Komersialisasi Agama di Bulan Ramadhan

Komersialisasi Agama di Bulan Ramadhan:
Antara Reduksi Arti Agama Hingga Keharusan Kembali ke Jalan Tauhid

Dalam sejarahnya Umat muslim, selalu dihantui oleh syahwat. Tak jarang banyak para Umat beragama tergelincir dalam lubang hitam Nafsu syahwat yang selalu menggoda nilai transendensi umat manusia.

Seiring teknologi yang kian canggih, Agama memasuki babak baru. Pemisahan antara Tuhan dan Kehidupan mendapat tempat empuk dalam keranjang bernama modernisasi. Ironisnya pada zaman modern penuh fitnah seperti dewasa ini, agama menjadi saksi untuk diperas agar melahirkan finansi. Kapitalisasi agama menjadi tidak terlekakkan, ketika wilayah Agama menjadi mesin untuk menghasilkan pundi-pundi. Sejarah ini memang tidak ada habis-habisnya. Agama menjadi target utama untuk kemudian terlepas simpul demi simpul.

Menggugat Sinetron Islami: Anti Thesis Sebuah Dakwah

Di Indonesia kejadian komersialisasi Agama menjadi semakin kompleks. Dari tindak praktek menjual agama dengan terang-terangan, menukar sendi iman dengan kuasa, menggadai tauhid demi segenap finansi, sampai tak lupa menjual ayat suci demi status dan gengsi. Namun alangkah menariknya bahwa fenomena yang kini juga tidak kalah mengkhawatirkan sedang melenggang menuju bulan suci. Momen bulan ramadhan yang tinggal berjarak hitungan masa dari saat ini, dimanfaatkan dengan begitu semangatnya oleh para stasiun TV. Artis-artis berjilbab kontan membanjiri tayangan media.

Dialog-dialog dalam setting sinetron-sinetron Islam, kontan memicu berbagai pihak untuk mengkonotasikan tayangan itu dalam istilah program dakwah. Tidak jarang dari Umat Islam, juga menilai bahwa sinetron-sinetron Islami itu sebagai sebuah terobosan Syi’ar yang tidak terkesan menggurui, cair, menarik, bahkan sarat dengan sentuhan Islami tapi tetap vital untuk disaksikan.

Problemnya di program-program sinetron itu, tidak sedikit adegan-adegan yang rasanya tak elok untuk ditampilkan. Bahkan hal itu juga menyempal pada judul-judul yang digunakan. Sinetron para Pencari Tuhan misalnya. Sinetron yang digandrungi pada Ramadhan tahun lalu ini akan mengalami problematika pada pemilihan judul katanya.

Kata “Pencari Tuhan” disini seakan-akan menggambarkan bahwa Tuhan tidak ada, dan perlu dicari. Tuhan bersembunyi dan perlu diketemui. Jika Tuhan selama ini sedang kita cari, lho Tuhan siapa yang sekarang kita sembah dalam tiap Shalat kita? Aha.. Penulis menjadi tergelitik, jangan-jangan Tuhan yang sedang mereka cari di sinetron itu adalah hasil kosntruk pikiran manusia dan bukan Sang Maha Pencipta yang selama ini kita Agungkan. Tentu mendengar judul yang agak konyol itu, kita mengingat dua orang filsuf ateis, Sigmund Schlomo Freud dan Ludwig Feurbach yang mengatakan bahwa agama lahir dari ilusi, bukan wahyu.

Selain itu, seorang filosof yang pernah membedah agama untuk tidak lagi menjadi dimensi tauhid adalah Karl Marx. Agama bagi Marx tidak lebih sekedar candu. Agama menjadi sebuah momok dalam dua similaritas: Pembunuh modernitas atau terbunuh modernitas. Ya seperti yang diucap Frederitch Nietszche, “Bahwa Tuhan sudah Mati”. Bedanya, Marx menganggap Modernisasi akan melahirkan rasionalisasi, dan rasionalisasi akan membunuh agama yang ditafsirkan Marx tentu dalam cawan bahwa agama tidak lebih dari sekedar irasionalitas.

Tentu “Trio Atheis” Marx, Freud, dan Feurbach berspekulasi bahwa ia menyamakan fenomena agama di Barat dengan agama Islam. Namun pada kenyataannya di Indonesia situasinya hampir mirip. Jika Marx mereduksi agama pada bingkai rasio dan logika, Indonesia kini tengah meniti jalan mereduksi agama menjadi gelimang harta yang seksi.

