Dr. Sahganda Nainggolan, Insya Allah Bebas

Kabinet Presidensial yang dipegang oleh Presiden Soekarno tersebut, dibentuk dan mulai bekerja pada tanggal 4 September 1945. Kabinet itu resmi berhenti dan bubar demi hukum pada tanggal 23 November 1945.

Terlepas dari sifat simbolik UUD 1945 disepanjang periode 23 November 1945 hingga 27 Desember 1949, untuk alasan apapun tidak dapat disangkal bahwa UUD itu tidak memuat satu pun ketentuan mengenai hak asasi manusia. Tidak ada satu pun pasal pada UUD 1945 itu, yang mengatur kebebasan menyatakan pendapat.

Pengaturan inilah yang membedakan secara substansial antara UUD 1945 yang berlaku sepanjang 1945- sampai dengan 27 Desember 1949. Lalu diberlakukan lagi pada  tanggal 5 Juli 1959 hinnga sekarang yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali secara berturut-turut.

Cukup tegas dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang telah diubah mengatur “Setap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurnainya.” Menyatakan dukungan secara lisan, menyatakan pendapat, memberi dukung kepada sekelompok orang berdemonstrasi, dan demonstrasi itu sendiri merupakan tindakan hukum yang dibolehkan menurut UU. Lalu dengan cara apa sikap Sahganda dinyatakan salah?

Dengan alat dan pendekatan interpretasi apa dalam ilmu hukum, demonstrasi yang menurut hukum positif merupakan perwujudan hak konstitusional setiap individu mengekspresikan pendapatnya, sehinga berkualifikasi melawan hukum? Apakah keonaran, dengan sendirinya ada setiap kali ada demonstrasi?

Bila ya, mengapa UU mengharuskan negara menggerakkan aparatur hukum menjamin berlangsungnya demonstrasi itu? Bahaya apa yang jelas-jelas ada dan nyata atau timbul (clear and present dangger) sebagai akibat dukungan Syahganda itu? Menghukum pikiran itu hanya terjadi di Inggris abad ke-17.

Saya berkeyakinan tanpa ragu, tidak ada seorang pun di Negara Kesatuan Republik Indoenesia tercinta ini, yang diam-diam memiliki, dan bekerja dengan halus membawa negara menjadi totaliter. Hanya di negara totaliter, pikiran orang menjadi subjek hukum pidana.

Beralasankah karena itu, Syahganda memiliki keyakinan pernyataannya tidak dikualifikasi pidana. Beralasan juga Syahganda melihat “amar putusan yang berisi tuduhan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kalaupun terbukti, perbuatan itu bukan tindak pidana. Semoga. (FNN)

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.