Setelah Cabe-cabean Kini Terong-terongan

terongOleh: Kholila Ulin Ni’ma*

Setelah populer dengan sebutan alay, jablay dan lebay, gadis cabe-cabean kini ada ‘spesies baru’ yakni “terong-terongan”. Fenomena “terong-terongan” muncul sebagai reaksi dari adanya “cabe-cabean”. Tidak jelas siapa yang mulai mempopulerkannya. Istilah ini tersebar dan dikenal luas karena dianggap mencerminkan sejumlah remaja zaman sekarang.

Gadis cabe-cabean ditujukan untuk menggambarkan gadis belia usia belasan tahun yang memiliki kebiasaan khas. Pengaruh pergaulan bebas dan perkembangan teknologi membuatnya asyik dengan dunianya sendiri. Dengan ciri remaja perempuan genit sering nongkrong di arena balap liar atau kalau naik motor seringnya boncengan bertiga tidak pakai helm dengan balutan pakaian yang ketat dan minim. Kesannya para ABG cabe-cabean ini adalah cewek yang murahan dan bahan mainan para cowok iseng.

Sedangkan fenomena “terong-terongan” muncul sebagai reaksi dari adanya “cabe-cabean”.
“Terong-terongan” ini biasanya adalah pebalap motor liar yang lambat laun berubah. Mereka menjadi jarang balapan dan lebih sering nongkrong di tempat-tempat seperti di bawah jalan layang. Perubahan ini mereka lakukan demi mengimbangi gaya hidup “cabe-cabean”. Mereka adalah remaja laki-laki dengan ciri-ciri berpakaian celana kedodoran, topi diarahkan ke bawah, dan kalau jalan selalu menunduk (Kompas.com, 2/4/2014).
Jika “cabe-cabean” berperilaku seperti itu untuk mendapatkan reputasi di hadapan kelompok geng motornya, maka muncul “terong-terongan” untuk mendapatkan reputasi di hadapan “cabe-cabean”.

Faktor Munculnya Kerusakan Generasi Muda

Fenomena remaja cabe-cabean ataupun terong-terongan ini hanyalah secuil dari sekian banyaknya kerusakan remaja. Jika kita telusuri, maka setidaknya ada empat faktor yang penyebab muncul fenomena kerusakan remaja saat ini.

Pertama, faktor lemahnya prinsip hidup. Sangat banyak remaja usia belasan tahun belum menyadari siapa jati diri mereka sebenarnya. Sehingga, di mana saja mereka bergaul, akan sangat mudah terbawa arus negatif seperti fenomena remaja cabe-cabean ataupun teronga-terongan ini.

Kedua, faktor keluarga yang tidak mengarahkan pergaulan yang benar dalam Islam. Banyak orangtua yang lebih menyibukkan diri dengan materi atau pendapatan pribadi, dibandingkan kewajiban mendidik putra-putri mereka. Entah itu karena memang tuntutan ekonomi, atau hanya sekedar hobi (bahkan ambisi) untuk mengejar karier. Tentu wajar jika hal ini terjadi oleh para ayah, karena memang kewajiban mereka adalah mencari nafkah untuk keluarga. Tapi akan sangat berbahaya jika para ibu (sebagai pendidik pertama dan utama bagai anak-anaknya) turut berlomba-lomba mendahulukan karier mereka.

Ketiga, faktor masyarakat yang sangat minim kepeduliannya terhadap generasi umat. Mengapa kini fenomena cewek cabe-cabean marak atau cowok terong-terongan jadi heboh? Sangat boleh jadi, ada yang salah dengan masyarakat kita. Banyak masyarakat yang tidak mau ambil pusing dengan kondisi remaja saat ini. Ada yang menganggap wajar atas kerusakan yang terjadi. Ada yang sismpati akan tetapi tidak tahu solusi. Ada juga yang memang tidak peduli karena beranggapan ‘itu bukan anak kami’.

Keempat, faktor negara yang tidak memberikan aturan tegas dalam mengatasi kerusakan generasi muda saat ini.

Solusi Tuntas untuk Mengatasi Gaul Bebas 

Sebagai makhluq (ciptaan)-nya Allah SWT, tentu kita harus menyandarkan solusi problematika kehidupan kita kepada aturan dari al-Khaliiq (Pencipta).

