Demokrasi Shalat Jama’ah

Terompet pemilu ditiup kembali, bendera partai berkibar lagi, pesta demokrasi datang kembali. Mendadak semua partai mengklaim kebaikan diri sendiri, merasa paling layak dan suci, mencari dukungan dari semua lini, kualitas bukanlah arti, pamorlah yang jadi solusi, kedudukan adalah komoditi, untuk mengisi perut pribadi, amanat adalah ilusi, janji tiada bukti, yang penting adalah kursi, apakah ini Demokrasi?

Rasulullah saw. dalam sejarahnya mengemban risalah Islam tidak pernah memerintahkan Demokrasi. Para sahabat, tabi’in dan tabiu-t-tabi’in juga tidak pernah menerapkannya. Bahkan Ibn Taimiyyah dalam al-siyasah syar’iyyah hingga Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah tidak sepatah katapun menyinggung kata “Demokrasi” dalam kitab tentang kenegaraan yang mereka karang itu. Artinya, bahwa Demokrasi merupakan sebuah “bid’ah” yang senyata-nyatanya “bid’ah”.

Tapi, apa lantas seluruh rakyat Indonesia yang kini tengah berpesta Demokrasi mereka telah tersesat dalam “bid’ah” yang berakar dari Yunani ini? Oh, tentu pendapat seperti ini merupakan cara berpikir yang kurang tepat.

Mungkin jelas bahwa sistem Khilafah yang diterapkan the golden era adalah sebaik-baiknya contoh yang perlu dianut, namun ketika dunia berputar dan mentari beredar semua telah berubah, keadaan umat Islam yang telah terbelenggu dalam jeruji Demokrasi tidak serta-merta kunfayakun! dapat terlepas dari kurungan tersebut hingga mampu menegakkan kembali Khilafah-raya.

Oleh karenanya dibutuhkan energi ekstra untuk dapat menggeret gunung es Demokrasi kepada sebuah gurun pasir Khilafah hingga Demokrasi tersebut lebur meleleh. Namun dari mana pekerjaan besar ini harus dimulai?

Sebelum beranjak membenahi konsep tata-negara tingkat tinggi (pemerintahan), layaknya kita memahami konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh Islam terlebih dahulu. Islam pada dasarnya telah mengajarkan prinsip kepemimpinan dalam ritual Shalat Jama’ah yang setiap hari kita tunaikan.

Dalam Shalat Jama’ah terdapat beberapa prosedur yang harus dilalui; mulai dari pemilihan pemimpin (imam), di mana seorang imam haruslah lelaki akil-baligh yang lebih kapabel di antara para makmum, seluruh jamaah harus memiliki tujuan yang sama (niat), arah yang sama (kiblat), gerakan dan aksi serempak di bawah komando imam, lalu jika imam terbukti “salah” dalam bacaan maupun rakaat maka makmum berhak menegurnya, begitu juga makmum tidak boleh mendahului gerakan imam, hingga apabila terdapat makmum yang tertinggal (masbuq) maka ia haruslah menggenapi kekurangan rakaatnya.

Dari praktik Shalat Jama’ah di atas setidaknya kita dapat megambil filosofi leadership dan lima prinsip dasar kepemimpinan dalam Islam, yaitu: Syura, Mashalih, ‘Adalah, Ri’ayah dan Tanashuh (S-M-A-R-T). Di mana kelima poin ini dapat disuntikkan ke dalam tubuh Demokrasi hingga akhirnya Demokrasi melunak dan jinak terhadap dustur Islami.

Konsep “SMART” ini pula yang nantinya diharapkan menjadi sebuah elternatif konkret dalam menghadapi pemilu tahun ini dan tidak hanya berupa obsesi menggebu nan utopis untuk serta-merta mendirikan Khilafah, bukan juga sebuah aksi apatis dengan memilih golput, tidak juga gerakan tanpa solusi dengan hanya duduk manis sambil mem-bid’ah-kan Demokrasi.

Poin pertama yang harus diletakkan dalam Demokrasi adalah Syura (permusyawaratan), yaitu sebuah landasan utama dalam menentukan segala kebijakan negara mulai dari pengangkatan pemimpin hingga kebijakan lainnya yang akan dilahirkan. Rasulullah saw. dalam banyak kasus selalu mengajak para sahabat urun runding dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan negara.

Masalah strategi perang Khandaq untuk menggali parit di sekitar Madinah, keputusan yang dijatuhkan terhadap tahanan perang Badar untuk membayar tebusan sebagai ganti eksekusi mati, dan kebijakan politis lainnya selalu diselesaikan Rasulullah dengan Syura sebagai bentuk koordinasi jama’ah dan tidak sewenang-wenang menggunakan kediktatoran individual.

