Awas, Nonton The Raid 2 Bisa Berandal

raidOleh Anastasia – Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung

 

Langkah pemerintah Malaysia untuk memboikot film The Raid 2 memang diakui selakang jauh lebih cepat ketimbang Indonesia yang malah meloloskan film The Raid beredar di Bioskop. Sekuel film kejam ini disutradarai  Gareth Evans, Gareth merupakan sutradara khusus bergengre sadistik, konten The Raid penuh dengan adegan kekerasaan pembuatan filmnya menghabiskan waktu yang cukup lama dengan biaya fantasitis sekitar 3 juta US, alasan klasik mengapa film ini ngotot ditayangkan semata-mata untuk kepentingan  hiburan dan seni bela diri walaupun para pemain berkilah ada pesan moral yang bisa diambil dari film tersebut namun tetap saja film The Raid lebih mengarah pada sajian kekajaman, hanya ada satu  adegan yang disensor Gareth mengakui bahwa memotong satu atau lebih adegan merupakan hal yang sangat sulit baginya. “Ketika saya menyunting film, tiap adegan terasa seperti momen yang berharga. Seringkali saya berkata, ‘No fucking way I can cut this,’” terangnya.. Seolah ingin menaikan pamor pemutaran The Raid 2 mereka mengkalin bahwa filmnya mendapatkan sambutan  hangat dari publik Amerika serikat dengan pemutaran perdana di beberapa kota di Amerika Serikat

Belajar pada kasus kematian Ade Sara

Masih ingat kejadian kekerasaan yang di alami Sara, pribadi Hafid menjadi sorotan tajam dalam perkara ini, kebiasaan Ahmad Imam Al Hafid menonton video kekerasan diduga menjadi salah satu latar belakang Hafid membunuh Sara, adanya keterkaitan antara tontonan kekerasan menimbulkan kecenderung berprilaku kejam, hal senanada pun diungkapkan oleh Dosen Hukum Unisba Arinto Nurcahyono bahwa sikap dan tindak kekerasan sudah merupakan gejala mondial dalam bentuk peristiwa, berita, karya sastra, dan film,  berbagai media komunikasi massa makin didominasi oleh tema-tema kekerasan. Karena itu kecenderungan berlangsung secara terus menerus dan setiap saat maka manusia menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala kekerasan. menganggap kekerasan sebagai kewajaran.  Di sisi lain konsultan komunikasi Syafiq Basri Assegaf melihat adanya peran media massa terhadap kekerasan  khususnya televisi (TV) dan film kekerasaan memungkinkan  penonton TV secara sadar atau tidak sadar meniru adegan yang ditontonnya di layar kaca. Jenuh rasanya  setiap hari melihat berita krimnal dan kekerasaan dan sekarang bangsa Indonesia dihadapkan dengan berbagai sajian kekerasaan yang ditampilkan secara legal dan “elegant” dalam bentuk film yang mana badan sensor negara meloloskan tayangan The Raid 2 dikonsumsi oleh publik, mau seperti apa generasi bangsa kita jadinya?

Jeratan hiburan ala kapitalisme

Hiburan yang disampaikan lewat film tidaklah bebas nilai, semua mempunyai arahan dan tujuan, pertanyaannya akan dibawa kemana akhirnya penonton menangkap setiap pesan yang disampaikan melalui film tersebut. Sutradara The Raid mengklaim bahwa tujuan dari pemutaran film ini semata-mata memberikan hiburan melalui atraksi bela diri tapi mengapa penyajiannya harus dalam bentuk cerita sadis bahkan dikemas supaya lebih menjual produk, tentu saja para koprador kapitalis mempunyai tujuan lebih dalam hal ini terlebih mereka menggelontorkan dana yang cukup besar dalam proyek The Raid 2, untuk apa mereka bersusah payah kalau tidak mendapatakan untung besar dan ratting tinggi inilah jeratan hiburan kapitalisme yang menguntungkan sebagian pihak saja tanpa melihat efek negatif yang akan ditimbulkan dari film tersebut, celakanya lagi ketika hiburan dikuasai oleh para kapitalis masyarakat secara tidak sadar digiring menjadi masyarakat konsumtif, seperti tajamnya animo penonton terhadap film The Raid 2. Besar konten kekerasan dalam bentuk berita ataupun film memberikan distribusi terhadap banyaknya tindak krimal yang terjadi di Indonesia, perlahan masyarakat Indonesia secara tidak sadar akan cenderung berprilaku sadistik, cukuplah kasus keberandalan Hafid terhadap kematian Ade Sara menjadi pelajaran besar. Begitu besarnya efek negatif yang ditimbulkan  dari sebuah film kekerasan, namun apa daya inilah kenyataan pahit ketika kapitalisme menguasai hiburan dan  peradaban dunia. Walluhu’ Alam