Kepingan Rupiah untuk menelanjangi agama juga tengah berlangusng dalam sinetron Islami berjudul “Islam KTP”. Sinetron berdurasi satu jam yang ditayangkan SCTV pada bedug maghrib ini, menampilkan banyak adegan para perempuan mengenakan rok mini. Pihak sutradara agaknya senagaja menampilkan gambar syur itu agar terasa situasi perkantoran modern saat ini.

Sudah selesaikah disitu? Belum. Ketidak jelasan mengenai arti muslimah patut menjadi bahan kritik. Sebab (masih) dalam sinetron itu, seorang muslimah dari suami yang “bergelar” ustadz, bisa saja memakai jilbab seenaknya. Mau jilbab yang menutupi kepala sampai dada, atau jilbab yang menutupi kepala tapi leher terbuka. Tapi apakah sang Ustadz, yang diperankan dengan tokoh bernama “Bang Ali” pada cerita itu dikonstruk sebagai ahli agama, melakukan kritik kepada istrinya? Tidak sama sekali.

Angle cerita pun kemudian menelanjangi Islam dalam sudut komedi semata. Islam menjadi bahan tawa yang tidak dinetralisir dengan keseriusan. Islam ditertawai di depan seluruh pemirsa, semata-mata agar tidak kaku, mengalir, dan tentu menghasilkan ratting tinggi. Islam menjadi “bintang” yang terserah mau dibawa kemana, dan ditafsirkan seperti apa. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah angle cerita di sinetron itu.

“Bang Madid” yang digambarkan sebagai ahli sedekah nan sombong,dengan congaknya mengatakan bahwa malaikat tidak akan pernah mencatat perbuatan dosanya karena track record kerajinannya dalam bersedekah. Seakan-akan dengan intensitas ia bersedekah, perbuatan dosa yang dilakukan manusia alpa dalam pengawasan malaikat.

Pertanyaannya pun sama, apakah sinetron itu kemudian mencounter ucapan “Bang Madid” yang sesat itu? Tidak sama sekali, ucapan nyeleneh itu dibiarkan begitu saja, yang kemudian menjadi doktrin bagi yang menontonnya.

Padahal Allah dengan tegas membahas kesesatan seperti ucapan di atas dalam Surat Al Qaaf ayat 18 bahwa, “Tidak suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas”

Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah bersabda perihal orang-orang yang suka meremehkan dan tidak dapat menjaga akhlaknya, “Tidak ada sesuatu apa pun yang dapat memberatkan timbangan seorang mukmin di hari kiamat kecuali akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah, sangat membenci orang-orang yang berbuat keji dan suka meremehkan (HR Tirmidzi)

Sinetron dengan tingkat rating tinggi ini pun mengajarkan benih-benih kesyirikan. Alkisah, seorang anak kaya bernama Jami jatuh cinta kepada seorang Muslimah bernama Sabrina, anak perempuan dari Ustadz Ali. Demi mendapatkan Gadis tersebut yang tergolong “Ustadzah”, ia rela mati-matian belajar shalat dan membaca Al Qur’an.

Pertanyaannya, apakah ia melakukan itu semua untuk menggapai ridho ilahi? Bukan, tapi semata-mata mendapatkan perempuan yang dicintainya itu. Bayangkan begitu remehnya perkara shalat dan keagungan akan Al Qur’an yang diredusir demi sebuah paras wanita. Yang tersudut atas nafsu cinta belaka.

Lihatlah bagaimana Allah sudah mengingatkan kejadian seperti di atas, dalam surat Al Bayyinah ayat 5, “Padahal mereka, tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah, dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”
Sinetron itu memang seperti menggambarkan semangat keislaman banyak manusia. Bahwa akhirnya sang Ustadzah yang pada awalnya ketat menjaga persentuhan antara laki-laki dan perempuan, lama-kelamaan dengan mudahnya disentuh oleh lelaki yang mencintainya itu.

Apakah kemudian angle cerita itu didudukkan dalam perspektif Qur’an dan Sunnah? Lalu apakah Bang Ali yang berperan sebagai ustadz panutan masyarakat mewanti-wanti putri kesayangannya? Tidak sama sekali. Sang Ustadz malah mempertanyakan perkembangan hubungan pacaran mereka. Naudzubillah. Ya Cerita itu terus mengalir dengan masing-masing tokoh yang setia didefiniskan sebagai seorang Ustadz dan Ustadzah.

Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Penonton Beristighfar

Sekarang kita beralih ke Film dan Sinetron Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Film yang Diadopsi Dari Kisah Novel Habiburrahman El Shirazy ini juga patut mendapatkan kritikan. Jauh sebelum Novel ini menjadi sinteron, kisah perjalanan Mahasiswa Indonesia di Kairo ini, pernah diangkat ke medium layar lebar. Tak jarang, film ini pun mendapatkan sambutan luas oleh para Umat muslim, termasuk beberapa Ulama.

Terlepas dari apresiasi penulis bahwa Film ini mencoba memperlihatkan kehidupan seorang penuntut ilmu di Al Azhar, Film inipun rasanya patut mendapat kritikan. Persoalannya menurut penulis tidak sepele. Sebuah “adegan ranjang” yang dipertontonkan ketika tokoh Furqan dan tokoh Anna Althafunnisa akan menunaikan misinya sebagai suami istri.

Walau adegan itu tidak dipertotonkan secara vulgar, namun pose seorang istri yang tidur di ranjang dan suami yang bersiap-siap untuk memnuhi kewajibannya sangat tidak pantas ditaruh pada isi cerita. Apalagi film fenomenal ini bergenre Islami, yang diangkat dari novel Islami, dan bernuansa Islami. Padahal Allah jelas-jelas melarang kaummnya untuk mendekati zina. ”Dan janganlah engkau mendekati zina, karena (di dalamnya) terdapat keburukan dan merupakan jalan yang buruk” (Al Maidah)

Ini belum kita hitung pada penayangan sinetron KCB yang tayang di RCTI pada jam-jam dimana Allah malah menyuruh kita untuk khusyuk mendirikan Shalat Maghrib bukan malah di depan TV. Pada suatu bagian cerita, Tokoh Khoirul Azzam dan Anna Althafunnisa terihat duduk berdampingan tanpa ada hijab yang memenuhi syari’.

Penulis bisa menebak, bahwa sang sutradara ingin betul-betul membawa penonton untuk mengakui bahwa kedua pasangan ini adalah suami-istri. Tapi bukankah pada sejatinya mereka berdua bukanlah sejoli yang sah? Bukankah masing-masing mereka pun jua belum menikah sampai detik ini? Terlebih, diakui atau tidak, kedua aktor ini telah kadung dicap seorang muslim dan muslimah hanif.

Penulis yakin, sebenarnya mereka sudah tahu tentang bagaimana tentang aturan hijab antara dua sejoli non muhrim. Uniknya, mereka berdua di film itu memerankan akting sebagai ustadz dan ustadzah yang justru mengajarkan tentang hijab. Seperti, Tokoh Azzam yang tidak mau ditemui Tokoh Elliana jika hanya berdua saja. Sebab dalam sinteron itu, mereka bukan pasangan suami isteri.

Lalu bagaimana Azzam menundukkan pandangan mata ketika adalah salah seorang santriwati yang takjub dengan ketampanananya. Tapi tentunya akan menjadi ganjil, ketika Azzam (Kholidi Asadil Alam) justru berpandangan berlama-lamaan dalam sebuah setting cerita dengan Anna Althafunnisa (Okki setiana Dewi). Padahal dalam Islam kita mengenal batasan memandang lain jenis yang bukan muhrim. Tentu ini bisa menjadi bahan telaah dalam menagrungi dakwah di jalur perfilman.

Lagi-lagi penulis di sini bukan dalam kapasitas untuk membelenggu “ikhtiar” dari banyak orang untuk memperkenalakan Sinetron-sinetron islami atau dakwah untuk menetralisir atau minimal mengimbangi maraknya sinetron-sinetron sekular.

Namun hemat penulis, justru jika cara berfikir kita demikian, secara tidak langsung kita mengajarkan diri menjadi orang munafik. Padahal kita tidak butuh “Islam yang daripada enggak”, kita juga tidak butuh “Islam yang daripada gak ada sinetron Islami”.

Tapi kita hanya mau Islam yang benar-benar Islam. Islam yang tidak ada kebohongan di dalamnya. Bukan Islam yang dipelur sedemikian rupa untuk memperlihatkan kebaikan tapi justru kemudian menyisipi kebathilan dalam hembusannya. Meminjam sebuah judul Bab dalam kitab Dirasah Islamiyah karangan Asy Syahid Sayyid Quthb bahwa: Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali. Selesai!