Pertama, remaja harus mengetahui jati diri mereka. Merupakan suatu yang urgen bahwa para remaja wajib mengetahui hakikat diri mereka itu siapa? Sangat banyak remaja yang belum memahami status mereka hakikatnya adalah sebagai hamba Allah SWT. Setiap hamba, tentu saja harus taat dengan aturan ‘Tuan’nya, termasuk dalam urusan pergaulan. Allah SWT berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyaat: 56)

Inilah yang harus disadari dan dipahami, bahwa menjaga pergaulan, menjaga kehormatan diri, menjaga perilaku, juga adab berpakaian sesuai aturan syara’ itu juga terkategori ibadah kepada Allah SWT. Mengikat diri dengan aturan-aturan tersebut akan menunjukkan taqwa (rasa takut/tunduk) terhadap aturan yang diberikan oleh Sang Maha Pengatur.

Kedua, keluarga juga menamengi. Tentu saja peran keluarga dalam menjaga dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan ini sangat urgen juga. Karena keluarga adalah orang terdekat yang yang akan dimintai pertanggungjawaban atas anggota keluarga yang lainnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahriim: 6)

Dan orangtua adalah yang paling dimintai pertanggungjawaban atas akidah dan perilaku putra-putrinya. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi.” (HR al-Bukhary).

Oleh karena itu, solusi yang pertama akan cukup sulit dilakukan jika tidak ada solusi yang kedua (dukungan dari keluarga, khususnya orangtua).

Ketiga, kontrol dari masyarakat. Saat ini kita hidup bukan pada kondisi ideal sebuah masyarakat Islami. Banyak orang yang sudah tidak peduli dengan kerusakan generasi muda yang terjadi saat ini. Rasulullah SAW bersabda:

“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya.” (HR al-Bukhary).

Maka, meskipun anak-anak kita sudah bisa menjaga ketakwaannya dan kita pun sebagai orangtua juga sudah menamengi mereka, akan tetapi kita yang hidup dalam suatu masyarakat, akan saling mempengarui. Sehingga harus ada upaya untuk membentuk suasana masyarakat Islami, yang saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah dari kemungkaran yang terjadi di sekitar kita. Sebab jika itu tidak dilakukan, maka lama-kelamaan kita juga akan terseret dalam kerusakan yang telah ada.

Keempat, penerapan aturan dan sanksi tegas dari negara. Individu yang Islami, juga keluarga dan masyarakat yang Islami tentu akan sulit terwujud jika tidak ada aturan yang tegas dari institusi formal, yakni negara. Kerusakan generasi muda dalam pergaulan bebas yang terjadi saat ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Hal itu adalah masalah sistemik yang juga harus diselesaikan secara sistemik pula. Mulai dari, sistem (pengaturan) terkait media massa yang harusnya tidak mempertontonkan gaya hidup hedonisme (hura-hura). Lalu, sistem pendidikan yang mengatur lembaga-lembaga pendidikan untuk membina para siswanya (sehingga bukan hanya transfer ilmu semata). Kemudian, sistem ekonomi yang harus diatur dengan syariat Islam, bukan syariatnya kapitalis yang menyebabkan orangtua lebih berorientasi pada materi daripada mengurusi anak-anak mereka. Sampai terkait sistem peradilan yang secara tegas menyikapi pergaulan bebas ini.

Lalu bagaimana? Yang jelas bukan lalu-lalang, lalu-lintas, atau lalu diam, atau lalu dibiarkan saja. Tetapi kita harus bergerak. Ya, setelah tahu fenomena remaja ‘cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’, kita harus berupaya menyelesaikannya dengan cara menyadarkannya dan membina mereka dengan keimanan dan tsaqafah Islam. juga tak lupa memahamkan kepada seluruh elemen masyarakat bahwa ini bukan hanya masalah individu yang rusak, atau keluarga yang sibuk sendiri, atau masyarakat yang kurang peduli, akan tetapi ini adalah masalah sistem yang rusak. Sehingga, tidak ada cara paling ampuh kecuali dengan menggantinya dengan sistem (aturan) dari Dzat Yang Maha Tahu seluk beluk hambanya, yakni syariat Islam yang itu hanya bisa tegak secara totalitas dalam bingkai negara yang berlandaskan pada aturan Islam. Itulah khilafah rasyidah ‘ala min haajin nubuwwah.

Allau a’lam bish-shawaab

*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana IAIN Tulungagung Jurusan Ilmu Pendidikan Dasar Islam semester IV, aktivis Muslimah HTI DPD II Tulungagung