Ijtihad Buta

Saya rasa, dalam permasalahan ijtihad dan taklid para ahli harus memberikan terminologi baru. Jika selama ini kita hanya familiar dengan kata taklid (fanatik) buta, maka kini kita juga harus cemas terhadap upaya ijtihad buta. Bahkan menurut pemahaman saya, ijtihad buta sama bahayanya dengan taklid buta. Selain mengadopsi pemikiran neo-muktazilah yang lebih mengedepankan rasionalitas, pemikiran ini juga semakin menjamur karena terkesan dengan tasahul (kemudahan) yang dijadikan kunci kampanye.

Jika kita mengasumsikan taklid buta sebagai tindakan tercela, karena kita mengikuti apa yang kita tidak tau sebab dan akibatnya atau lebih tepat disebut dogmaisme, maka ijtihad buta di sini adalah mengeluarkan sebuah opini publik tanpa mengetahui dasar permasalahan. Dalam bahasa sehari hari, sikap ini sering dicerminkan dengan kata-kata ngawur, ngelantur atau dalam bahasa kita disebut broh putoh. Lantas bagaimana jika ini terjadi dalam permasalahan hukum –agama?-

Maka saya mengkhususkan defenisi ijtihad buta sebagai kombinasi ijtihad yang makruf di kalangan cendekiawan Islam(i). Artinya, ijtihad di sini sudah kita persempit dengan makna yang dibuat oleh para ahli bahasa dan ushul fikih, tidak keluar dari frame yang telah mereka gariskan, terkecuali itu bertentangan dengan akal sehat kita.

Menjadi pentaklid buta, sama mudahnya dengan menjadi mujtahid buta. Kita tidak harus mengetahui dalil. Benar menurut kita, maka itulah resolusi yang akan dihasilkan. Padahal dalam defenisi yang disepakati oleh ijmak ulama, ijtihad itu tidak pernah keluar dari beberapa pegangan dasar. Di antara asas yang paling dasar adalah badzl al juhdi (mengerahkan segala kemampuan). Lantas, apa patron dasar sehingga dikatakan seseorang itu mampu?

Pertanyaan ini begitu penting. Tepat dua tahun yang lalu, saya membaca karya seorang ulama Mesir yang sangat populer. Dalam salah satu permasalahan, saya begitu tertegun melihat beliau mengungkapkan kata kata tawaqquf (berhenti: tidak berpendapat) dalam salah satu cabang permasalahan –aborsi.- Padahal dalam segi kapasitas, beliau telah diakui kemapanan ilmu pengetahuannya –beliau adalah salah satu guru besar (professor) di al-Azhar, otomatis gelar ini juga menandakan bahwa beliau menguasai sederatan ilmu yang menjadi syarat untuk menjadi mujtahid.- Ungkapan beliau ini mengingatkan kita akan kisah Imam Malik yang tidak menjawab keseluruhan pertanyaan yang diajukan kepada beliau.

Jika dulu para beberapa ulama sempat melarang ijtihad setelah era imam empat mazhab, tujuan utama mereka adalah menjaga agar hukum Islam tidak dikeluarkan oleh orang yang bukan ahlinya, demikian juga rasa minder karena mereka tidak yakin (mustahil) bisa menyamai derajat imam mazhab. Walaupun demikian, kita juga harus mencermati segala problematika yang timbul dan harus dijawab oleh umat Islam yang memiliki semboyan “cocok untuk setiap zaman.” Maka setiap permasalahan yang berkaitan dengan urusan agama, harus memiliki dasar yang kuat. Prof. Dr. Fathi Duraini menyebutkan bahwa penutupan pintu ijtihad yang didengungkan oleh sebagian orang adalah upaya menghina ummat Islam, hal ini tak lain dilakukan untuk membuat ummat Islam selalu tertinggal (Fathi Duraini. Buhus Muqaranah Fi Ushul Fiqh al-Islamy: I/65)

Oleh karena itu, bukan merupakan suatu hal yang aneh jika kemudia al-Suyuthy (ii) mengatakan bahwa ijtihad menjadi fardhu kifayah (kewajiban yang harus diemban oleh sebagian orang) dalam setiap masa. Ini juga menjadi karakteristik syariat nabi Muhammad sebagai penutup para nabi. Setelahnya tidak ada lagi pembaharuan nabi, maka ulama-lah secara de jure dan de facto yang memegang peran nabi, sebagai pemberi solusi bagi ummat sekaligus penerus risalah (waratsat al-anbiya).

