Catatan Pasca Perayaan Idul Adha: Pengorbanan Nabi Ibrahim AS, Bukan Sekedar Kisah tanpa Qudwah

qurban210 Dzulhijjah 1434 baru saja berlalu. Hari di mana seluruh kaum muslim merayakan kemenangan dengan memuji Allah SWT melalui ibadah haji, shalat id, serta penyembelihan hewan qurban, sebagai simbol ketaatan.

Merayakan Idul Adha, senantiasa mengingatkan kaum muslim pada sebuah peristiwa agung yang terjadi pada Nabi Ibrahim as. Menapaktilasi perjalanannya yang diperintahkan Allah untuk menyembelih putra kesayangan yang telah ia nantikan bertahun-tahun. Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Namun, beliau rela untuk segera menjalankan perintah Allah tanpa banyak alasan, walaupun harus mengorbankan sesuatu yang paling ia cintai.

Bayangkan bila kita memiliki sesuatu yang amat kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail” kita, dia adalah segala sesuatu yang dapat melemahkan iman dan menghalangi kita menuju taat kepada Allah. “Ismail” kita adalah apapun yang menghalangi untuk melaksanakan kewajiban dan menyebabkan kita mengajukan beribu alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.

Bisa jadi “Ismail” kita adalah seorang manusia, atau harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan, atau mungkin ia berupa aqidah atau pandangan hidup sekuler. Sebuah pandangan hidup yang sejatinya dipertahankan banyak kaum muslim saat ini karena kebahagiaan-kebahagiaan semu yang ia tawarkan. Kebahagiaan semu yang muncul dari asas kebebasan yang meniadakan Allah SWT di aspek kehidupan, melainkan memposisikannya hanya di tempat ibadah atau tempat ritual.

Belajar dari peristiwa “penyembelihan” Isma’il, nampak jelas sebuah symbol pengendalian sifat-sifat kerakusan, egosentrisme, dan rasa cinta dunia yang ada dalam diri manusia. Kini saatnya untuk temukan siapa atau apa yang menjadi “Ismail” dalam hidup kita. Sudah saatnya untuk segera “MENGORBANKAN “ISMAIL” kita. Memberikan kecintaan yang tinggi hanya kepada Allah, dan menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah terhadap segala sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah SWT.

Sekilas memang tampak begitu sulit, namun yakinlah“Man tarakasyaianlillah, ‘awwadhahullahkhairanminhu”, ”tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah AzzawaJalla, melainkan pasti Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” (HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).

Wallahu a’lam bishshawaab.

 

Aulia Putri AS – Mahasiswa Administrasi Pendidikan UPI

Jl. Geger Kalong Girang – Bandung
089656605909