Ramadhan dan Budaya Konsumtif

Apa yang terbayang dalam benak kita, ketika kata ramadhan ini disebutkan. Lemas, tidak makan dan minum, jam aktifitas berkurang dan tunjangan hari raya di akhir bulan. sekurang-kurangnya itulah yang tergambar dalam bayangan awal kalau bulan ramadhan tiba. Sebab, bicara soal ramadhan berarti bicara soal puasa.

Dan puasa identik dengan lemas, tidak bergairah, lesu, karena mulai dari terbit fajar sampai tenggelam matahari tidak dibenarkan makan dan minum. Kalau sudah masuk waktu maghrib, makan dan minum itu kembali dibolehkan.

Aktifitas menahan lapar dan dahaga ini berlangsung selama sebulan penuh. Itu artinya, kalau orang yang berpuasa hanya sekedar tidak makan dan minum, maka rasa lapar dan haus yang paling banyak dirasakan.

Sepanjang siang ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga puasanya tidak batal. Ia mampu menahan keinginan perutnya, hingga saatnya tiba. Dan begitulah seterusnya selama satu bulan penuh.

Puasa orang semacam ini dikategorikan oleh Imam Ghazali ke dalam model puasa orang awam/kebanyakan. Mereka puasa hanya sebatas lepas kewajiban. Mereka puasa sekedar menahan hal-hal yang membatalkan . Puasanya sah, tapi kualitas puasanya baru mencapai kulit, bukan isi. Dan biasanya tidak banyak nilai-nilai puasa yang didapat selama bulan ramadhan.

Padahal, bulan ramdhan adalah wahana yang diberikan Allah agar setiap hambaNya memahami nila-nilai dalam pelaksanaan salah satu rukun islam tersebut. Tapi, kebanyakan orang hanya melihat kewajiban puasa ini sebatas perintah formal. Mereka kurang begitu menghayati apa hakikat dan tujuan puasa itu.

Dan kalau sebuah kewajiban hanya dipandang semata hukum atau peraturan, jadilah perintah syariat itu sebatas hitam diatas putih. Tak ubahnya dengan hukum dan peraturan lainnya, syariat islam hanya berfungsi sebagai undang-undang Allah yang termaktub dalam kitab-kitab fikih klasik.

Benar, syariat ibarat rambu-rambu kehidupan. Melalui syariat ini setiap muslim diarahkan untuk beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Akan tetapi, syariat bukan sekedar hukum atau undang-undang, karena syariat juga memiliki sisi lain yang sarat dengan penanaman nilai.

Setiap hukum yang termaktub dalam Fikih memiliki tujuan yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk nilai. Tujuan-tujuan hukum inilah kemudian yang diperkenalkan oleh Imam Syatibi dengan istilah maqashid syariah.

Begitu halnya dengan puasa. Perintah berpuasa menanamkan banyak nilai ke dalam diri setiap muslim. Menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkan puasa bertujuan untuk membiasakan seseorang mengkonsumsi makanan tidak berlebihan.

Sahur dan berbuka adalah cerminan disiplin waktu bagi seseorang memberikan hak perut untuk makan. Dan, dari rasa lapar yang dirasakan kiranya mampu menimbulkan empati serta solidaritas membantu fakir miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Ada satu hal yang sangat miris kita temukan sehubungan dengan bulan ramadhan. Hari-hari dimana setiap muslim berpuasa, tapi justru kebutuhan pangan selama bulan ini meningkat. Kalau sehari semalam ada dua puluh empat jam dan dua belas jam adalah waktu puasa, tidak makan dan minum, otomatis kebutuhan pangan berkurang.

Tapi ternayata justru yang terjadi kebalikannya. Hampir setiap rumah tangga, anggaran belanjanya menjadi dua kali lipat bahkan lebih. Dan itu biasanya dialokasikan, untuk membeli makanan yang akan dikonsumsi pada malam hari.

Bukti lain dari peningkatan kebutuhan pangan juga ditandai dengan jaminan pemerintah perihal pasokan sembako yang cukup ketika ramadhan tiba. Atau, bisa dilihat juga pada pasar-pasar yang melebarkan wilayahnya untuk penyediaan kebutuhan pangan.

Kemudian yang paling khas ditemukan, pedagang-pedagang bermunculan di sepanjang jalan. Biasanya mereka standby mulai setelah ashar. Mereka menjajakan makan-makan kecil untuk berbuka dan juga minuman.

Bukan ramainya pedagang makanan berbuka itu yang disayangkan, bukan pula usaha pemerintah yang dalam hal ini menyediakan stock sembako. Tapi, sikap berlebihan masyarakat dalam mengkonsumsi makanan. Perhatikan pola makan di bulan ramadhan.

Banyak di antara kita, yang melaksanakan puasa kayak anak kecil. Supaya puasanya penuh, dijanjikan saat berbuka nanti akan diberikan makanan yang banyak.

Dan tidak sedikit pula di antara kita puasa balas dendam. Karena seharian tidak makan dan minum, maka sewaktu berbuka semua makanan yang terhidang habis disantap. Pola makan seperti inilah yang membuat setiap keluarga harus mengeluarkan lebih uangnya.

Wal hasil, karena kebutuhan meningkat, sementara persedian terbatas maka harga dipasaran menjadi naik. Dan puncaknya ini terjadi seminggu sebelum lebaran. Kalau harga-harga kebutuhan pokok meningkat, maka itu akan membuat setiap harga barang naik menyesuaikan kebutuhan yang ada.

Apa yang terjadi, kalau prinsip ini yang justru terbentuk dalam pribadi muslim selama bulan ramadhan. Yang seharusnya kesempatan puasa untuk melatih diri agar tidak mubazir dalam membelanjakan harta, malah yang terjadi mereka banyak melakukan mubazir dan israf (berlebihan) dalam mengkonsumsi makanan.

Puasa bertujuan untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa. Yaitu mereka yang senantiasa mematuhi perintahNya dan menjauhi laranganNya. Bagaimana mungkin target takwa itu dicapai, kalau yang ada malah prilaku mubazir dan israf, yang nyata-nyata itu perbuatan tidak disukai Allah. Bahkan dikatakan orang-orang mubazir itu kawan setan.

Dan Allah telah menyiapkan salah satu pintu surga bernama rayyan, bagi kita yang melaksanakan puasa. Tentunnya, bagi kita yang melaksanakan puasa tidak hanya sebatas kewajiban. tapi lebih pada penghayatan-penghayatan nilai yang terkandung di dalamnya.

Fery Ramadhansyah asal Medan, alumni MAN 2 Medan jurusan Keagamaan, Menyelesaikan S1 pada Tahun 2009, Fakultas Syariah Islamiah (Islamic Jurisprudence), Universitas Al Azhar Cairo -Mesir. Kabid Ta’lim PWK. PII-Mesir.
e-mail: [email protected]
http://www.madhan-syah.blogspot.com/