Dilema Syariat Islam di Aceh

Dalam sejarah perjalanan Islam, tidak pernah dijumpai sebuah usaha implementasi syariat bisa berjalan dengan mulus tanpa diwarnai oleh berbagai dinamika pergolakan oleh para penentangnya dan eksistensi para pejuang yang konsisten berjuang untuk menegakkannya. Hal ini dapat dipahami sebagai realisasi dari pertarungan antara yang hak dan yang bathil.

Dalam konteks Aceh, syariat Islam dengan berbagai kepentingannya juga mengalami hal serupa. Ada kelompok yang memang serius berjuang karena Allah. Ada juga yang menjadikan syariat sebagai sarana mengeruk keuntungan dan kepentingan pragmatis, kepentingan politis dan sebagainya.

Selain itu, kita jumpai pula kelompok yang membabi buta membela aplikasi syariat, meski pada tataran implementasi di lapangan terdapat hal-hal yang memang justru jauh dari keinginan syariat itu sendiri. Ada pula yang tidak setuju syariat Islam diterapkan dengan berbagai dalihnya sebagimana terdapat pula kaum minoritas yang menjadikan hukum Tuhan sebagai bahan candaan, menjadikan kesalahan-kesalahan penerapannya sebagai hujjah untuk menolak eksistensi Tuhan di muka bumi melalui aturan-aturanNya yang termaktub dalam Alquran dan Hadits RasulNya.

Hal ini tidak mungkin bisa dihindari ditengah pergulatan pemikiran-pemikiran kontemporer yang hegemonik. Perbedaan adalah keniscayaan, yang paling penting adalah bagaimana agar ditengah perbedaan itu masyarakat tetap hidup damai, kepentingan berbagai golongan terakomodasi dan syariat Islam tetap terus berjalan, dan kebebasan kita tidak merusak syariat yang sedang dijalankan.

Disini, penulis ingin kita lebih jujur, bahwa memang proses implementasi syariat Islam di Aceh memang terdapat banyak persoalan yang harus diselesaikan secepatnya. Namun yang mestinya kita lakukan adalah, bagaimana menjadikan kekurangan-kekurangan dalam proses implementasi tersebut sebagai bahan kajian dan diskusi untuk menyempurnakannya sesempurna mungkin.

Bukan sebaliknya menjadikan persoalan tersebut sebagai alasan untuk menolaknya, apalagi membenarkan argumentasi kontradiksi dengan syariat oleh pihak-pihak yang secara akidah sudah berbeda dengan umat Islam. Mendengar mereka boleh, namun mestinya hal tersebut kita jadikan sebagai bahan introspeksi diri, bukan sebagai pembenaran atas kacamata kita dalam melihat wajah syariat Islam di Aceh.

Terkait laporan Human Rights Watch(HRW) beberapa waktu lalu yang saya sebut sebagai ‘Teror global bagi keberlangsungan syariat Islam di Aceh’(Opini Serambi Indonesia, 10/12), dan kemudian dinilai oleh seorang aktivis perempuan Aceh, Rizki Affiat (Serambi, 10/12) sebagai stigma saya yang negative terhadap laporan tersebut.

Sanggahan Rizki Affiat sah-sah saja, apalagi menurutnya, laporan HRW tersebut merupakan kumpulan dari testimoni para terpidana hukuman syariat. Namun agaknya ada beberapa kerancuan dalam pembelaan Rizki Affiat tersebut. Pertama, kita tahu mungkin hanya sedikit saja diantara terpidana yang ikhlas menerima hukum Islam diterapkan kepadanya. Padahal, keikhlasan menerima hukuman dalam Islam akan melepaskannya dari konsekuensi abadi di akhirat nanti.

Namun demikian, hukum Islam tetap harus ditegakkan meski si terpidana tidak ikhlas. Kedua, pembelaannya justru bermuara kepada tuntutann agar kedua qanun syariat Islam tersebut dicabut. Hal ini penulis pikir sangat aneh. Kesalahan penghuninya, bukan berarti rumahnya yang harus dibakar. Muhammad Iqbal Siddiqi(1985: 31-32) menilai, kritik-kritik Barat yang dilancarkan terhadap hukuman yang ada dalam Islam bukan semata-mata karena tidak suka terhadap hukuman fisik, tetapi lebih pada perasaan moral(moral sense) mereka belum terbangun seutuhnya.

