Kesederhanaan Seorang Pemimpin

Tampuk Kepemimpinan di Indonesia kini mendekati masa akhirnya, pemilihan pemimpin baru akan kita saksikan dalam waktu dekat. Pemimpin selain harus memiliki sikap intregitas, cerdas, berpengalaman, berwawasan luas dia juga dituntut untuk hanif.

Yaitu, bagaimana seorang pemimpin bisa menenpatkan dirinya pada dua tanggung jawab. Tanggung jawab di hadapan rakyatnya dan Tuhannya. Sehinga dengan kenikmatan fasilitas yang ia dapatkan dari negara, tidak membuat ia lupa terhadap kesengsaraan rakyat di balik gedung-gedung negara. Karena ia memahami, fasilitas itu walau terkadang rakyat tidak menuntut, namun Allah akan menuntut setelah meninggalnya.

Kisah Umar bin Khattab bisa menjadi cermin bagi kita. Ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khattab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya "Apa nama makanan ini?".  "Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma", jawab salah seorang dari mereka.

Sang Gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum. "Subhanallah" Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan senang, ujar Utbah.

Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak. Setelah makanan tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke madinah dan membawa habish untuk Khaliofah Umar bin Khattab. Sang khalifahsegera membuka dan mencicipinya. "Makanan Apan ini?" tanya Umar.

"Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan," jawab salah seorang utusan.

"Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bia menikmati makanan ini?’, tanya Umar lagi.

"Tidak. tidak semua bisa menikmatinya", jawab utusan itu gugup

Wajah Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada Gubernurnya ia menulis surat "………makanan semanis dan seselezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu"

Sungguh kisah tersebut merupakan pelajaran berarti bagi kita, para orang kaya serta para pemimpin saat ini dan di masa depan. Potret kesenjangan sosial di negara kita begitu nampak. Di sela-sela mobil mewah kita saksikan tangan anak peminta-minta. Di balik gedung-gedung juga terdapat perumahan kumuh milik rakyat jelata. Kemana perasaan iba para pemimpin dan orang kaya di negara kita. Tidakkah mereka menyaksikan pemandangan yang nyata-nyata kontras ini??

Kisah Sa’id bin Amir, Bupati kota Hamsha di Syam pada masa Umar bin Khattab, juga menarik untuk kita simak. Ketika awal penempatan Sa’id sebagai Bupati, Umar menawarkan kepadanya bekal materi untuk melengkapi fasilitasnya sebagai Bupati di Hamsha.

"Gajiku dari baitul mal (lembaga keuangan negara di zaman itu) cukup untuk memenuhi kebutuhanku wahai Amirul Mukminin", tutur Sa’id menolak tawaran Umar. Kemudian dari Madinah Sa’id menuju Hamsha dengan bekal secukupnya.

Di suatu hari Umar memrintahkan seseorang yang dipercayainya di kota Hamsha -selain Bupati- untuk mendata warga msikin di kota itu. "Datalah nama-nama keluarga miskin di kota Hamsha dan aku akan memenuhi kebutuhan mereka", ujar umar menyuruh orang kepercayaannya. Nama-nama pun terdata dan Umar membacanya. Ternyata terdapat nama Sa’id bin Amir -sang Bupati- dalam daftar itu.

"Siapakah Sai’d bin Amir ini?", tanya umar.

"Dia Gubernur kami", jawab pendata nama-nama itu.

"Gubernur kalian miskin???" , tanya Umar keheranan.

"Iya, ia memang miskin, bahkan selama ia memimpin, tungku api pun tidak pernah menyala di rumahnya",  jawab orang itu.

Seketika itu umar menangis sampai air matanya membasahi janggutnya. Kemudian Umar berkata: "Sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin mengirimkan kepadamu harta ini untuk memenuhi kebutuhanmu". Harta itu pun dibawa ke Hamsha dan diberikan kepadanya. Setelah harta itu diterima Sa’id, ia tidak menggunakan harta itu untuk keperluannya, namun ia segera membagikannya kepada keluarga-keluarga miskin yang berada di bawah tampuk kepemimpinannya.

