Dua Penyakit Sosial

Kurang dari dua minggu setelah fathumakkah, Bani Hawazin dan Bani Tsaqif sudah mengumpulkan orang-orangnya untuk mememerangi kaum muslimin. Rasa permusuhan di hati mereka belum juga hilang. Kaum muslimin terpaksa bersiap-siap juga untuk menghadapi perang yang sudah berada di depan mata. Pasukan muslimin mencapai 12.000 prajurit siap tempur. Melihat jumlah pasukan yang sedemikian banyak, timbullah perasaan hebat dan kuat di kalangan sebagian anggota pasukan yang baru saja masuk islam. Sampai-sampai ada yang mengatakan:”Hari ini kita pasti tak kan terkalahkan”. Sandaran mereka adalah segenap kekuatan yang mereka miliki dan kelengkapan persenjataan yang mereka punyai.

Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Kaum muslimin mendapat gempuran hebat dari pasukan militer musuh. Mereka kocar-kacir. Pasukan menjadi kacau. Banyak yang berlari tak beraturan untuk menyelamatkan selembar nyawanya yang masih menempel di badan. Kekalahan telak nyaris menimpa kaum muslimin yang baru saja merebut kembali kota mekah itu.

Di tengah desingan kematian ini, Rasulullah bersama delapan puluh orang perwira muhajirin dan ansar tetap tabah dan bertahan. Diantara mereka ada Abu Bakar, Umar, Ali, Abbas, Usamah bin Zaid dan Abu Sufyan bin Haris. Untuk mengatasi keadaan yang tak terkendalikan itu, Nabi lalu meminta Abbas untuk berteriak nyaring mengobarkan semangat kaum muslimin. Abbas pun segera menyeru: ya ma’syaral anshar, ya ashhaba bai’atir ridhwan…Kaum muslimin yang mendengar seruan ini segera berbalik untuk memenuhi seruan keimanan. Perasaan tenang menyelimuti hati mereka. Semangat kembali berkobar hingga akhirnya kemenangan berpihak kepada kaum muslimin.

Kisah ini telah bercerita kepada kita, betapa kesalahan hati dalam berbuat sudah cukup untuk mengukir kekalahan dan kegagalan. Kesalahannya hanya satu: merasa hebat sendiri dengan kekuatan yang dimiliki. Tertipu dengan jumlah pasukan yang begitu banyak. Perasaan merasa hebat ini telah menutup kewaspadaan, mengurangi kehati-hatian, menguatkan kelengahan dan meretaskan kelalaian.

Dua Penyakit

Perasaan merasa hebat sendiri ini ditimbulkan oleh mengemukanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri atau kelompok yang berlebihan. Kebalikannya adalah perasaan merasa tidak berdaya sama sekali dan tidak yakin akan kemampuan yang dimiliki oleh dirinya atau kelompoknya. Fokusnya kepada kelemahan dan kelemahan, sehingga keinginannya untuk maju dan berbuat sesuatu menjadi surut, dan bahkan tidak mau lagi melakukan sesuatu yang berarti.

Penyakit yang pertama dikenal dengan nama ghurur, sementara yag kedua disebut ihtiqar. Yang pertama merasa sangat hebat dan berdaya, yang kedua merasa rendah dan tak punya daya sama sekali. Kedua-duanya tidak terpuji.

Dalam kehidupan bermasyarakat, dua penyakit ini—seperti kata Dr. Mushtafa As-Siba’i—menjadi penyakit berbahaya yang berkembang di lingkungan sosial. Ia bisa menimpa seorang pelajar, pemimpin, politikus, ekonom, dan siapa pun juga.

Orang yang ghurur akan melihat dirinya begitu hebat. Ia suka ikut campur dalam sebuah masalah yang sebenarnya dia tidak punya kapasitas untuk ikut di dalamnya. Ia berbicara dalam berbagai disiplin ilmu, padahal sebenarnya ia hanya mengandalkan dugaan dan perkiraan yang ia sendiri pun tidak meyakininya. Ia enggan untuk menerima masukan dari orang lain atau menerima nasehat dari yang lebih menguasai permasalahan darinya. Sebab dalam pandangannya dialah yang seharusnya memberi masukan. Sebab dialah yang paling tahu. Bukan orang lain.

Maka muncullah ahli-ahli yang serba bisa dalam sesaat. Sim salabim. Pendapatnya adalah yang terbaik. Dialah alim di atas para ulama. Dialah ahli politik diatas politikus lainnya. Dialah pemikir diatas pemikir lainnya. Orang lain mestinya ikut pada apa yang diyakininya, sebab sesungguhnya solusi darinya adalah solusi pertama dan utama. Yang lebih buruk lagi ketika pendapatnya yang diakui paling hebat itu tidak lagi berdasarkan disiplin dan kaedah ilmu tapi lebih berat kepada asumsi dan kepentingan. Maka timbullah ketidakteraturan dimana-mana. Posisi-posisi penting diisi oleh orang yang tidak berkompeten di bidangnya. Pendapat-pendapat mereka yang tidak punya kapasitas dijadikan rujukan dan pegangan untuk mengambil keputusan.

Penyakit ini, kata Dr. Musthafa As-Siba’i, menimpa umat-umat yang lemah dan baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Ia keget melihat melihat dunia. Atau dari umat yang sebelumnya menduduki tampuk kemuliaan namun kemudian jatuh kepada kelemahan dan ketidakberdayaan.