Mereka memandang perzinaan atau maksiat lainnya sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi kedua pelakunya dan sesuatu yang biasa serta bersifat pribadi. Mereka tidak memandang perzinaan, khalwat, pembukaan aurat atau maksiat lainnya sebagai kejahatan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat secara menyeluruh.

Mereka ingin hukum mentolerir perbuatan yang serius itu, kecuali ada paksaan (Topo Santoso, 2003: 94). Sebagai konsekuensinya, hukuman yang diancamkan oleh hukum Islam dianggap sangat kejam. Kritik terhadap hukuman Islam oleh oleh masyarakat Islam juga disebabkan karena tidak disadarinya alasan spiritual dari hukuman itu.

Penjatuhan hukuman secara tegas bukan dari sesorang kepada orang lain, melainkan pelaksanaan ketentuan Allah terhadap hamba-hambaNya. Ketaatan kepada hukum Allah adalah karakter dasar bagi masyarakat muslim yang benar(Siddiqi, 1985: 31-32).

Mestinya, kita lebih melihat sisi positif diterapkannya hukum Islam. Bagaimana dengan qanun tersebut bisa meminimalisir kasus-kasus khalwat yang kita ketahui sangat sulit untuk dibendung jika tanpa hukum Islam. Bagaimana dengan kedua qanun tersebut remaja-remaja muslim/muslimah bisa berpakaian sesuai tuntunan Islam.

Budaya kita umat Islam sangat beda dengan mereka yang non Islam. Ini yang penting dicatat. Meski pembinaan ini penting ditekankan kepada keluarga dan lembaga pendidikan, namun kehadiran sistem hukum tetap diperlukan sebagai sarana antisipasi dan sebagai upaya preventif.

Namun demikian, kita tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini ketidakadilan sentuhan hukum syariat seringkali dirasakan oleh masyarakat biasa. Oleh para penguasa, objek syariat seakan hanya diperuntukkan bagi mereka yang miskin dan lemah. Sedangkan bagi mereka yang berkuasa, akses syariat tidak jarang sangat sulit menyentuh mereka. Rakyat kecil merasakan sulit untuk lari dari kejaran hukum, sementara yang kaya dan berkuasa bebas saja berkeliaran tanpa tersentuh oleh hukum.

Begitulah sepintas gambaran dari sebuah realita dalam perjalanan delapan tahun syariat Islam di Aceh yang terekam jelas dalam memori sebagai masyarakat Aceh yang masih sanggup berpikir kritis. Para penguasa dihadapan mereka seolah hanya subjek pembuat hukum yang kebal dengan hukum tersebut seperti yang dirasakan oleh perempuan terpidana qanun khalwat dan aturan berpakain muslimah sebagaimana yang disinggung oleh Rizki Affiat.

Untuk itu, kepada para pelaksan syariat Islam di Aceh hendaknya image yang muncul bahwa proses syariat Islam di Aceh hanya mengurus urusan antara pusar dan lutut saja diubah total. Sudah saatnya qanun jinayat ditanda tangani oleh Gubernur agar para pemerkosa seperti oknum WH di Langsa bisa dirajam.

Dan demi keadilan syariat, sudah saatnya syariat Islam di Aceh menyentuh para koruptor. Sudah saatnya hukuman potong tangan mengadili para koruptor pencuri uang rakyat Aceh. Sudah saatnya qanun-qanun tentang pengelolan pemerintahan yang baik berdasarkan aturan Islam diterbitkan. Sudah saatnya mutu layanan publik kita di Aceh diubah total. Dari pelayanan yang menyulitkan dan korup hijarah ke pelayanan publik yang memudahkan dan kredibel.