Miris melihat orang yang berani berijtihad dengan kemampuan kacangan. Mengerahkan segala kemampuan (masyaqqah) tidak bisa hanya kita ibaratkan dengan orang yang mengatakan “memunggut beras satu genggam itu susah.” Imam Amidy, Ibn Hajib, al-Ghazaly, Baidhawy, Fakhruddin al-Razi dan mayoritas ulama ushul lain telah memberi batasan defenisi yang sangat jelas, bahwa ijitihad itu membutuhkan kesungguhan dari seorang faqih(ahli fikih) dengan keniscayaan tidak adanya kekuatan untuk mendalami sebuah permasalahan melebihi atas apa yang telah ia simpulkan.

Berbicara masalah ijtihad, garis besarnya adalah otoritas. Bedanya otoritas ini tidak dimonopoli oleh sekte atau orang tertentu. Semua orang berhak meraih otoritas ini, asalkan ia memiliki kapasitas yang layak. Rasulullah sendiri memberikan otoritas ijtihad kepada Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman. Demikian juga dengan sahabat rasul yang berijtihad ketika tidak menemukan hukum yang jelas dari nash– Al-Quran dan Hadis.-

Imam al-Syathiby mensyaratkan agar seorang mujtahid memiliki dua sifat utama. Pertama, ia harus memahami keseluruhan daripada maqashid al-asyar’iyah. Kedua, kemampuan ilmu yang memungkinkan seseorang melakukan istinbath (pengambilan hukum) untuk menjawab problema baru. Karena ijtihad itu tidak terlepas dari frame dasar syariat Islam. Ijtihad harus mengikuti kaidah dan ketentuan yang berlaku di sisi para ulama (Syathiby: al-Muwafaqat, IV/105-106). Ketentuan dasar ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ulama lain, misalnya harus mukallaf dan ‘adil.

Sebagai usaha konkrit dalam proses menuju mujtahid, para ulama memberikan beberapa langkah yang harus ditempuh. Di antaranya: a. mengetahui makna ayat ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Quran baik dari segi bahasa maupun syariat. Pemahaman ini meliputi kecapakan dalam ilmu alat (nahwu dan sharaf), ilmu balaghah demikian juga dengan dilalah kata dan ilmu yang terkait di dalam Al-Quran. b. mengetahui makna hadis ahkam secara bahasa maupun syariat. Dalam kategori ini, paling tidak seseorang untuk menjadi mujtahid harus sudah menelaah kutub sittah (iii) Pemahaman ini dimaksudkan sebagai usaha preventif adanya multitafsir yang timbul akibat lemahnya kemampuan hadis yang membuat seseorang mengeluarkan ijtihad yang bertentangan dengan nash. c. Mengetahui ayat yang sudah dihapus atau belum (nasihk dan mansukh) serta asbabun nuzul (sebab turunya Al-Quran) dan asbabul wurud (Sebab turunnya hadis). d. Mengetahui posisi Ijmak para ulama, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijmak. e. Memahami proses munculnya qiyas beserta syarat-syaratnya. f. Memahami ilmu ushul fikih. Imam Al-Razi menyebutnya sebagai salah satu ilmu yang paling penting dimiliki oleh mujtahid. Bahkan Imam Syaukany mensyaratkan bahwa seseorang bisa menjadi mujtahid jika dia telah membuat kaidah tersendiri dalam ilmu ushul, sebagaimana yang telah diraih oleh imam Mazhab.(iv)

Ada beberapa ketakutan ketika syarat syarat di atas dan beberapa syarat lainnya diajukan. Ketakutan itu timbul akibat rasa pesimistis yang berlebihan dan cepat merasa malas. Keraguan terhadap pribadi sendiri sehingga tidak mencapat derajat sebagaimana telah diraih oleh ulama terdahulu adalah di antara sebab tidak pernah tercapainya ijtihad murni. Padahal jika membandingkan dengan ulama terdahulu, fasilitas baik dari segi modernitas dan intelektual yang kita miliki hari ini jauh lebih mapan daripada apa yang dimiliki oleh ulama terdahulu. Apalagi banyaknya kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang membutuhkan semangat kita untuk mempelajarinya. Alangkah mirisnya jika semangat yang kita miliki hari ini dimiliki oleh ulama terdahulu. Niscaya tidak ada orang yang mengembara dalam sahara dan dahaga sampai berbulan lamanya demi sebuah hadis.

Menjadi seorang mujtahid bukanlah hal cet langet yang mustahil kita raih. Semua kembali kepada keinginan kita. Syekh Abu Fudah, salah seorang ulama kontemporer Yordania dalam salah satu konferensi ilmiah menyebut bahwa beliau mampu membaca 24 jam dalam sehari. Syekh Buthy ketika ditanya berapa waktu anda membaca malah balik bertanya, berapa banyak waktu yang anda habiskan untuk hal selain membaca. Sebuah cerminan dari sikap mereka yang telah memiliki ilmu yang tinggi dan menempuh aral rintangan yang begitu rumit, namun tidak langsung tergopoh gopoh menjadi mujtahid.

