Mimpi Sang Pemimpin

“Mengakui kelemahan lebih baik daripada munafik dalam kesempurnaan”

Usai sudah penentuan akhir kelulusan siswa tingkat menengah. Kebahagian, suka-cita, terkejut dan berbagai euphoria lainnya bercampur aduk menjadi satu. Rasa itu mereka apresiasikan dengan berbagai cara, mulai dari mencoret baju, konvoi kendaraan sampai membuat pengajian di mesjid-mesjid. Tak sedikit pula di antara mereka yang meneteskan air mata duka, sebagai pertanda kegagalannya dalam melewati benteng Ujian Nasional(UN) 2009.

Penulis menyebut benteng sebagai penyebutan lain dari ujian nasional sebagai pertanda bahwa saat ini UN telah berhasil menghambat kreativitas siswa. Penghambatan ini berlaku dalam bentuk fokus yang berlebihan terhadap pelajaran yang diujiankan, sementara aspek urgen dari tujuan pembelajaran itu malah terlupakan.

Fantastis dan mengagumkan. Kata-kata itu pantas untuk menggambarkan keberhasilan sekian banyak siswa sekolah menengah di Aceh. Berbagai pujian pun melekat kepada pihak yang telah menyukseskan pelaksanaan UN 2009. Betapa tidak, angka kelulusan siswa tahun ini meningkat drastis. Aceh besar yang pada tahun lalu merengkuh sekitar 89 % angka kelulusan, maka pada tahun ini mereka bisa mencapai angka 98 %, sangat menakjubkan, di daerah lain, jika pada tahun 2008 meraih angka 86 %, kali ini berhasil mencapai 97 % angka kelulusan.

Untuk tingkat menengah pertama dan tsanawiyah, angka kelulusan juga melonjak sekitar 11 %, dari 76.432 siswa yang mengikuti UN, 96,42% dinyatakan menamatkan pendidikan di lembaga sederajat tersebut (serambi Indonesia, 20/6/2009). Peningkatan ini didukung hampir semua kabupaten/kota yang ada di Aceh.

Pencapaian yang sangat fenomenal tersebut merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kita masyarakat Aceh. Walaupun berada di provinsi paling barat dari gugusan pulau-pulau Indonesia, kita dapat menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa kualitas pendidikan kita tidak jauh ketinggalan, paling tidak jika dilihat dari persentase kelulusan.

Kian lama, angka kelulusan siswa baik tingkat menengah atas dan menengah pertama diakui terus naik. Walaupun standar nilai kelulusan selalu bertambah, hal ini tidak menjadi batu penghalang bagi para siswa untuk terus meningkatkan prestasi.

Namun sangat ironis, jika bertambahnya angka kelulusan tersebut bukan hasil murni pencapaian para siswa. Diakui semua pihak, masih banyak kecurangan dan penyimpangan yang terjadi ketika proses UN sedang berlangsung. Mulai dari guru nakal yang membocorkan jawaban sebelum dan saat UN, bocoran soal yang disebarkan oknum tidak bertanggung jawab, pengawas yang mempermudah pengaturan dan tata-tertib UN dan berbagai ketimpangan lainnya turut mewarnai hari-hari penting pelaksanaan ujian tersebut.

Entah tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, pejabat yang berkompenten dapat dikatakan cukup berbangga dengan hasil UN kali ini. Seandainya mereka benar-benar tidak tahu pasal kecurangan UN pada instansi bawahan mereka, dapat dikatakan mereka sangat tidak peka. Namun jika mereka sadar akan berbagai ketimpangan yang berlangsung berarti mereka sedang mempertontonkan kebobrokan moral di depan generasi Aceh ke depan yang notabanenya akan menggantikan estafet bangsa ini.