Bukan rahasia lagi apabila di negeri ini seringkali proses administrasi yang seharusnya mudah menjadi sulit setengah mati. Yang seharusnya satu meja tapi dipingpong sana-sini. Yang seharusnya gratis tapi masih juga ada pungli dan embel-embel ‘biaya administrasi’, permintaan ‘tanda terima kasih’ atau uang rokok. Semua urusan tidak pernah bisa diselesaikan tanpa terlebih dahulu melewati lika-liku.

Dalam sektor perekonomian, kita berbangga dengan bertaburnya bank-bank syariah di Aceh, namun demikian kita juga mempertanyakan kepada pemerintah masih juga mengizinkan bank-bank konvensional beroperasi di Aceh? Bukankah sekecil-kecil dosa riba adalah adalah seperti seorang yang berzina dengan ibu kandungnya?. Bank-bank konvensional silahkan saja berdiri, tetapi mestinya bank-bank itu bukan untuk melayani umat Islam jika memang pemerintah serius ingin mengeluarkan rakyatnya dari budaya riba.

Dalam konteks pendidikan, jam-jam pendidikan agama di sekolah umum sudah saatnya ditambahkan sebagai wujud dari keistimewaan Aceh yang diamahkan dalam UUPA. Para pegiat pendidikan Islam di Aceh sudah seharusnya semakin aktif menyuarakan tuntuan untuk teralisasinya keistimewaan tersebut.

Dalam kontek kepemimpinan lokal, proses mensyariatkan tatanan pemerintahan juga masih jauh dari idealita sudah. Bahkan terkesan, aparatur pemerintahan dengan semua instansinya juga jauh dari sentuhan syariat. Salah satu konsep syariat yang begitu urgen diaplikasikan di Aceh adalah terkait syarat-syarat kepemimpinan(penguasa) dalam sebuah wilayah yang diterapkan syariat Islam.

Menurut Ibnu Taimiyah(dalam Achmad Fauzi Zulchiza, 2010), karena kompleksitas persoalan yang diatur oleh Islam, maka disyariatkan bahwa pemimpin adalah seorang mujtahid yang paham dengan Islam dan benar-benar konsisten untuk memperjuangkan implementasi syariat Islam pada semua tatanan.

Beberapa kriteria dari mujtahid tersebut menurut Ibnu Taimiyah antara lain adalah: pertama, mampu berijtihad, artinya mempunyai pengetahuan, keahlian dan kemampuan untuk memahami berbagai persoalan yang muncul melalui pemahaman berdasarkan Alquran dan sunnah. Kedua, Adil. Artinya bahwa ia merupakan seorang yang mampu menempatkan kebenaran di atas segalanya, terhindar dari dosa besar atau sebagai upaya untuk menempatkan seseorang atau sekelompok orang pada posisi yang tidak tepat.

Dalam hal ini, prinsipnya adalah apabila ada hanya satu orang yang mempunyai kriteria sebagaimana tersebut di atas, maka dialah yang paling tepat untuk dipilih atau diangkat sebagai pemimpin. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya untuk menjaga tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintahan Islam. Artinya, tidak boleh karena kesalahan dalam strategi menyebabkan tujuan yang ingin dicapai terbengkalai.

Beberapa tujuan yang ingin diwujudkan dari pemerintahan islam, antara lain: sebagai sarana dan upaya untuk mewujudkan sistem sosial, ekonomi, politik dan semua aspek kehidupan agar selalu berada dalam batasan syariat Allah. Menggerakkan dakwah amar makruf dan nahi mungkar sehingga orang-orang akan tertarik dengan kemuliaan Islam.

Menghindarkan terjadinya berbagai tindakan tidak adil dan kejahatan akibat pemerintahan yang otoriter. Mewujudkan masyarakat madani yang selalu berpegang pada Alquran dan sunnah. Memberikan manusia kesempatan untuk selalu berkembang misalnya dalam bidang pertanian, perdagangan, media, maupun lainnya selama tidak bertentangan dengan syariat Allah.

Demikianlah secercah harapan, semoga spirit tahun baru Islam 1432H ini membantu kita untuk keluar dari kompleksitas permasalahan hidup, mulai dari ranah individual hingga ke konteks Negara. Wallahu a’lam bishshawab.

Teuku Zulkhairi, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.