Demikian pula menjadi muqallid bukan hal yang hina sehingga kita harus malu. Bahkan jika kita tidak mampu berijtihad, menjadi muqallid (pengikut) adalah hal yang terpuji, tentunya dengan menghindari sikap fanatisme buta.

Akan tetapi bila ia telah sampai derajat ijtihad, maka ia berhak untuk mengikuti hasil penalarannya, mengutip pendapat Syekh Izzuddin Abd al-Salam, “sangat mengherankan bila serorang ahli ijtihad yang mengikuti pendapat imam tertentu yang telah jelas kelemahan pendapatnya,” maka bagi ahli ijtihad tersebut untuk mengikuti pendapat pribadinya (al-Qawa’id al-Kubra. II/135).

Penegasan kembali kepada pentingnya sebuah ijtihad dan konsekuensi moral dan keilmiahan yang harus ditempuh sangat penting untuk dicerna.

Agar tidak lahir fatwa-fatwa “kampungan” seperti, rambut wanita bukan aurat, bulan haji boleh di sepanjang tahun, pemindahan bulan puasa ke musim dingin karena suhu yang sangat panas menyengat, kebolehan meninggalkan shalat jika sedang sibuk atau pernyataan kontroversial lain yang mungkin hanya demi sesuap nasi.

Ada hal yang perlu kita cermati bersama. Setidaknya sirah para sahabat menjadi cerminan bagi kita. Jumlah sahabat rasulullah adalah puluhan ribu, apalagi yang sempat mengikuti haji wada bersama beliau. Tetapi lihatlah berapa di antara mereka yang menjadi mujtahid. Demikian juga dengan tabiin dan tabi’ tabiin. Dengan jumlah yang tidak sedikit, hanya beberapa orang saja yang dianggap memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Padahal kemapanan ilmu mereka tidak berbanding dengan kita hari ini.

Selain itu, para ulama mazhab telah pula membuat inovasi baru dalam fikih Islam era mutaakhirin. Pada masa ini mereka telah membuat fiqh iftiradhy.(v) Usaha ini tidak bisa kita remehkan begitu saja.

Karena pada dasarnya, ‘illat (sebab) hukum yang menjadi karakteristik daripada sebuah permasalahan itu sudah sangat jelas dan banyak dinukil oleh ulama terdahulu.

Jadi bukan suatu aib jika kemudian ulama kontemporer cukup dengan melakukan takhrij dalam menjawab fenomena-fenomena baru, bahkan metode ini mengandung unsur keilmiahan dan dapat dipertanggung jawabkan. Bukankah kita sangat familiar dengan kata “al-fadhlu li al-mubtadi, wa in ahsana al-muqtady” (keutamaan itu milik orang terdahulu, walau ummat setelahnya lebih baik).

Tidak ada salahnya mengeluarkan fatwa, dengan bersandar kepada pakar bidang lain. Semisal konferensi ulama internasional yang mengundang pakar hukum konvensional, pakar ekonomi atau kedokteran untuk mengungkap tabir hukum terhadap masalah dalam berbagai bidang kajian.

Akan tetapi, sebagai ahli fikih segala syarat untuk menjadi mujtahid harus tetap terpenuhi. Jika kita belum sampai ke derajat itu, maka firman Allah pada surat al-Nahlu:43 cukuplah menjadi obat, “maka bertanyalah kepada ahl dzikr (ulama) jika engkau tidak mengetahui.” Wallahu a’lam

Zahrul Bawady M. Daud, mahasiswa Al-Azhar Kairo, Jurusan Syariah Islamiah. Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa. Penggiat Zawiyah Keluarga Mahasiswa Aceh kairo
Perwakilan Ikatan Penulis Santri Aceh Timur Tengah.

Catatan:

[i] Pemahaman ini dinukil dari banyak ulama mutakaddimin, demikian juga ulama kontemporer semisal Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam al-Ushul fiqh al-Islamy.

[ii] Al-raddu ala akhlada ila al-ardh wa jahala anna ijtihad fi kulli ‘ashri fardh.

[iii] stilah yang digunakan untuk mengumpul kitab kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Ibn Majah, Sunan Nasai dan Sunan Tirmidzi

[iv] Kelengkapan syarat ini nantinya akan mengantarkan seseorang dalam beberapa tingkatan ijtihad. Seperti mujtahid muthlaq, mujtahid takhrij, mujtahid tarjih dan mujtahid fatwa, tergantung sejauh mana kemampuan yang dimiliki.

[v] Kajian fikih terhadap fenomena yang belum terjadi