Melenyapkan Kesombongan dengan Jalan Kesederhanaan

Kadang tak bisa kita pungkiri sampai saat ini ada sebersit cahaya sombong lagi angkuh dalam diri kita. Suatu saat, kita pernah terjebak merasa menjadi individu paling hebat. Ada kalanya, mulut kita pun tanpa sadar kerap berucap, tahu apa seseorang tentang sesuatu yang kita bicarakan. Tak jarang sesekali kita pun turut jua memakai jalur menghina pengetahuan orang di sekeliling kita, merendahkan derajat status sosialnya, padahal kita tahu orang-orang itu dalam hatinya terluka walau sepetik ucap yang sudah terlontar dari bibir kita. Sadarkah ego kita bahwa mereka sebenarnya adalah saudara, teman, dan orangtua kita sendiri yang disaat bersamaan menahan tangisnya melihat perangai takabur buah hati tercintanya tumbuh menjadi dewasa. Naudzubillah. Semoga kita selalu diampuni oleh Allah dari segala tumpukan dosa.

Betapa Sombong Dapat Menjatuhkan Kita

Jika kita mau menyisakan ruang berfikir bijak sejenak saja, kita akan terhantar pada satu pertanyaan, apakah segala intan permata lengkap dengan kesempunaan fisik dan aqli kita berada pada wilayah penguasaan kita sendiri? Apakah sempat melintas dalam keheningan kalbu kita untuk menjiwai bahwa segala atribut yang kita sombongkan berada pada genggaman mutlak jiwa kita? Jika iya, bukankah kita hidup awalnya dari setetes mani hina yang kemudian diangkat derajatnya oleh Allahu ta’ala. Bukankah sekiranya kita jua lahir dari rahim seorang bunda, tanpa setitik andil cahaya kejumawaan yang kita banga-banggakan saat ini. Jika itu yang sedang kuatnya tertanam dalam kepribadian kita, hati-hati saudaraku, teramat mungkin kita sedang berada pada fase takabur, baik pada diri sendiri, lingkungan, dan bahkan Allahuta’ala. Naudzubillah.

Allah telah menunjukkan betapa segala yang kita miliki bisa luluh lantah diambil oleh Sang Maha Pencipta walau sekuat-kuatnya menahan. Kisah Fir’aun dan jasadnya yang masih tampak hingga detik ini adalah bukti Allah ingin memberi filosofi sederhana namun langka bagi pecintaNya. Betapa glamoritas dunia amatlah sempit dan niscaya tak dapat diperthankan barang secuilpun. Sebab itu, renungilah ketika Allah menjatuhkan sebuah ayat sebagai pengingat agar hambaNya tidak ikut lupa

“Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu (fir’aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”(QS.Yunus:92).

Lalu, Rasulullah SAW pun senantiasa menyertakan sifat takabur umatnya dalam sorotan hadis-hadis menyentuh beliau. Dalam salah satu ucapan Nabiyullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA, Beliau menarik bentuk penyakit hati seperti takabur dalam ganjaran yang menjauh dari cicipan surga,

”Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya ada penyakit kibr (takabbur) meskipun hanya seberat dzarroh (terdapat seberat atom dari kesombongan).

Bayangkan, demi sebuah untaian hikmah bagi manusia sampai akhir zaman, Allah pun sampai-sampai harus mengawetkan jasad Fir’aun agar kita berfikir bahwa kesombongan diri terhadap Allah memiliki ganjaran yang tidaklah sedikit. Begitu jua dengan Rasulullah yang hingga begitu haru membirunya menyeret pengandaian takabur walau sekecil biji sawi.

Namun sebenarnya apakah arti dari takabur (sombong) tersebut? Dr. Amin An-Najar mengutip perkataan Al-Raghib Al-Isfahani bahwa kata كبر تكبر, danاستكبر adalah tiga kata yang memiliki kesamaan makna. كبر (takabbur) adalah keadaan seseorang yang merasa takjub dengan dirinya sendiri. Ketakjuban tersebut adalah memandang bahwa dirinya lebih besar dan lebih agung dari dirinya sendiri.

Dari pengertian di atas kita dapat disimpulkan bahwa sombong ialah sikap berlebih karena merasa diri kita mempunyai banyak kelebihan dan menganggap orang lain mempunyai banyak kekurangan. Memandang diri dari kaca mata kebesaran dan kemuliaan dunia serta memandang orang lain dari kaca mata kerendahan dan kehinaan.

