Menggugat Renaissance-Humanisme

Wacana humanisme yang akhir ini dihembuskan oleh para pemikir barat seolah menjadi sebuah primadona dalam kancah paham dan pemikiran di dunia; terlebih lagi di dunia barat sebagai kampiun pemikiran filsafat.

Namun sebelum memberikan justifikasi positif terhadap humanisme perlulah kita melihat kembali sejarah munculnya paham ini beserta pengemban dan pencetusnya. Karena sebuah pemikiran pastilah lahir dari latar belakang peristiwa tertentu.

Adalah David Hume, seorang yang dilahirkan di Edinburh, Skotlandia pada tahun 1711 yang mencetuskan pemikiran Humanisme. Tidak lain dengan tujuan untuk membela kemanusiaan dan menghindarkan manusia dari perbudakan yang diperjualbelikan. Keluarganya mengharapkan ia menjadi hukum, namun Hume hanya menyenangi filsafat.

Setelah beberapa tahun belajar otodidak, ia pindah ke La Flèche, Paris. Hingga ajal menjemput, ia tetap menghabiskan waktu di Prancis. Sebagai seorang Empiris, tentulah cara pendangnya bertolak dari latar belakang peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Pada dasarnya, secara umum titik tolak munculnya filsafat modern dilatar belakangi karena cara berfilsafat yang dipimpin oleh gereja dengan menjadikan dogma sebagai sebuah keputusan yang tidak boleh dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Kepemimpinan gereja inilah yang membuat para pemikir tidak sanggup berkembang (jumud) ketika menyalahi atau bertentangan dengan apa yang telah dicetuskan oleh gereja.

Walhasil, perlawanan pemikiran dilancarkan oleh para pemikir dengan melepaskan diri dari dogma gereja tersebut. Dalam bahasa lain, menempatkan Tuhan pada tempatnya dalam ritualitas ibadah saja dan menempatkan para cendekiawan pada tempat yang lainnya (baca: sekulerisme). Pembentukan dua kutub kepentingan ini seolah diamini oleh hampir seluruh (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya) pemikir filsafat modern, dilihat dari corak pemikiran dan pemahamannya.

Pemikiran yang didasarkan untuk melepaskan diri dari dogma gereja ini lantas meniscayakan untuk menempatkan manusia sebagai sebuah poin yang sentral dalam pandanan kehidupan. Corak pemikiran antroposentris ini sudah pasti menempatkan akal fikir dan pengalaman yang dapat dijangkau manusia untuk menentukan hukum. Subjektivitas adalah sebuah kredo yang tidak terelakkan karena menempatkan manusia sebagai subjectum, yaitu pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu baik benar-salah atau baik-buruk tanpa memperhitungkan keterbatasan akal manusia berikut pengalaman yang ia peroleh.

Dengan kata lain, Tuhan dianggap menjadi prinsip bagi segala yang ada. Namun peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai subjek. Berjuta kritik lantas muncul dalam langit opini saat itu sebagai sebuah bentuk ekspresi dari penghancuran otoritas gereja. Rasio lantas dimaknai tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang untuk menghancurkan prasangka yang menyesatkan. Selanjutnya logika kritis ini lantas dimaknai sebagai sebuah gerbang untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang dari keadaan yang sebelumnya mengungkung.

Dari latar belakang penindasan oleh gereja inilah lahirlah zaman renaissance yang lekat disebut sebagai zaman humanisme; yang digadang-gadang sebagai sebuah kebangkitan pemikiran. Hal ini nampak dalam karya seniman zaman renaissance seperti Donatello, Botticelli, Michelangelo, Raphael, Perugino dan Leonardo da Vinci.

Bagaimanapun juga Humanisme ini lantas tidak bisa lepas dari perihal Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme berikut pemikiran filsafat yang menjadi selimut; seolah gincu yang memaniskan pemikiran yang sesungguhnya bertentangan dengan fitrah manusia yang menghamba, yang bukan melegalkan proses pemisahan agama dari kehidupan dan juga negara, yang bukan menempatkan manusia untuk membuat hukum, dan yang hanya mengimani Allah SWT sebagai Dzat Yang Menggenggam jiwanya dengan menafikkan yang lain.

Pemikiran humanisme ini sudah barang tentu bertentangan dengan konsep Islam yang dengan hakiki membebaskan manusia dari penjajahan dan perbudakan secara menyeluruh dan mengakar. Hal ini sebenarnya sudah nampak ketika Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW datang di masyarakat Arab. Monopoli perekonomian dan perbudakan bagi kaum miskin tidak diperbolehkan dalam Islam, karena Islam meletakkan keadilan dan persamaan dalam tatanan perekonomian, sosial, berikut juga politik.

