Akhir Cerita Pro-Kontra Drama Politik BBM

bbmOleh : Muhammad Dahrum, M. Pd

Akhirnya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM diputuskan melalui sidang paripurna. Berdasarkan hasil voting pada senin malam (17/6) jumlah yang pro RAPBN-P 2013 menang telak 338 suara. Sedangkan yang kontra 181 suara. Dengan demikian artinya pemerintah bisa dengan leluasa menaikkan harga BBM.

Walaupun gelombang penolakan gencar disuarakan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan buruh, mahasiswa yang tergabung ke dalam organisasi massa dan juga tak ketinggalan para wakil rakyat (DPR). Masyarakat maupun elite politik dalam menyikapi persoalan ini memiliki banyak sudut pandang. Pro-kontra yang terjadi akibat dinamika latar belakang dan kepentingan.

Latar belakang yang berbeda merupakan fitrah manusia dalam kehidupan, tapi tatkala kepentingan yang berbeda maka disinilah awal perselisihan karena masyarakat menjadi terkotak-kotak. Banyak pihak yang berkepentingan terhadap drama politik BBM, mulai dari yang menyetujui sampai yang menolak. Pihak yang setuju dengan kenaikan BBM tergabung dalam partai koalisi setgab. Sebagai pendukung kebijakan pemerintah memberikan alasan bahwa kenaikan BBM akan membuat rakyat lebih sejahtera. Padahal selama ini belum ada bukti kenaikan BBM bisa meningkatkan pelayanan kesehatan dengan lebih baik dan pelayanan publik lainnya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya.

Subsidi BBM dianggap membebani APBN, karena subsidi dapat menyedot sekian persen dari porsi APBN yang ada, yaitu sekitar 12% dari totalnya. Padahal beban berat yang harus ditanggung sebenarnya adalah utang berbunga yang mencapai 25%. Posisi total utang pemerintah pada April telah mencapai 2.023,72 triliun rupiah. Sangat besar dan jauh melampau pendapatan Negara per tahunnya.

Adapun pihak yang tidak termasuk dalam koalisi gabungan sejak awal mengkritisi kebijakan pemerintah dan terakhir tentang rencana pemerintah mengurangi subsidi ini. Pihak oposisi juga ingin mendapatkan citra positif ditengah masyarakat. Mereka menyadari betul kapan saat yang tepat untuk melakukan pergolakan pemikiran dengan berbagai argumentasi rasional sehingga akan datang simpati dari masyarakat. Oposisi juga ingin berkuasa dan meskipun saat ini berada diluar pemerintahan yang tidak terkait dengan bagi-bagi kursi menteri atau kekuasaan. Tapi terlibat dalam pembahasan Undang-Undang layaknya partai lain. Pihak oposisi menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM karena dapat menyebabkan terjadinya inflasi.

Selanjutnya pihak yang menurut sebagian pengamat memiliki pandangan politik ‘dua kaki’ yang berharap memiliki keuntungan ganda. Disatu sisi dengan lantang menolak terjadinya kenaikan BBM. Namun lain pula sikap para elitenya yang ‘melambai’ kepada kebijakan pro kenaikan, dengan alasan harus loyal pada presiden.

Terakhir partai lainnya juga menolak kenaikan harga BBM karena menurut mereka, kebijakan itu menyengsarakan rakyat harga-harga kebutuhan pokok meroket, apalagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. (Detik.com,17/6). Mereka menghendaki penundaan karena menghadapi bulan ramadhan dan hari raya Idul Fitri.

Penolakan yang dilakukan oleh massa ideologis berdasarkan sudut pandang Islam, dalam pengelolaan sumber daya energi (BBM), sebagai landasan untuk menyuarakan penolakan tersebut. Seluruh aktivitas manusia tidak terlepas dari hukum syara’. Syariat Islam yang sempurna telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia di muka bumi termasuk bidang energi. Sikap yang ditunjukkan adalah tatkala syariat membolehkan, maka itulah yang terbaik bagi ummat manusia. Begitu juga sebaliknya. Hal itulah yang menjadi pendorong dalam menyuarakan penolakan terhadap kebijakan harga BBM yang sedang menjadi trending topic akhir-akhir ini.

Siapa pembela rakyat?

Semua mengatakan membela kepentingan rakyat. Tapi siapa sebenarnya yang benar-benar membela dan siapa yang membuat sengsara? Terlepas dari tendensi masing-masing, kiranya menjadi catatan penting bagi semua elemen yang katanya ‘membela’ rakyat. Sebuah survey yang baru-baru ini dilansir oleh LSN (Lembaga Survei Nasional) menunjukkan, sebanyak 86,1% responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, 12,4% setuju dan 1,5% responden menyatakan tidak tahu. Dalam survey tersebut terlihat dengan jelas bahwa banyak masyarakat yang tidak menginginkan kenaikan harga BBM, mayarakat menolak rencana pemerintah.

Survey tersebut bisa menjadi tolak ukur bagi pihak yang menginginkan kemaslahatan di tengah masyarakat. Bukan malah memaksakan kehendak pribadi dan golongan, sementara suara sayup diluar gedung megah tidak dihiraukan. Drama politik BBM ini sebenarnya adalah mengulang kembali sesuatu yang pernah gagal diterapkan oleh pemerintah pada tahun 2012. Pada tahun lalu pemerintah tidak berhasil meujudkan idenya dalam menaikkan harga BBM dan mungkin inilah saat yang tepat untuk meujudkan tujuan tersebut.

Amanat Neolib

Pengurangan subsidi atau bantuan kepada masyarakat merupakan tabiat dasar dari ekonomi neolib. Dalam sistem ekonomi liberal pemberian subsidi adalah ‘racun’ sehingga secara perlahan-lahan subsidi harus dicabut. Padahal fakta membuktikan bahwa pengurangan bahkan pencabutan subsidi ditengah daya beli rakyat masih sangat rendah bisa semakin menjerat kehidupan rakyat. Kekejaman faham ini telah merasuki pemerintah saat ini. karena sebenarnya penghapusan subsidi BBM secara bertahap merupakan amanat dari liberalisasi migas yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Januari 2000). Juga tertuang dalam dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013.  

Sebagai sebuah amanat yang telah menjadi garis kebijakan, maka meskipun tidak disenangi dan dikehendaki oleh rakyat tetap dijalankan. Padahal pihak yang paling diuntungkan dari kenaikan harga BBM ini adalah para kapitalis asing yang sejak lama menanti durian runtuh yang menggiurkan dari keputusan itu.

Hingga saat ini, 40 perusahan asing sudah memegang izin prinsip pendirian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Masing-masing perusahaan memiliki hak mendirikan 20.000 SPBU. Menurut pengamat ekonomi UGM yokyakarta, Revrison Baswir: Itu artinya, sejumlah 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Bayangkan nantinya seluruh kebutuhan minyak harus dibeli dari perusahan asing dan asing akan menguasai seluruh produksi Indonesia dari hulu ke hilir, termasuk warung-warung. Makanya’ SPBU miliki cevron, shell, Petronas, akan merajalela di Negeri ini. dari sini terlihat jelas, jika harga BBM dinaikkan, siapa yang dirugikan dan siapa sebaliknya yang dirugikan. (Suara Pembaruan, 18/6).

Hasrat itu sudah terlihat sejak kementerian ESDM dinahkodai oleh Purnomo Yusgiantoro, bahwa kenaikan harga BBM memang untuk membuka kesempatan bagi pemain asing berpartisipasi dalam bisnis eceran migas (lihat, Kompas,14 Mei 2003). Selama ini beberapa SPBU non Pertamina sepi pembeli dan mereka mengalami kerugian besar, bahkan sebagian sudah tutup. Inilah alasan sebenarnya pemerintah menaikkan harga BBM, mengikuti keinginan para kapitalis. Begitulah drama politik para elite dengan menyerahkan SDA Negeri ini melalui UU yang dilegalkan dan akhirnya rakyat jadi tumbal. Wallahu’alam.

 

Email: [email protected]