak saling bertemu dan saling mengenal lah yang membuat kita tidak tahu siapa-siapa kecuali hanya musuh.

Berbeda adalah kekuatan ketika yang banyak tidak merasa yang paling berperan. Berbeda adalah kualitas ketika yang sedikit mampu membuat yang banyak menjadi sempurna. Berbeda adalah persatuan ketika masing-masing tidak lagi menyebut dirinya bila Satu Ilah sudah diikrarkan.

Kualitas roti ditentukan dari adonannya. Adonan yang terbaik adalah yang diaduk hanya untuk merekatkan satu sama lain. Tepung yang banyak begitu rapuh tanpa sedikit air. Tanpa gula dan garam sedikit maka kemanakah rasanya? Ketika ia sudah menjadi roti yang baik, cobalah kita temukan tepung, air, gula, dan garam, bila kita tidak mendapati melainkan hanya roti sahaja.
„Ilah kamu adalah Ilah Yang Satu. Maka orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (Ilah Yang Satu), dan mereka adalah orang yang sombong.“
( An Nahl 22)

Profil Penulis :

Ibnu Kahfi Bachtiar, mahasiswa S2 bidang energi terbarukan pada Universitas Oldenburg (Jerman) saat ini sedang menyelesaikan tesis di Forschungszentrum Juelich.