“Dan diantara manusia (orang munafik) itu ada orang yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah, dan hari akhir, sedang sebenarnya mereka bukan orang beriman” (Al Baqarah ayat 8-9)

Kembali ke Jalan Tauhid bukan Produk Jahili

Babak problem berikutnya adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Kalau banyaknya sinetron-sinetron yang keliru menjelaskan atau setidaknya menceritakan tentang Islam, pihak mana yang mesti bertanggung jawab.

Lalu apakah hal ini kemudian akan bisa diluruskan dengan kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Undang-undang (UU) Komunikasi, hatta ada Majelis Kontitusi yang khusus menangani bidang Komunikasi sekalipun. Rasanya penulis tidak yakin. Karena ikatan Komisi Penyiaran Indonesia bukanlah ikatan akidah. Buku panduan KPI bukanlah Al Qur’an, tapi Undang-undang yang sejatinya, menurut Ahmad Thompson bahwa produk parlemen dalam Sistem Dajjal hanya berorientasi perut.

Asy Syahid Sayyid Quthb menegaskan bahwa produk UU buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Al Haqq dan Al Bathil tidak mustahil bersintesis dalam sebuah paket UU ciptaan dan kreasi manusia yang hal itu sudah jatuh haram dalam Islam. Dan ini terbukti, lihatlah acara Empat Mata Tukul.

Acara yang dulu pernah dibredel oleh KPI ini, kini kembali tayang dengan judul lain “Bukan Empat Mata”. Jika dulu tayangan yang tidak berilmu ini dibredel karena menampilkan simulasi memakan binatang amphibi. Kini pihak produser punya cara jitu agar berkelit dari sensor KPI. Tukul kini tampil hati-hati, tapi tetap beraksi dengan lawakan-lawakan vulgar yang ditutup-tutupi, membodohi masyarakat dengan peragaan-peragaan minim busana.

Apakah penyamaran acara ini kemudian akan di-stop? Tidak, sepanjang tayangan itu tidak bertentangan dengan UU dan kebudayaan bangsa Indonesia. Inilah sebuah pergeseran yang sangat telak, dimana manhaj Qur’ani yang harus dipegang oleh Umat muslim, kemudian berganti pada sebuah nilai jahili yang sama sekali tidak jelas arahnya. Asy Syahid Sayyid Quthb dalam kitabnya Fiqhud Da’wah menjelaskan karakteristik umat yang sepert ini.

“Seiring perjalanan zaman, klasifikasi itu menjadikan sebagian orang meyakini bahwa mereka berhak disebut orang Islam, jika mereka telah melaksanakan ritual peribadatan sesuai hukum islam. Meskipun dalam menjalani ritual peribadatan mereka mengikuti manhaj yang lain, manhaj yang tidak ada mereka dapatkan dari Allah, tetapi dari tuhan yang lain! Tuhannnya itulah yang menciptakan untuk mereka dalam urusan-urusan kehdiupan mereka, apa yang tidak diperkenankan oleh Allah SWT! Ini adalah kekeliruan yang besar! Islam adalah satu kesatuan yang tidak terpisah.

Setiap orang yang memisahkannya menjadi dua bagian, seperti pembagian di atas, adalah orang-orang yang keluar dari kesatuan ini. Dengan kata lain, IA KELUAR DARI ISLAM!”

Menjalankan tugas untuk menyetop acara-acara yang tidak bermanfaat hanya bisa dilakukan dengan jalah tauhid. Sebanyak-banyaknya peraturan, lembaga komunikasi, dan sinetron Islami tidak akan pernah merubah mindset umat kepada pengakuan hanya kepada Allah lah kita menyembah, jika tidak berlandaskan dakwah bil tauhid.

Sebaliknya, hal itu hanya dapat efektif terlaksana jika segala amalan kita selalu terkait dan terikat kepada jalan pengakuan hanya Allah lah Illah yang patut kita sembah dengan menjalankan segala hukum-hukumNya.

Sebab, Islam tidak akan dapat berjalan maksimal jika umatnya justru menjadikan Islam sebagai kelas kedua. Malu-malu untuk membuka jatidiri keislamannya atas nama kompromi dan dalih karena masyarakat belum siap menerima Islam sepenuhnya. Padahal jika tidak kita yang memulainya, siapa lagi?

Oleh karenanya, jangan sampai kita disinggung oleh Allah, layaknya Allah menyinggung kaum Yahudi “Apakah engkau beriman kepada sebagaian isi kitab dan mengingkari sebagian isi kitab yang lain” Al Baqarah 85.

Wallahua’lam

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim, Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syahid Jakarta