Hasil UN akhir-akhir ini ibarat mimpi sang pejabat, yang ingin diwujudkan dalam kehidupan nyata. Angka kelulusan 100% / pada beberapa sekolah masih harus dipertanyakan. Sesuaikah hasil tersebut dengan kemampuan intelegitas para siswa, atau malah dipolitisir oleh segelintir pihak untuk mengamankan jabatan.

Pendidikan kita yang terikat satu sama lainnya pada satu sisi membuat semua fenomena yang “telanjang” terjadi di depan kita semakin menggurita. Adanya ancaman paralel antar aparatur pemerintahan yang menginginkan hasil optimal pada pelaksanaan UN justeru menjadi bumerang bagi anak didik, dimana mereka digenjot ketika proses kematangan belum direngkuh. Alhasil, berbagai kecurangan selalu saja menodai pelaksanaan UN.

Kebanggaan yang seharusnya saat ini kita nikmati menjadi nihil arti atau bahkan tidak menunjukkan jati diri kita sebenarnya. Praktik kecurangan yang kerap berlaku terang-terangan menjadi sebab hasil UN 2009 kurang diapresiasikan oleh kalangan akademisi.

Pendidikan kita yang lebih berorientasi kepada gelar dan prastise seringkali disalah gunakan oleh oknum tertentu. Rumitnya kurikulum pendidikan, jajaran pengambil kebijakan yang tidak konsisten ditambah pelaksanaannya yang seadanya saja menambah kompleks permasalahan pendidikan kita.

Bukan rahasia lagi, jika hasil UN kerap dijadikan standar kualitas institusi pendidikan, hal ini pula yang akan menjamin jabatan para penentu kebijakan. Jadi, menurut hemat penulis, hasil UN 2009 ini tidak lebih dari tujuan tersebut atau memuaskan nafsu para pengambil kebijakan.

Siapa yang akan menyangkal jika potensi suatu daerah turut dibangun melalui kader intelektual yang handal. Tetapi yang amat disayangkan, untuk memenuhi standar tersebut kita salah langkah. Mendramatisir pelakasanaan UN sebagai langkah menjaga jabatan atau promosi ke tingkat selanjutnya bukanlah jawaban atau jalan keluar yang cerdas, tetapi cadas unsur keilmuan atau bahkan jika kita meniliknya dari koridor keimanan.

Kalau boleh penulis berasumsi, angka-angka kelulusan fenomenal yang selama ini kita capai, lebih kepada mimpi yang belum pantas diraih. Bukan karena kurangya bobot intelektualitas masyarakat Aceh, tetapi pada kenyataannya hasil yang diraih belum sesuai dengan kemampuan dasar para siswa, ini jika kita berbicara secara general, terlepas potensi yang dimiliki oleh individu tertentu.

Secara tidak langsung, menyebarnya praktik kecurangan UN di hadapan para siswa, bahkan di beberapa tempat beberapa siswa terlibat sebagai aktor kecurangan tersebut semakin menjadikan kondisi pendidikan kita lebih terpuruk. Hal ini secara tidak langsung akan melahirkan generasi yang tidak siap mental menghadapi kancah pertarungan global.

Tidak ada salahnya kita mewujudkan mimpi yang kita kejewantahkan melalui visi dan misi. Tetapi kita pun harus bersikap realistis, ada hal-hal yang memang belum mampu kita terapkan atau tidak dapat kita raih, harus kita maklumi sebagai sifat yang manusiawi. Tidak lantas menghalalkan segala cara untuk meraih mimpi tersebut.

Kelemahan intelektualitas kita dalam memajukan pendidikan atau kelemahan anak didik sendiri harus kita akui untuk kita perbaiki. Bukan ditutupi sehingga menjadi borok yang lama kelamaan akan semakin membusuk.

Melihat hasil dan pelaksanaan UN yang selama ini kita laksanakan, ibarat melihat sandiwara yang semakin lama semakin tidak lucu, bahkan terkesan menjijikkan. Tuga kita bersama membenahi runyamnya pendidikan anak bangsa.