“Ada Apa Kiayi, Kok Aneh?”

Dua kalimat itu meluncur untuk menanggapi rencana Prabowo akan bershalat jumat di mesjid itu. Sementara bagi Prabowo shalat jumat bukan hal yang aneh. Minggu lalu, kami shalat jumat di Hambalang karena Prabowo kedatangan tamu teman-teman buruh KSPI dan API Muhammadiyah yang jumlahnya sekitar 3000 orang.

Jadi, agak aneh jika tiba-tiba

KH. Hanief seperti kebakaran jenggot. Betul dia adalah ketua mesjid, tapi dia tidak boleh melarang orang untuk shalat. Bahkan, dia pun tidak boleh melarang seandainya timses Prabowo ingin mempolitisasi (saya yakin tidak, bahkan sang kiayilah yang mempolitisasinya) itu jadi urusan timses itu pada Allah.

Maaf nih, saya beristighfar: Astagfirullah, mohon ampun kepada Allah, jika hati saya bersuudzon, atas kejadian ini. Jangan-jangan sang kiayi takut pada sesuatu selain Allah. Mengapa? Belakangan beredar rumor yang sumbernya patut dapat diduga dari toko sebelah yang mempertanyakan soal di mana dan kapan Prabowo terakhir shalat jumat.

Hal ini sengaja diluncurkan agar umat yang taat pada Habib Riziek Shihab dan umat islam lain yang secara masif makin solid mendukung Prabowo, jadi ragu. Bukankah itu politisasi?

Nah, sekali lagi saya mohon maaf pada Kiayi, jangan-jangan kiayi takut mesjid Agung Semarang menjadi titik pemantaban pada para pendukung Prabowo. Kiayi takut bahwa paslon 02 ini menjadi yang paling pantas didukung. Ya, maklum, ini kan bulan politik, dan ‘aliran’ kiayi memang berbeda dengan aliran Prabowo. Artinya, sangat mungkin kiayi mendukung paslon lain. Meski itu sih sebenarnya sah saja, tapi tampaknya sang kiayi benar-benar takut mesjid yang dipimpinnya menjadi tempat kebangkitan dan kesadaran umat, khususnya golongan sang kiayi untuk memilih Prabowo dalam pilpres mendatang . Mohon maaf ya kiayi.

Kembali soal shalat yang harus bersurat dan dilarang oleh ketua mesjid. Demi Allah, ini aneh. Sejak Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, shalat di mana saja di negeri ini tak harus bersurat. Kita yang NU, tidak dilarang shalat di mesjid Muhammadiyah, sebaliknya juga begitu. Jadi tidak lumrah jika tiba-tiba timses harus bersurat dan ketua mesjid harus melarang.

Sekedar mengingatkan, Jokowi berulang kali shalat bahkan memimpin shalat. Aroma politiknya sangat kental. Tapi, kok kiayi tidak melarang, bahkan berkomentar saja tidak? Mengapa saya yakin aroma politiknya sangat kental?

Saya coba mengutip satu hadist:

Yang berhak menjadi imam shalat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Jika mereka setara dalam bacaan al- Qur’an, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, (yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari Abu Mas’ud alAnshari  radhiyallahu ‘anhu).

Dalam riwayat lain, disebut juga mereka yang lafadznya paling baik.

Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang paling tua di antara mereka.”