Jeda beberapa waktu, Umar pergi menuju negri Syam untuk melihat kondisi rakyatnya di negri itu, ketika tiba giliran melewati kota Hamsha, Umar mengumpulkan masyarakat Hamsa dan bertanya tentang keluhan yang dialami masyarakat terhadap pemimpinnya. "Bagaimana kepemimpinan Bupati kalian??

"Ada beberaoa hal yang kami keluhkan wahai Amirul Mukminin", jawab rakyatnya

"Apakah hal tersebut??", tanya Umar

"Pertama, ia tidak pernah keluar untuk melihat kondisi kami kecuali ketika hari sudah siang"

"Apa Alasanmu atas keluhan ini wahai Sa’id?", tanya Umar kepada Bupati Sa’id

"Demi Allah sebenarnya aku tidak ingin mengatakan rahasiaku ini di hadapan rakyatku, namum jika memang harus aku katakan maka akan aku katakan. Sesungguhnya keluargaku tidak memiliki pembantu, sehingga aku bangun di setiap pagi untuk membuat roti, sampai roti itu siap saji aku pun berwudhu dan keluar menuju rakyatku", ujar Said

"Kemudian apalagi yang kalian keluhkan??" Tanya Umar kepada rakyat

"Sa’id tidak pernah memenuhi undangan kami di malam hari" keluh rakyat kepada Umar "Apa Alasanmu atas keluhan ini wahai Sa’id?", tanya Umar kepada Bupati Sa’id

"Demi Allah sebenarnya aku juga tidak ingin mengatakan rahasiaku ini di hadapan rakyatku, namum jika memang harus aku katakan maka akan aku katakan. Sesungguhnya aku telah berikan semua waktuku sepanjang siang kepada yang aku pimpin, maka ku berikan waktu malamku untuk Allah (yang memimpinku).

Kemudian Umar mengirimkan uang sebesar 1000 Dinar untuk memenuhi keperluan Sa’id bin Amir. Ketika diterima, ia berkata kepada Istrinya :  "Wahai istriku lebih baik kita berikan uang ini kepada yang memberikannya kepada kita",ujar Said. "Siapa wahai suamiku?", tanya sang istri.  "Berikan uang kepada Allah dengan cara menginfakkannya di jalan-Nya", jawab Said.   "Iya wahai suamiku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan kebaikan lain"

Kemudian ia memanggil salah satu anggota keluarganya dan berkata "berikan uang ini kepada, Anak-anak yatim si A, B, …. dan kepada Keluarga miskin A, b, …… dan kepada Istri-istri yang menjanda A, B, …. dan kepada keluarga Faqir A, B dan ….."

Subhanallah, pada kisah pertama Umar menegur Gubernur yang menikmati kenikmatan tanpa memikirkan rakyatnya. Dan pada kisah kedua Umar memberikan fasilitas kepada Bupati yang begitu memperhatikan kondisi ekonomi rakyatnya, tidak tanggung-tanggung bahkan 1000 Dinar diberikan kepadanya dalam waktu dua kali.

Ini artinya, pemimpin memang berhak mendapatkan fasilitas lebih dari negara agar mampu memfokuskan pikirannya kepada urusan negara dan rakyat, sehingga ia tidak lagi disibukkan dengan masalah perut dan kebutuhan rumah tangganya.

Namun fasilitas tersebut harus diimbangi dengan perhatian besar terhadap kesejahteraan rakyat. Karena kesejahteraan rakyat erat kaitannya dengan ketentraman hidup bermasyarakat. wallahu a’lam.

Kamis, 12 02 2009 4:29 PM Waktu Libya

Profil Penulis :

Rahmat Hidayat Lubis, Mahasiswa pada Faculty of Islamic Call Tripoli Libya. The Specialization of Call and Civilization