Rambu-rambu Meniti Jalan yang Lurus

Ibnu Katsir Rahimahullah adalah salah satu ulama yang berusaha menjelaskan apa yang dimaksud jalan yang lurus atau Siratul Mustaqim yang mana istilah atau ungkapan tersebut sering disebut dalam banyak ayat Al-Qur’an Al-Kariim. Beliau Rahimahullah menukil atsar para sahabat dan tabi’in ketika menjelaskan Siratul Mustaqim.

Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa Siratul Mustaqim adalah Islam, ada yang menyatakan Siratul Mustaqim adalah Al-Haqq, lainnya lagi berkata bahwa Siratul Mustaqim adalah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan kedua sahabatnya, Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab Radhyallahu anhu. Kemudian Ibnu Katsir Rahimahullah berkata :

“Semua pendapat tersebut di atas adalah benar, bahkan saling melengkapi. Karena setiap yang mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan kedua sahabatnya berarti telah mengikuti kebenaran, dan barangsiapa yang mengikuti kebenaran maka ia telah mengikuti Islam, dan barangsiapa yang mengikuti Islam berarti ia telah mengikuti Al-Qur-an, yaitu kitabullah yang teguh dan jalan-Nya yang lurus”

Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwasanya, jalan yang lurus atau siratul mustaqim adalah Islam yang utuh dan murni tanpa penambahan, pengurangan ataupun perubahan!

Dengan jalan itulah, kita bisa sampai kepada-Nya. Tidak ada jalan lain untuk bisa mencapai surga dan bisa bertemu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala selain Siratul Mustaqim, sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala “berada” di Siratul Mustaqim! Tidak bisa kita mencapai-Nya dengan jalan yang lain, karena jalan yang lain itu hanya mengantarkan manusia ke kampungnya Iblis serta keturunannnya, yakni Neraka.

Nah, karena jalan yang luruslah yang harus kita titi, maka sebagaimana kita bila berkendara menelusuri jalanan, kita harus mengetahui rambu-rambu, agar tidak tersesat dari jalan yang seharusnya kita lalui. Begitu pula dengan Siratul Mustqim, kurang lebih ada empat rambu-rambu yang harus kita jadikan pedoman agar tetap berada dalam Siratul Mustaqim. Rambu-rambu di bawah ini sebenarnya ialah uraian dari dua pilar utama yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sebutkan dalam hadits-hadits beliau yaitu “Kitabullah dan Sunnah beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam”

Pertama, Tauhid

Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya, yaitu dalam perbuatan-perbuatan ketuhanan-Nya, mengesakan dan memuliakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai satu-satunya yang haq. Dalam meniti jalan yang lurus tidak dibenarkan sedikitpun kita membuat-buat tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk kesyirikan! Karena mencampuradukkan Tauhid dengan kesyirikan adalah kesesatan terbesar yang mengekalkan seseorang di neraka Jahannam. (Na’uzubillahimindzalik)

Kedua, Ittiba’

Ittiba’ berarti “pengikutan”. Ittiba’ yang dimaksud sebagai dasar agama Islam adalah pengikutan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam memahami Islam dan mengaplikasikannya. Karena Rasulullah Shallallahu Alahi Wa Sallam sendiri semata-mata mengikuti wahyu Ilahi, maka pada hakikatnya ittiba’ adalah mengikuti wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita harus ingat, dan pahami makna persaksian kita ketika bersyahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah Ta’ala. Sungguh indah pemaparan Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah yang berkata : “(maknanya adalah) mentaati segala perintah beliau, membenarkan segala berita beliau, menjauhi segala larangan beliau, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang ditetapkan oleh beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam”

Penyelisihan rambu ini akan mengantarkan kepada amal-amal bid’ah yang menyengsarakan pelakunya di dunia dan akhirat.

Ketiga, Sumber yang Benar dalam Hukum dan Pemahaman

Ini adalah salah satu rambu yang penting dalam kita meniti jalan yang lurus, dan satu-satunya sumber yang mutlak benar dalam Islam adalah wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang termaktub dalam Al-Qur’an Al-Kariim dan Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang Shahih. Ketika seseorang menimba Islam dari sumber yang salah, maka otomatis dia akan tersesat, dan keluar dari jalan yang lurus.

Keempat, Metode Pemahaman yang Benar

Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah menyempurnakan Islam sebagai satu-satunya agama di sisi-Nya, semasa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabat dan sahabiyah berada di sisi beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Dari sini bisa kita jadikan acuan, bahwa para sahabat dan sahabiyah yang mulia itulah yang paling memahami dan metode pemahamannya benar, sebab mereka langsung diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi Wa Sallam.

