Menanti Qutuz

Jumlah orang tewas dan orang hilang terus merangkak di Suriah, menyusul bentrokan berdarah (sebagian media menyebut ‘pembantaian’) sejak malam Ramadhan yang lalu di negara itu, terkhusus di kota Hama yang dijadikan pusat protes massa. Bashar al-Assad, nampaknya, sekeras Gadaffi, ingin menyampaikan pesan bahwa tak semudah itu menggulingkan dirinya. Sesuai namanya, Assad yang artinya ‘singa’, putra dari presiden pendahulunya ini menampilkan diri sebagai tipe penguasa tangan besi, mengabaikan kecenderugan fitrah dari rakyat yang ingin mengakhiri 40 tahun tirani.

Pemberontakan, Hama, dan pembantaian, mengingatkan kita pada peristiwa serupa pada tahun 1982. Ketika itu Hafiz al-Assad, ayah Bashar, mengerahkan pasukannya untuk memadamkan (tepatnya membantai) pemberontakan yang dinisbahkan kepada gerakan Ikhwanul Muslimin. Atas nama hal tesebut, 10.000 rakyat menemui ajalnya. Nampaknya, solusi militer menjadi favorit rezim itu hingga kini. Sementara itu, adanya faktor ‘semangat Islam’ pada berbagai demostrasi hari ini di Suriah, kian membenarkan tindakan represif tersebut. Sebagaimana yang kita simak di media, demonstran meneriakkan “Laa ilaaha illallah” dengan lantang. Isu agenda pendirian pemerintahan Islam pun mewarnai pemberitaan dan diskusi-diskusi media di Timur Tengah. Ya, saat ini mereka merindukan tegaknya pemerintahan Islam yang akan menggantikan pemerintahan tiranik yang pro-Barat.

Perlu kita ingat, ketika peristiwa Suriah ini naik ke permukaan, masalah Libya belum juga selesai, Yaman masih bergolak, dan Gaza masih di bawah pendudukan Yahudi. Hari ini menjadi saat-saat di mana penderitaan umat mencapai titik kulminasinya. Umat memerlukan pasukan yang membebaskan mereka dari penindasan.

Saifuddin Qutuz, Teladan dari Militer Islam Masa Lalu

Penindasan terhadap umat dapat berganti baju dan wajah. Saat ini di Suriah, mereka yang menindas berwajah Arab, sementara dahulu kawasan yang nama sebetulnya adalah Syam ini pernah terancam dianeksasi oleh pasukan Mongol di bawah Hulaghu Khan. Mongol telah meruntuhkan Khilafah Abassiyah di Baghdad, membunuh sejuta penduduknya, menghancurkan perpustakaan terbesar di dunia saat itu.

Pada tahun 1258, Ketika Mongol sudah menguasai pusat dunia Islam lalu bergerak ke Syam (Suriah), benteng terakhir umat Islam hanyalah kesultanan Mamaluk di Mesir di mana seorang jenderal militer hebat menjadi pemimpinnya, yaitu Syaifuddin Qutuz. Menghadapi bahaya agresor, Qutuz melakukan tiga langkah :
Pertama, Konsolidasi internal. Qutuz mengingatkan para pejabat dan pembesar bahwa menghadapi musuh Islam, umat perlu memiliki kesatuan pemimpin dan ketaatan padanya dalam mengobarkan api jihad. Konsolidasi ini telah meredakan pertentangan antar pejabat dan mempersatukan orientasi mereka. Di hadapan para pembesar dan panglima , Qutuz berpidato,
“Wahai pimpinan muslimin! Kamu diberi gaji dari Baitul Mal sedangkan kamu tidak suka berperang. Aku akan pergi berperang. Barangsiapa yang memilih untuk berjihad, temannya aku. "Barangsiapa yang tidak mau berjihad, pulanglah ke rumahnya. Allah akan memerhatikannya. Dosa kehormatan muslimin yang dicabuli akan ditanggung oleh orang yang tidak turut berjihad.”