Sementara yang terkena penyakit ihtiqar akan merasa tidak berdaya sama sekali. Dia merasa kecil, tidak mampu berbuat apa-apa, sangat rendah dan tidak memiliki sesuatu yang bisa diandalkan. Kalau diminta untuk melakukan sesuatu, jawabannya: siapa sih saya? Apa sih yang saya bisa saya lakukan? Saya tidak berarti sama sekali. Saya tidak mampu berbuat apa pun. Padahal sesungguhnya banyak yang mampu ia lakukan seandainya ia mau menghargai kemampuan dirinya, dan mau untuk berbuat, sekecil apapun, sesuai kemampuan yang ia miliki. Hellen Keller, seorang cacat, bisu dan buta yang meraih prestrasi cum laude di universitas harvard pernah berkata:“Saya tentu tidak akan mampu melakukan segala sesuatu, namun saya tetap mampu melakukan sesuatu. Saya tak kan pernah menolak melakukan sesuatu yang bisa lakukan”.

Orang-orang yang tertacatat namanya dalam sejarah sesungguhnya bukan orang-orang yang sempurna, penuh dengan segala kelebihan. Mereka adalah orang biasa namun mengenal dirinya dan mampu menggunakan potensi yang ia miliki untuk kehidupan umat manusia.

As-Siba’i menyatakan bahwa dalam masyarakat kita, banyak yang ditimpa penyakit psikologis ini. Ada yang ditimpa penyakit ghurur dan ada pula yang ditimpa penyakit ihtiqar. Namun ada yang ditimpa kedua-duanya. Di depan relasi dan sahabat, ia merasa sangat hebat, sangat berdaya.

Namun di depan musuh-musuhnya ia tidak berkutik dan tak punya arti apa-apa. Ia tidak mampu mengangkat kepala untuk sekedar memberi tahu bahwa dia masih ada. Akibatnya, dia lebih membanggakan musuh-musuh itu dari pada berbangga dengan kemuliaan yang sudah dimiliki oleh umatnya. Bahwa musuh-musuh itu baginya sangat berdaya, sementara kita tidak memiliki apa-apa. Tidak usah macam-macam untuk berpikir perubahan, sebab perubahan adalah hal yang sulit, sementara musuh kita terlalu kuat. Ikuti saja sistem yang berlaku, toh tidak jauh-jauh dari apa yang kita yakini. Dan begitu seterusnya……

Usaha penyembuhan

Sungguh dua penyakit ini dapat menghalangi adanya kemajuan—individu maupun jamaah—dalam berbagai bidang kehidupan. Kita berusaha mengobatinya dengan menanamkan kesadaran kepada diri sendiri akan bahaya dua penyakit ini. Sekumpulan konsep tak kan memberi banyak manfaat jika dalam jiwa ini belum tumbuh kesadaran. Jauh-jauh sebelumnya Nabi sudah berusaha untuk menanamkan dalam dada umatnya keyakinan kepada diri sendiri, antara lain melalui ucapan beliau:“Janganlah kaliah meremehkan dirinya sendiri”. Dalam ucapan lainnya:”Janganlah kalian suka ikut-ikutan. Ketika manusia berbuat baik kamu ikutan baik, giliran mereka jahat kamu ikutan jahat. Tapi jadilah kamu ketika manusia berbuat baik kamu juga berbuat baik namun mereka berbuat jahat kamu tidak ikut-ikutan berbuat jahat”.

Inilah pendidikan islam dalam membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri. Percaya diri namun tidak menipu, sehingga memandang remeh orang lain. Maka tidak heran, seorang kepala negara muslim dahulu tidak merasa turun derajatnya ketika diberi nasehat oleh rakyatnya. Atau untuk menerima pendapat yang sudah nyata-nyata kebenarannya. Orang-orang muda bangkit untuk menerima amanah yang mereka merasa sanggup untuk memikulnya. Seluruh alam pun telah menyaksikan bahwa mereka yang telah mengukir sejarah adalah pemuda-pemuda yang yakin akan kemampuan dirinya.

Islam juga sudah berusaha menghapus sifat ghurur dengan menamkan keyakinan bahwa segala kelebihan dan potensi yang dimiliki adalah bagian dari pemberian Allah. Tidak ada yang perlu disombongkan. Tidak ada yang perlu dibangga-banggakan. Kelebihan yang ada pada diri ataupun pada orang lain semuanya berasal dari satu titik pusat: karunia ilahi. Untuk apa berbangga diri dengan sedikit titipan karunia ini atau merasa kesal dengan karunia yang diberikan kepada orang lain. Dalam A-Quran diakatakan “Dan tiadalah nikmat yang datang kepadamu kecuali itu berasal dari Allah”.

Dengan kesadaran akan segala nikmat Allah, pengenalan yang jelas terhadap diri sendiri dan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki, kita berusaha menyembuhkan penyakit ghurur dan ihtiqar ini. Tidak hanya menyadarkan diri sendiri, tapi juga berusaha menularkan kesadaran ini kepada orang lain…

Profil Penulis :

Umarulfaruq Abubakar. Lahir di Gorontalo, 30 Juni 1985. Alumni Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta-Gorontalo. Sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo-Mesir. Saat ini juga diamanahi aktif sebagai Koordinator Divisi Kajian SINAI, Koordinator Departemen Keilmuan dan Kepakaran ICMI Orsat Kairo dan Koordinator Majlis Litbang PMIK. Email: [email protected]