Mereka adalah generasi yang telah mendapatkan “sertifikat kebenaran” atau “legalisasi” dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui banyak ayat-ayat Al-Qur’an. Demikian pula jika mereka telah berijma’ terhadap suatu masalah, maka ijma’ mereka adalah suatu yang wajib diikuti dan tidak boleh memilih pilihan lain selain pilihan mereka.

Selain memberikan “sertifikat kebenaran” tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun telah mengancam orang-orang yang menyelisihi mereka.

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (Terj. QS. Ali Imran : 110)

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka (para sahabat) berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat” (Terj. QS. Al-Fath : 18)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah-belah menjadi 72 kelompok keagamaan, dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 kelompok keagamaan. Seluruhnya berada di api neraka, kecuali satu kelompok. Mereka (para sahabat) bertanya : “Siapakah satu kelompok itu wahai Rasulullah?”, maka beliau menjawab : “Mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku” (HR. Imam at-Tirmidzi, dan yang lainnya)

Itulah Islam yang murni, kini kita tidak perlu lagi menambah-nambah, merubah-rubah, mengurangi-mengurangi, karena sudah ditetapkan.

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Terj. QS. Al-Maidah : 3)

Dan tugas kita kini adalah menjalankan segala perintah-Nya, yang mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyuruh kita mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam,

“Katakanlah : ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu…” (Terj. QS. Ali Imran : 31)

dan beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberitahukan kepada kita semua, bahwa Islam yang murni Islam yang membawa keselamatan dan menjadikan kita berada di jalan yang lurus ialah yang mengikuti jejakknya dan jejak sahabatnya. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits di atas.

Dengan demikian, kita sebagai pengikut risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dalam memahami dan metode yang kita gunakan untuk mengaji, mengkaji, serta menyajikannya ialah harus sesuai dengan jejaknya dan jejak para sahabat yang mulia.

Bukan malah membuat metode-metode baru yang hanya berdasarkan perasaan dan atau logika akal semata, atau bahkan yang sangat menyedihkan ialah banyak dari kita kaum muslimin memahami Islam menggunakan metode agama lain. (Semoga mereka segera diberikan petunjuk untuk kembali kepada jalan yang lurus, amiin)

Kita harus pahami pula, bahwa kita yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya juga sangat memuliakan ahlulbait (keluarga Rasulullah dan keturunannya), mencintai dan menghormati mereka lebih dari mereka (yang mengklaim diri mereka pengikut ahlulbait), tanpa merusak timbangan keadilan. Akan tetapi harus kita ingat bahwa “pemuliaan” dan “pengikutan” adalah dua hal yang berbeda. Sebagai contoh, bisa kita lihat pada pemuliaan kita kepada kedua orang tua kita, dan pengikutan kita terhadap pentunjuk-pentunjuk para ulama yang sesuai dengan jejak Rasul dan para sahabatnya.

Keduanya, baik pemuliaan atau pengikutan harus ditundukkan kepada petunjuk wahyu bukan kepada “perasaan” atau “logika akal” yang tidak terbimbing oleh wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Betapa, kita harus segera menginstropeksi diri kita masing-masing yang mengaku Islam, sudahkah kita Islam, dan harus kita ketahui bahwasanya perintah Rasul itu wajib untuk kita ikuti, dan ketika kita menyelisihnya, maka kita sesat dan akan ditimpa azab yang pedih. Ayat berikut kiranya dapat menjadi renungan bagi kita semuanya,

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih” (Terj. QS. An-Nur : 63)

Insha Allah, jika kita berpegang teguh kepada empat rambu di atas, niscaya kita berada di jalan yang lurus, jalan yang mengantarkan kita kepada keselamatan di dunia dan terkhusus di negeri Akhirat. Akhirnya, semoga ini dapat memberikan manfaat dan terang bagi kita semua yang ingin meniti jalan yang lurus. Kita berharap, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetap memberikan taufiq dan inayah-Nya kepada kita semua, yang berkomitmen meniti jalan yang lurus yang kini semakin asing ditengah kaum muslimin itu sendiri. Wa Allahu A’lam

Profil Singkat

Usup Supriyadi, Mahasiswa di salah satu PTN dan PTAIS.; Mengelola Blog http://degoblog.wordpress.com/; email : [email protected]