Selanjutnya, pondasi kedua adalah Mashalih (asas kemaslahatan). Merupakan asas “penggiring” kemana Syura itu nantinya akan diarahkan. Oleh karenanya segala bentuk kebijakan yang dihasilkan dari “dewan Syura” yang diimami oleh top leader haruslah berdiri di atas kemaslahatan umum (rakyat) dalam skala mayor dan dalam jangka yang relatif panjang, karena jika maslahat tersebut hanya bersifat paliatif –seperti berhutang kepada IMF– untuk memenuhi kebutuhan sementara namun akibatnya akan menimbulkan bahaya yang lebih besar, maka keputusan ini tidak bisa disebut sebagai sebuah kemaslahatan.

Lihat bagaimana Khalifah pertama Abu Bakar ra. dengan ketegasannya memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat, tidak lain karena zakat merupakan salah satu tonggak ekonomi negara dalam pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Tidak cukup hanya sekedar mendatangkan maslahat, namun kemaslahatan tersebut haruslah merata dalam konteks ‘Adalah (keadilan). Adil tidak meski sama-rata, karena adil adalah memberikan keputusan yang tepat dengan porsi yang tepat kepada orang yang tepat dalam situasi dan kondisi yang tepat. Tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan, mungkin itulah parameter yang ideal. Hal ini telah dicontohkan khalifah keempat Ali ibn Abi Thalib ra. ketika beliau mengangkat sebuah kasus kepada qadhi (mahkamah) lantaran “persengketaan” antara dirinya dengan seorang ahli kitab dalam kepemilikan sebuah perisai.

Hingga akhirnya perisai itu terbukti milik khalifah Ali lalu si ahli kitab pun mengaku dan bahkan masuk Islam. Bisa dibayangkan bagaimana keadilan tersebut benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, tatkala seorang “presiden” dan “rakyat biasa” berada di hadapan hakim sebagai terdakwa.

Lalu asas yang ketiga adalah Ri’ayah (perhatian dan perlindungan), di mana seorang pemimpin selalu tahu akan keadaan yang tengah dilanda rakyatnya, selalu memberikan bantuan ketika mereka dalam kesengsaraan, persis seperti khalifah ketiga Utsman ibn Affan yang tak tanggung-tanggung berjihad dengan hartanya.

Bahkan Utsman ra. memiliki sebuah kebiasaan “aneh” karena setiap Jum’at selalu membeli seorang budak dari tuannya –berapapun harga budak tersebut– untuk ia bebaskan. Inilah gambaran orang yang menganggap hartanya hanyalah sebuah titipan untuk diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.

Dan terakhir adalah asas Tanashuh (saling menasehati). Di sinilah letak sebuah kepemimpinan yang benar-benar “Demokratis”. Karena posisi pemimpin sejatinya adalah sebagai wakil rakyat yang meskipun memiliki kedudukan tertinggi namun ia harus menerima masukan dan nasehat dari bawahan jika terbukti ia telah “melenceng”.

Seperti peristiwa khalifah kedua Umar ibn Khattab saat menyatakan untuk membatasi jumlah maskawin –yang akan diberikan seorang suami kepada istrinya– dengan batas maksimal 400 dirham. Namun pada dasarnya syariat tidak pernah membatasi jumlah tersebut, oleh karenanya seorang wanita Quraisy kemudian “menggugat” kebijakan itu, hingga khalifah Umar terdiam lalu tanpa merasa gengsi ia pun menerima peringatan tersebut seraya berkata, “Wanita itu benar, dan akulah yang salah.”

Dari sejarah khulafa’ rasidin di atas berikut kolerasinya dengan dunia “nyata” saat ini, kita dituntut untuk dapat menerjemahkan nilai filosofis yang dikandung oleh praktik Shalat Jama’ah dalam tataran Demokrasi yang kini terlanjur membelenggu sendi-sendi pemerintahan negeri kita. Tiada jalan lain untuk membenahi kobobrokan negara melainkan dari pemimpinnya, dan tiada jalan lain untuk mengangkat pemimpin ideal kecuali dengan kendaraan partai.

Tentu bukan sebuah hal yang enteng untuk dapat menerapkan konsep “SMART” Democracy di atas baik dalam skala mikro maupun makro. Dan tentu lebih berat lagi jika langsung diterapkan sistem Khilafah secara mutlak.

Kita tidak mengingkari Khilafah dan kita bukanlah pemuja Demokrasi, hanya saja kita berusaha untuk berpikir lebih realistis dan bertindak lebih strategis. Kita optimis bahwa negeri ini akan bangkit di tangan kita pemuda & mahasiswa. Bukankah Allah telah berfirman bahwa Ia takkan merubah nasib sebuah kaum hingga mereka sendiri yang merubahnya? Lalu, kenapa kita masih membisu jika kejayaan kita dambakan?

Profil Penulis :

MS. Yusuf al-Amien; Alumnus KMI Gontor, kini aktif di Misr Mahrousa Foundation di samping statusnya sebagai mahasiswa yang tengah menyelesaikan program Licence konsentrasi Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo.YM, FB, FS : [email protected]