Kedua, Rekonsiliasi umat. Qutuz memberikan ampunan kepada musuh politiknya, yaitu kelompok Mamalik Bahriah. Tindakan ini sekaligus memperbesar basis dukungan Qutuz.

Ketiga, Melakukan penyatuan politik antara Mesir dan Syam. Dengan penggabungan dua kekuatan politik dan militer, kekuatan umat Islam siap menghadapi tantangan Mongol yang selama ini diliputi mitos tak terkalahkan.

Singkat cerita, pada bulan Juli 1260, Qutuz berhasil membawa 20.000 pasukannya ke Ain Jalut, terletak di antara Gaza dan Damaskus, untuk menghadapi pasukan Mongol dan memenangkan pertempuran. Sebelumnya, pasukan Qutuz telah mengalahkan pasukan Mongol di Gaza. Menariknya, kedua pertempuran penting ini terjadi di bulan Ramadhan.

Kesatuan Politik adalah Niscaya

Dari kisah kepahlawanan Qutuz, kita dapat memetik pelajaran. Untuk menghadapi penindasan rezim-rezim pro Barat saat ini, membentuk kesatuan politik umat Islam adalah niscaya sebagaimana yang dilakukan oleh Qutuz. Pergolakan yang terjadi di Suriah, Libya dan tempat-tempat lainnya adalah pergolakan umat Islam. Oleh karenanya penderitaan umat Islam di salah satu negeri itu adalah penderitaan umat Islam seluruhnya. Maka, seluruh umat Islam memiliki tanggung jawab mengatasi hal ini, sebagaimana amanat Nabi SAW dalam haditsnya,
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam. (HR. Muslim).

Saat ini, para pemimpin muslim yang memiliki kekuasaan dan kekuatan menanggung dosa atas peristiwa pembantaian ini. Saat Libya masih bergolak, Yaman merintih, Gaza tertindas, dan Suriah dibantai, mata kita tertuju pada kawasan benteng Islam, bumi ribath yang rakyatnya telah menumbangkan Fir’aun, yaitu Mesir.

Hari ini, pasca Mubarak, Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata sedang memegang kekuasaan di Mesir. Di pundak merekalah sebetulnya tuntutan umat dibebankan. Sebagaimana kakek mereka, Qutuz, mereka harus segera melakukan rekonsiliasi internal, melakukan penyatuan politik umat Islam dengan membentuk Khilafah dan menerapkan Syariah, lalu menggerakan pasukannya membebaskan saudara mereka di Libya, Yaman dan Suriah dari kungkungan penguasa thaghut. Setelah itu, mereka harus mempersatukan pasukan Syam (Suriah) dan Mesir, sebagaimana dilakukan oleh Qutuz, bahkan juga harus mepersatukan seluruh pasukan umat Islam. Dengan kekuatan pasukan sebesar itu, apa lagi yang menghalangi mereka untuk membebaskan Gaza dari penjara Yahudi?

Ini adalah seruan parau setitik elemen umat, namun semoga Allah menakdirkan seruan ini sampai kepada mereka para ahlul quwwah (pemilik kekuatan) umat ini, para panglima militer benteng Islam dan negeri-negeri muslim lainnya. Semestinya, senjata-senjata mereka, moncong-moncong tank mereka yang saat ini berkeliaran di jalan-jalan memburu rakyat sendiri, semestinya sekarang juga disorongkan kepada satu arah saja, yaitu kaum kuffar: Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya! Apalagi, bulan Ramadhan ini mengandung keberkahan dari langit, keberkahan yang sama ketika Saifuddin Qutuz membebaskan umat Islam di Gaza dan Syam 7,5 abad yang lalu. Wallahu a’lam.[]

Reza Ageung S.; Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah, Balikpapan Tinggal di Balikpapan