Semakin kita merasa diri sempurna, semakin kita akan lupa esensi bahwa akhirat adalah tujuan semata dan dunia adalah gelas durhana. Semakin kita menggangap diri adalah Sang Juara, niscaya semakin sulit kita untuk ikhlas saat kekalahan menyapa. Jika hal tersebut langgeng dalam sela batin kita, yang timbul hanyalah rasa capek, letih, cemas, gelisah, karena sejatinya kita ini terpenjara. Terpenjara oleh nafsu fatamorgana. Terpenjara atas pengharapan aliran tepuk tangan manusia. Kalau saudah begitu, kita tak ubahnya akan selalu diperbudak hawa nafsu dunia untuk tampil paripurna dengan apapun caranya. Padahal yang selama ini yang kita pakai adalah topeng, topeng untuk menutup kelemahan kita, bukan diri sejatinya.

Untuk itu, ingatkah saudaraku sebuah kisah percakapan iblis dengan Allahuta’ala yang dikemudian saat bersamaan iblis jatuh hina dengan perkara yang serupa: sombong merasa asal usul kejadiannya dari bahan yang mulia. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawablah iblis "aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah"(QS, al-A’raf [7]: 12.).

Melenyapkan Sifat Sombong dengan Kesederhanaan

Pada dasarnya mengentaskan sikap sombong butuh keberanian dalam diri kita. Tidak perlu merasa gengsi, keki, apalagi malu. Ingatlah dampak yang akan kita rasakan saat detik pertama sombong hilang dalam jiwa kita, diganti kehangatan Allah yang memeluk jantung kalbu kita.

Rumus sederhana menjadi kaya adalah dengan melaksanakan lawan katanya, yakni kesederhanaan. Seorang ulama bisa menjadi pribadi yang dihiasi ilmu, karena selalu menganggap ilmu yang dikuasai belumlah seberapa. Seorang pelari dapat mencapai garis finish, sebab ia sadar kakinya belum menyentuh batas akhir. Kholifah Umar Bin Khathtab RA mampu tampil memikat umat di Jabiah saat menemui Abu Ubaidah sebab karena kedatangannya yang justru hanya bermodalkan pribadi sederhana: berbaju kasar, bahkan berjalan dibawah unta yang sedang diduduki pelayannya.

Hal itu sontak membuat para masyarakat Jabiah terkejut sekaligus terpukau. Bagaimana mungkin seorang Kholifah Umat Islam berlevel dunia berjalan kaki sedang pelayannya asyik menunggangi unta. Apakah pelayan itu kurang ajar? Tentu tidak, hal itu dapat terlaksana karena sistem pergantian jam menaiki unta yang dilakukan keduanya saat menuju kota. Padahal kalau kita berfikir nyaman, amat mungkin Kholifah Umar dengan segenap kuasanya merasa diri besar dan menindas pelayan itu untuk selalu mengawasinya mengendarai unta selama waktu perjalanan. Namun Kholifah Umar tahu betul esensi jabatan sejati, yakni dengan merapatkan makna amanah yang kecil di mata Allah didekatkan dengan sikap tawadhu yang mampu menembus ulu tawadhu.

Oleh karena itu, kesederhanaan Kholifah Umar pun selalu dikaitkan dengan itikad takwa penuh rasa syukur. Saat tiba di Jerusalem pasca perjalanan dari Jabiah, beliau dengan pakaian teramat sahaja dihadapan materialisme Bizantium lalu mendirikan shalat pada tempat dimana Nabi Daud dipercaya melaksanakan ibadah tersebut sebelumnya. Hal itu kemudian menusuk hati masyarakat Romawi Bizantium dengan kekaguman luar biasa lantas berucap bahwa “Kami tidak akan menyesali untuk menyerahkan kunci kota Jerusalem kepada kaum yang memang taat pada Tuhannya”. Tahukah engkau saudaraku, karena sikap sahaja itulah rakyat Jerusalem berubah menjadi sangat yakin bahwa Umat Islam-lah yang memang layak menduduki wilayah suci yang terkenal sakral tersebut. Dan kita juga tidak boleh lupa, Kholifah Umar bin Khaththab RA lah yang pernah bertutur dan ucapannya itu akan dikenang selamanya, “Jika ada dua umat Nabi Muhammad, salah satu yang masuk nereka adalah aku” Padahal justru Kholifah Umar-lah yang dijamin masuk surga. Subhanallah.

Cerita lain jua turut dilukis oleh keteladanan Rabbani Baginda Nabi Muhammad SAW. Pada suatu ketika baginda Rasulullah menjadi imam solat. Para sahabat merasa aneh jika melihat pergerakan Rasulullah antara satu rukun ke satu rukun yang lain teramat sukar sekali. Sesekali mereka mendengar suara menggerutup yang tak lazim seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia Rasulullah bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang menaruh curiga perihal keadaan baginda tersebut langsung bertanya setelah selesai sholat, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”. Rasulullah lantas menjawab “Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar” Umar lantas mengejar, “Ya Rasulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.

Dan para sahabat amat terkejut tatkla menyaksikan perut Rasulullah yang kempis seraya dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil buat menahan rasa lapar. Ternyata batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

Bayangkan seorang Nabi rela menahan lapar dengan lingkaran batu kerikil yang mendekap tubuhnya demi sebuah nilai amanah kepemimpinan yang tak terkira. Kita dapat belajar bahwa beliau bukanlah tipe yang takabur meratapi dirinya adalah seorang pembesar agama Islam. Beliau berkembang menjadi tipikal bagaimana sebuan nafas kesederhanaan mampu menaklukan rimba takabur dalam satu kibasan kesahajaan.

Hingga Umar bin Khattab tidak tega melihat kholifahnya dalam kondisi yang tidak sepatutnya, “Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?” Lalu baginda menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.” Subhanallah

Bagi kita yang selalu merasa jijik dan malu bersanding dengan orang yang berada dua-tiga level dibawah kita, mungkin kisah ini mampu menaklukan ego kotor itu. Dalam catatan lain, kesahajaan Baginda Rasulullah pernah mengemuka pada setting dimana beliau tanpa canggung, gengsi, keki dan malu sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor. Tidak ada sumpah serapah menyeringai, beliau malah turut nikmat menyantap rezeki Allah yang turun kepadanya. Lalu beliau pun pernah penuh rasa kehambaan membasuh tempat yang dikencingi orang Badui di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu. Kecintaannya yang tinggi terhadap Allah SWT dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah SAW menolak sama sekali rasa egositis meski status tidak lagi dibawah.

Terapi Kesombongan menurut Al Ghazali

Sebab itu, Ulama besar Abdul Hamid Al-Ghazali akhirnya merumuskan sebuah pendekatan agar sebongkah kesombongan mampu lenyap dalam hati kita. Caranya tidaklah sulit yakni dengan pertama-tama menumbangkan pohon kesombongan dari akarnya yang tertancap di dalam hati, yakni dengan jalan mengenal diri sendiri dan Allah sebagai Sang Pencipta. Jika kita sudah mengenal diri dan Allah, kita akan menyadari betapa manusia itu tidak selayaknya memiliki sifat sombong. Kita ditakdirkan menghamba dan lebih tinggi dari makhluk lainnya, jadi tidak perlu memaksakan diri untuk memulia-muliakan pribadi dan memaksa tampil untuk terlihat jumawa di hadapan khalayak.

Lalu langkah kedua adalah dengan mencegah supaya kesombongan yang sudah terkikis tidak kembali menghantui jiwa kita. Dengan secara praktis kita juga dapat menerapkan disiplin kepatuhan dan tunduk secara nyata kepada Allah SWT. Oleh, karena itu, Al Ghazali merumuskan beberapa hal yang bisa kita tempu, sebagaimana sebagai berikut:

  • Jika kita sombong karena keturunan hendaknya mengobati diri dengan senantiasa mengenali kembali keturunan sejati kita, yaitu debu dan air mani.
  • Andai bangkai sombong karena kecantikan menerpa, hendaklah kita lebih banyak melihat kepada apa yang terkandung dalam batin kita bukan pada lahirnya saja.
  • Apabila kita digerogoti rasa sombong karena kekuatan, dapat diobati dengan pengetahuan bahwa penyakit akan membuat kita sekejap terkulai lemah.
  • Lalu jika kita selalu terkait akan kesombongan karena harta dan kekayaan dapat diobati dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta kekayaan, pendukung dan pengikut itu suatu saat akan meninggalkan. Itu pasti bukan? Dan kita tidak membawa apa-apa.
  • Lantas, pada suatu kita sombong akan ilmu yang kita miliki, dapat diobati dengan cara pertama-tama menumbuhkan kesadaran pada pribadi kita bahwa Allah SWT memaklumi orang yang bodoh dan sama sekali justru tidak memaklumi orang yang mempunyai pengetahuan. Kedua dengan menyadari segenap diri bahwa kesombongan itu hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT saja. Dan Allah saja yang Maha Pencipta tidak sombong, Ia selalu meluakan lapangan ilmu bagi setiap hambanya yang mau mengejar.
  • Terakhir apabila kita sombong karena titel ketekunan ibadah kita, dapat diobati dengan cara mengharuskan diri kita supaya dapat bersikap rendah hati pada semua orang. Bukankah iman dan amal selalau berkaitan dengan amal? Sudah seharusnya karena begitulah Rasulullah menampakkan keteladanannya.

Semoga dengan ini kita selalu dijauhkan dari prasangka sombong yang hanya akan menyebabkan bertambahnya deretan penyakit hati yang sudah menumpuk dalam jiwa kita. Lagipula, buat apa kita sombong, toh kita masih menumpang di bumi Allah dan jika tidak hati-hati, kesombongan jualah yang memakan kita di akhirat nanti. Semoga kita diselamatkan dari ganasnya siksa Allah kelak.

"Kecuali orang yang bertobat dan beramal saleh, maka mereka akan Allah gantikan keburukannya dengan kebaikan. Adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QA, al-Furqân: 70)

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim