Atheisme Sistemik

Oleh : Andri Saputra, Aktivis Kajian Islam Ideologis, Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng

Dalam salah satu kolom republika,  Azyumardi Azra membuat tulisan dengan Judul “Arnie Karlsson dan Agama”. Pada salah satu paragraf, Azyumardi menuliskan Ketentuan Konstitusi—khususnya dalam Pembukaan UUD 1945 tentang Pancasila—boleh saja mewajibkan warga untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa—tetapi dalam praktiknya bukan tidak ada warga ateis, agnostik, atau tidak beragama. Hal inipun tidak luput dari catatan Gallup (2006-2011) yang mencatat adanya sekitar satu persen warga Indonesia yang ateis atau tidak beragama.

 

Dalam masyarakat kita, agama merupakan identitas moral sekaligus sosial budaya yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Sehingga, ketika misalnya, ada seseorang yang berani secara terbuka mengaku sebagai ateis (tidak percaya adanya tuhan), maka akan mendapat  beragam sanksi mulai dari label negatif, perlakuan diskriminatif, sansksi sosial, administrasi hingga pidana karena dianggap melecehkan agama tertentu. Penulis sepakat bahwa negara- apapun alasannya- tidak boleh memberi ruang bagi paham ateisme dan para pengikutnya untuk dapat hidup merdeka dan mengembangkan keyakinan nyeleh tersebut.  Sebab, memberi angin segar bagi ateisme sama saja dengan melecehkan keyakinan religi masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan sila pertama Pancasila yang membenarkan adanya Tuhan sebagai pencipta yang wajib disembah dan ditaati.

 

Ketika misalnya seorang ateis melakukan perbuatan tanpa terikat kepada aturan agama dan kerap melabrak nilai nilai moral/etika-meski dipandang sebagai perbuatan buruk/dosa-  barangkali bisa dimaklumi karena sejak awal memang tidak percaya adanya tuhan dan ajaran tuhan (agama). Namun, kita seakan lupa bahwa ada bentuk ateisme lain yang jauh lebih buruk dari ateisme itu sendiri. Hebatnya lagi, aplikasi ateisme model ini tidak lagi sebatas pada keyakinan dan perilaku individu belaka. Namun, sudah berkembang, mengakar kuat dan melembaga dalam sebuah sistem kehidupan yang dijalankan oleh perangkat negara. Itulah ateisme sistemik yang lahir dari paham sekulerisme. Secara sederhana, paham sekulerisme adalah ajaran mendasar yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini mengakui peran agama sebatas  ajaran ritual. Bukan dalam konteks membenarkan ajaran agama sebagai petunjuk dari Sang Pencipta.

 

Namun, semata mata sebagai kompromi (jalan tengah) dalam mengatasi konflik antara raja yang didukung kaum agamawan dengan intelelektual bersama rakyat jelata yang mengalami penindasan pada abad pertengahan eropa. Disebut ateisme sistemik karena paham ini secara formal konstitusional menihilkan peran agama dan tuhan (ateisme) dalam mengatur urusan kehidupan umum. Dengan kata lain, tuhan dianggap tidak ada dan tidak berhak mengatur kehidupan masyarakat dalam ranah publik kecuali sebatas ajaran ritual belaka.  Sekulerisme meyakini bahwa hanya manusia yang berhak mengatur urusan kehidupan. Dari sini kemudian muncul  sistem politik demokrasi yang mendasarkan kebenaran pada suara mayoritas dan bukan halal haram.  Ateisme sistemik ini sangat berbahaya karena menjadikan pelakunya – khususnya umat Islam- tidak sadar kalau terjebak pada paham menyesatkan tersebut.

 

Yang tidak kalah penting, ateisme sistemik merusak akidah karena memaksa umat Islam untuk menduakan Allah SWT dalam berbagai aspek kehidupan tanpa mampu menghindar. Pada satu sisi, umat Islam membenarkan secara pasti bahwa Allah SWT sebagai satu satunya pencipta yang wajib disembah, Rasul Muhammad SAW sebagai satu satunya tauladan yang harus menjadi contoh dan hanya Al Quran sebagai petunjuk hidup yang wajib ditaati.

 

Di luar Islam, pasti sesat menyesatkan. Insya Allah, mayoritas penduduk negeri ini senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT baik barupa aktivitas harian maupun tahunan seperti sholat lima waktu, membayar zakat dan puasa di bulan Ramadan. Bahkan, tidak sedikit yang harus berkorban harta dan tenaga guna menunaikan Ibadah haji untuk memenuhi seruan dan mengagungkan asma Allah di hadapan Kabah. Semuanya dilakukan dengan sungguh sungguh dan penuh keikhlasan semata mata demi meraih ridho Allah. Namun, pada saat bersamaan umat Islam mengkerdilkan Allah SWT, melecehkan Al Quran, dan mengabaikan Sunnah Rasul SAW  dengan menolak campur tangan hukum hukum Allah SWT (Syariah Islam) dalam mengatur urusan kehidupan di bidang politik pemerintahan, pendidikan, kesehatan, sanksi hukum, sosial budaya dan lain sebagainya. Pihak yang kontra beralasan penerapan Syariah Islam dalam kehidupan bernegara dianggap memicu disintegrasi, konflik sosial dan bertentangan  dengan konstitusi negara yang nota bene buatan manusia.

 

Alhasil, atas nama Pancasila dan UUD 45, kita dengan bangganya menerapkan hukum hukum kufur dan melegalkan kemaksiatan dengan membangun ekonomi berbasis ribawi,  menerapkan pendidikan yang sekuler, menegakkan hukum positif warisan kolonial dan  sistem sosial yang permissif (serba boleh). Bukannya tambah baik. Indonesia justru semakin remuk oleh gurita korupsi kolusi nepotisme (KKN), ketidakadilan hukum, jeratan kemiskinan, penjara kebodohan dan dekadensi moral. Inilah yang menjadi pemicu sekaligus pemacu lahirnya irreligiusitas (lunturnya nilai/ikatan agama). Sayangnya, kita seolah merasa nyaman dengan status sebagai muslim meski aplikasinya sebatas pada ranah ritual dan sosial dalam skala terbatas. Padahal, menurut Ustad Rokhmat S Labib,jika seseorang ingin dikategorikan sebagai Mukmin, dia harus mengimani akidah Islam secara keseluruhan, tanpa ada yang diingkari.

 

Apabila ada perkara akidah yang diingkari, semua maupun sebagian, maka dia terkategori sebagai kafir. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (TQS al-Nisa’ [4]: 150-151).

 

Iman terhadap Alquran, misalnya, harus bersifat total. Ayat yang mewajibkan hukuman jilid bagi pezina, (QS al-Nur [24]: 2), potong tangan bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38), dan qishash bagi pembunuh (QS al-Baqarah [2]: 178), harus diimani sebagaiman ayat yang memerintahkan shalat, zakat, (QS al-Baqarah [2]: 43), dan puasa (QS al-Baqarah [2]: 183). Demikian juga dengan ayat yang mewajibkan jihad (QS al-Baqarah [2[: 216), menerapkan hukum Allah (QS al-Maidah [5]: 49), dan menaati ulil amri yang Muslim (QS al-Nisa’ [4]: 59). Pengingkaran terhadap salah satunya dapat menyebabkan pelakunya jatuh kepada kekufuran dan hukuman yang berat. (Rokhmat S Labib, Iman Sebagian Inkar Sebagian). Sebagai penutup, cukuplah peringatan Allah SWT  “ Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehi-dupan dunia, dan pada hari kia-mat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (TQS al-Baqarah [2]: 85).

 

Lantas, masihkah sistem demokrasi sekuler semacam ini kita pertahankan ? Wallahualam.