Sesungguhnya, apa yang dialami Eropa abad pertengahan dalam bentuk penindasan sebuah agama terhadap masyarakat sudah terjadi pada masa Rasulullah. Misalnyadi Persia terdapat agama Mazdaisme yang telah luntur dan berubah menjadi agama Majusi. Di Romawi Timur, agama Nasrani telah dimasuki pelajaran syirik dan menjadi bahan olok-olok.

Para penguasa dan pemuka agama di kedua wilayah itu menjadikan agama sebagai alat untuk mempermainkan rakyat demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Ketika Islam hadir sebagai sebuah pilihan bagi masyarakat saat itu, Islam tidak hanya menampakkan diri sebagai sebuah agama ritual belaka, namun juga memaparkan sistem yang komprehensif dalam berbagai bidang.

Dan terbukti, hanya Islam-lah yang dapat melepaskan masyarakat dari apa yang disebut oleh para sejarawan sebagai al-Ayyam al-Jahiliyah (the day of the darkness). Tepatlah ketika Muhamad SAW sangat ditunggu kehadirannya untuk membebaskan dari kondisi keterpurukan saat itu seperti yang diungkapkan Philip K. Hitti –the stage was set, the moment was psycological, for the rise of great religious and national leader-.

Pada dasarnya, kita tidak bisa menjadikan peristiwa yang terjadi di ranah gereja di Eropa sebagai sebuah legitimasi untuk melakukan hal yang sama pada Islam, karena apa yang terjadi sungguhlah berlawanan. Islam justru mampu melahirkan khasanah ilmu pengetahuan ketika para pemikirnya dilandasi sebuah landasan keimanan untuk memajukan Islam.

Islam memang tidak melarang adanya kajian pemikiran, bahkan memperbolehkannya. Islam juga tidak melarang adanya pengambilan pemikiran, bahkan juga memperbolehkannya. Akan tetapi, Islam menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai landasan bagi seluruh pemikiran dan standar untuk mengambil dan menolak pemikiran yang bertentangan dengan landasan ini, Islam juga tidak memperbolehkan mengambil suatu pemikiran, kecuali landsan tersebut memperbolehkannya.

Konsep inilah yang seharusnya dipegang teguh sebagai seorang Muslim. Bagaimanapun juga, memahami pemikiran diluar Islam dengan memperhatikan premis-premis logika yang terkandung didalamnya merupakan suatu keharusan sebagai seorang pembelajar, sehingga kita tidak mengikuti pola pikir para filosof Yunani dan mengambil filsafat sebagai tsaqofah; yang berimbas pada pengambilan pendapat filsafat Yunani dengan memperhatikan Islam menurut pandangan ide-ide filsafat Yunani. Sikap pengambilan filsafat Yunani sebagai sebuah asas akan sangat berbahaya bagi Islam itu sendiri, karena pada dasarnya asas menjadi sebuah landasan (frame berfikir) yang nantinya menjadi sebuah sudut pandang untuk melihat pemikiran Islam.

Misalnya adalah sebagai berikut, humanisme yang digadang oleh seorang empiris David Hume pada suatu waktu memang akan memperjuangkan kebebasan manusia, namun pada saat yang bersamaan akan menempatkan manusia sebagai faber mundi (orang yang menciptakan dunia). Hal ini adalah suatu keniscayaan darinya karena menempatkan manusia sebagai subyek dari segala sesuatu. Nah, karena menempatkan manusia sebagai segalanya, maka meniadakan Tuhan adalah suatu hal yang mutlak sebagai prinsip darinya. Hal ini sejalan dengan pendangan empirisme yang juga dicetuskan oleh Hume.

Bahwa segala sesuatu (pengetahuan) di dasarkan pada pengalaman. Jika dilakukan sebuah analogisasi, maka pengetahuan manusia yang ada saat ini tentu berasal dari nenek moyangnya; berikut seterusnya hingga manusia pertama tercipta.

Dengan memberikan penjelasan bahwa segala sesuatu dari pengalaman atau yang lebih dikenal dengan kredo “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”, maka peran Allah SWT sebagai Dzat yang memberitahukan nama-nama benda kepada Nabi Adam AS pun ditiadakan. Pemikiran ini sesungguhnya tidak lebih dari pemikiran yang dicetuskan para kaum yang mengaku tak berTuhan.

Ketika memahami kerancuan berfikir yang dibawa oleh para filosof Barat seperti saat ini, akankah kita memegang teguh pemikiran Islam yang Rahmatan lil Alamin…?? Saya serahkan jawabannya kepada anda, karena hidup adalah sebuah pilihan. Wallahu A’lam Bish Shawab.

Rasyid Ichsani; Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta