Balath Syuhada yang Terlupakan

PERANG AKHIR ZAMANIni adalah sejarah benturan besar dua peradaban yang tertutup kabut 13 abad lamanya. Inilah perjalanan jihad di titik terdalam tepat di Jantung Eropa, Perancis. Sekaligus perjalanan terjauh yang pernah dijangkau para perindu syahid hingga detik ini. Tiada lain ialah Balath Syuhada, sebuah perang besar yang mengguncang Eropa dan menyisakan pelajaran emas bagi umat ini. Seorang sejarawan Barat, Leopold von Ranke bertutur,”Ini adalah salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah dunia.”

Hanya separuh abad setelah wafatnya Baginda Muhammad Saw, Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol pada tahun 711 M di bawah bendera Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad. Sebuah perjalanan jihad yang berlangsung begitu cepat dan menghentak. Bendera-bendera kekufuran dan kezaliman mulai roboh satu persatu di dataran Afrika Utara. Ruh jihad dan kerinduan akan syahid masih menggema keras bagai dentuman yang melempar para junduLlah hingga ke negeri-negeri yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya bertekuk lutut dalam kedaulatan Islam yang adil.

Tahun 732 M, Andalusia (Spanyol) dipimpin oleh Gubernur Abdurrahman al-Ghafiqi, sebagai representasi kepemimpinan Bani Umayyah. Ia menggalang seruan jihad sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya untuk mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru negeri. Ia mengumpulkan para mujahidin di seluruh negeri Andalusia untuk menjawab gangguan yang dilancarkan Pangeran Odo dari kerajaan Aquitaine di perbatasan negeri muslimin.

Kerajaan Aquitaine saat itu berada di daerah pegunungan Pyrenes, diapit antara Dinasti Umayyah Andalusia di selatan dan Romawi Perancis di Utara. Untuk menjaga posisinya, Pangeran Odo bersekutu dengan Amir Utsman bin Naissa yang selanjutnya melakukan pemberontakan dan mencaplok daerah muslimin Andalusia di Utara. Datanglah Abdurrahman al-Ghafiqi memimpin lebih 20.000 pasukan kavaleri berkuda melintasi Pegunungan Pyrenes. Gerakan pasukan kavaleri muslimin yang cepat persis seperti pasukan Mongolia atau serangan Blitzkrieg-nya Hitler, meluluhlantakkan seluruh pasukan Pangeran Odo dan sekutunya Utsman dalam pertempuran di Bordeaux dekat Sungai Garonne. Nyaris habisnya pasukan Odo Kristen yang mati hingga sejawaran mereka berkomentar,”Hanya Tuhan sendiri yang tahu jumlah mereka yang mati.”

Pangeran Odo melarikan diri dan meminta bantuan Raja Perancis, Charles Martel. Namun sang raja hanya bersedia membantu jika Aquitaine bersedia tunduk dan masuk dalam wilayah kekuasaan Perancis (Frank). Mereka pun bersepakat. Charles segera mengumpulkan seluruh pasukannya dari hampir seluruh wilayah Perancis dan tetangganya, Jerman. Terjadilah mobilisasi pasukan terbesar dalam sejarah Eropa saat itu yang berasal dari pasukan terlatih dan para milisi.

Abdurrahman al-Ghafiqi bergerak ke utara mengejar sisa-sisa pasukan Odo, muslimin saat itu masih asing dengan kondisi dan situasi di Perancis sehingga mereka bergerak lambat. Hal ini memberi banyak waktu bagi Charles untuk mempersiapkan strategi dan pasukannya. Charles memilih tempat di lereng landai dan berpohon di sekitarnya untuk meredam serangan kavaleri (pasukan berkuda) muslimin. Taktik yang dijalankan pasukan Charles yang seluruhnya Infantri (pasukan pejalan kaki) ini adalah taktik defensif.

Bertemulah dua pasukan besar di Tours, tidak lebih 50 km jauhnya dari kota Paris di Utara. Muslimin di daerah pedataran sementara pasukan Kristen di lereng yang relatif sedikit terjal. Selama satu pekan lamanya kedua pasukan saling menjajal dan mempelajari lawan dengan pertempuran-pertempuran kecil sembari menunggu kedatangan pasukan-pasukan lain yang menyusul dari belakang. Abdurrahman mengandalkan kavalerinya semata sementara Charles tidak hanya mempergunakan infantrinya, namun ia juga memanfaatkan kondisi alamnya sebagai benteng, pepohonan rimbun dan lereng yang memperlambat dan melemahkan kuda-kuda muslimin.

Sejarawan umumnya memperkirakan pasukan muslimin sedikit lebih banyak dari pasukan Kristen. Dengan kondisi seperti itu, Charles bertekad keras untuk bisa mengalahkan muslimin, karena jika pasukan Kristen kalah dalam perang ini, tidak ada lagi yang dapat membendung para mujahidin untuk menguasai seluruh daratan Eropa. Abdurrahman memilih menunggu lawannya turun ke dataran terbuka, sementara Charles pun memilih bertahan dan menunggu lawannya naik. Inilah yang menyebabkan hingga berhari-hari kedua pasukan hanya saling menatap dari kejauhan sementara musim dingin mulai datang.
Pada akhirnya terjadilah perang besar dimana Abdurrahman al-Ghafiqi mengerahkan seluruh kavalerinya maju mengobrak abrik pasukan Charles Martel. Kedua belah pihak saling menghantamkan pedang dan tombaknya. Gemerincing benturan besi dan cipratan darah semakin memanaskan pertempuran yang relatif imbang. Pasukan Kristen sangat terbantukan dengan kondisi medan alam yang mereka pilih. Di tengah kecamuk pertempuran terjadilah peristiwa yang menjadi titik balik melemahnya pasukan muslimin. Ghanimah (harta rampasan perang) muslimin yang disimpan di belakang pasukan, dirampas pasukan Kristen. Rupanya Charles telah menyiapkan sekelompok kecil orang untuk mencuri ghanimah dan membebaskan tawanan sekaligus mengacaukan kondisi. Akibatnya terpecahlah konsentrasi pasukan.

Sebagian pasukan kavaleri lari ke belakang menyelamatkan ghanimahnya. Barisan muslimin berantakan. Sehingga banyak yang gugur syahid. Abdurrahman yang terlibat jihad di barisan terdepan pun berupaya keras memperingatkan dan menata ulang pasukannya yang sebagian ketakutan kehilangan ghanimahnya. Pada saat kritis tersebut, sebuah panah melesat dan menancap di leher Abdurrahman al-Ghafiqi, sang panglima perang.

Abdurrahman jatuh dari kudanya dan ia pun syahid menghadap Allah Ta’ala yang ia rindukan. Pertempuran mereda. Malamnya kedua belah pihak beristirahat dan mengobati pasukan yang terluka. Ketika matahari mulai merangkak di ufuk Timur, pasukan Charles bersiap-siap untuk bertempur lebih keras lagi. Namun tidak ada tanda-tanda mobilisasi pasukan dari muslimin, mereka hanya menyaksikan tenda-tenda yang begitu sepi. Penasaran, Charles pun mengirim pasukan kecil untuk memeriksa apa yang terjadi. Ternyata ratusan tenda-tenda itu telah kosong, mereka sudah tidak melihat lagi secuil pun pasukan muslimin yang tersisa. Pasukan pimpinan Abdurrahman telah mundur kembali ke arah Andalusia pada malam hari diam-diam.

Apa yang terjadi? Pada malam hari setelah syahidnya sang panglima, terjadi rapat besar di pihak muslimin. Sebuah momentum yang tidak kalah penting dengan apa yang terjadi pada pertempuran siang harinya. Pasukan pimpinan Abdurrahman yang terdiri dari berbagai macam suku itu berdebat keras mengenai siapa yang akan menggantikan dan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tidak ada kata sepakat, maka pilihan mundur pun menjadi satu-satunya solusi. Mereka angkat kaki dan menginggalkan jejak jihad terjauh yang pernah mereka tapaki tanpa kembali lagi hingga detik ini.

John H. Haren dalam bukunya Famous Men of the Middle Ages,” Perang Tours merupakan salah satu perang yang menentukan di dunia. Perang yang menentukan bahwa Kristenlah yang akhirnya menguasai Eropa, bukan Islam.” Perang yang menentukan nasib Eropa, tapi pernahkah kita mendengar tentang Balath Syuhada ini? Sejarawan yang berada di pihak yang kalah umumnya akan menutup rapat sejarah kekalahannya, inilah yang kita sayangkan, peristiwa besar ini tidak banyak terekspos dalam literature kita, sementara begitu banyak ibrah dan inspirasi yang dapat kita peroleh dari peristiwa Balath Syuhada ini.

Gibbon menyatakan bahwa salah satu penyebab kekalahan muslimin adalah karena Abdurrahman tidak mengetahui kondisi alam daerah yang baru dimasukinya dan kelemahan intelijen sehingga tidak mengetahui persis kekuatan lawannya. Namun yang tak kalah jauh penting dari hal itu adalah faktor melemahnya ruhiyah muslimin.

Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh muslimin sejak takluknya Spanyol oleh Thariq dan Musa, membuat harta kekayaan muslimin berlimpah ruah. Maka penyakit Wahn, cinta dunia dan takut mati perlahan merasuki dan menggerogoti ruhiyah muslimin. Pada kasus ini, ghanimah melimpah yang di peroleh dari kemenangan melawan Pangeran Odo, melemahkan semangat syahid kaum muslimin. Logikanya ketika emas permata telah ada di tangan maka jiwa pun berbisik, akan kubelikan dan kutukarkan apa dengan harta ini. Mimpi-mimpi keindahan dunia pun mulai merebak. Cita-cita syahid pun menyurut. Maka saat impian mereka terusik dengan dirampoknya ghanimah mereka oleh pasukan pengacau Charles, semangat jihad pun lenyap. Hanya sedikit dari mereka yang benar-benar cinta syahidlah yang tetap bertahan. Inilah pelajaran pertama.

Lihatlah saat ini, mereka yang dulu begitu getol menyuarakan kebenaran dan begitu keras menentang kezaliman, ketika mereka telah mendapat jabatan dan kursi empuk dengan gaji dan tunjangan berlimpah ruah, suara mereka pun mulai rapuh untuk mengatakan yang benar itu benar. Mereka mulai mengutamakan amalan, “Berkatalah yang baik (benar) atau lebih baik diam.” Dan mereka memilih diam. Itulah kemilau dunia yang membutakan mata hati. Sebuah pertempuran keras antara yang hak dan batil akan begitu mudah dimenangkan kebatilan melalui tawaran harta, tahta dan wanita. Kita mungkin bertahan dari siksaan dan penjara musuh Allah, tapi banyak dari kita yang tergelincir karena kenikmatan. Balath Syuhada adalah peringatan bagi kita.

Ibrah kedua adalah tragedi kepemimpinan. Pada saat-saat genting yang akan menentukan nasib dua peradaban besar dunia, Islam-Kristen, para komandan Abdurrahman al-Ghafiqi berdebat mengenai siapa yang menggantikannya. Hal ini menunjukkan permasalahan kepemimpinan internal kafilah besar Abdurrahman. Seharusnya sang pemimpin telah menyiapkan jauh hari tentang kemungkinan siapa yang akan menggantikannya ketika ia syahid di medan perang. Siapkan regenerasi dan kaderisasi yang matang. Hal ini persis yang terjadi ketika Muhammad al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel wafat di tengah ekspedisi jihadnya dengan bala tentara besar. Tidak ada satu orang pun yang tahu kemana ia akan membawa pasukannya selain ia sendiri. Hal ini karena ia sangat menjaga rapat-rapat tujuan jihadnya. Akibatnya project jihad Muhammad al-Fatih pun berhenti.

Kematangan kaderisasi dan regenerasi dapat kita lihat dari tetap bertahannya Ikhwanul Muslimin meskipun pemimpinnya Hassan al-Banna syahid. Sebaliknya, kita pun melihat tragedi yang serupa dengan Balath Syuhada, ketika Syaik Abdullah Azzam, pimpinan mujahidin Afghanistan syahid, terjadilah friksi antar kelompok karena perbedaan jamaah.

Perpecahan yang timbul paska syahidnya Abdurrahman seharusnya tidak terjadi jika sedari awal seluruh mujahidin terbina dengan baik akan pemahaman Islam dimana mereka harus meletakkan Islam di atas kesukuan dan kepentingan golongan. Itulah sebabnya pembentukan pemahaman (al-Fahm) yang benar harus terlebih dahulu dilakukan sebelum memasuki medan amal dan jihad.

Saat ini kita melihat sebuah ironi perjuangan. Pertempuran tidak hanya terjadi antara pengusung kebenaran dan pengusung kebatilan, tapi antar sesama pembawa bendera Islam pun saling sikut-sikutan, entah disebabkan perbedaan jamaah, partai maupun kepentingan. Inilah penyebab kekalahan dalam Perang Balath Syuhada atau yang dikenal di barat sebagai Perang Tours. Dan friksi ini pulalah yang menyebabkan Andalusia hilang dari peta dunia. Seharusnyalah para pemimpin organisasi Islam, jamaah dan partai Islam di negeri ini mengambil pelajaran penting dari Balath Syuhada yang bermakna ‘Rumah para Syuhada’ ini.

M. Nugra (Abu Fatah Grania)
Penulis buku ‘Panglima Surga’
Ketua KAMMI Unhas 2004
Bekerja di Mining Industry

Sumber :
1. Jejak Tabiin oleh Abdurrahman Ra’fat al-Bassya
2. www.en.wikipedia.org – Battle of Tours