Hukum Mencerca Penguasa Didepan Umum

                                                                    thalib  Oleh: Al Ustadz Ja’far Umar Thalib

Beberapa waktu yang lalu, pernah saya menulis di majalah kita ini sebuah artikel yang berjudul “Sikap Politik Ahlis Sunnah Wal Jama’ah” (Salafy Ed. Xxvii Th. 1419/1998 Hal. 4 S/D 9). Ketika itu saya sangat meyakini bahwa demikian itulah sesungguhnya sikap politik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Namun setelah beberapa waktu ini, saya mentelaah lebih banyak lagi keterangan para Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Akhirnya saya harus meninjau kembali apa yang saya pahami berkenaan dengan sikap politik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan yang dikoreksi di sini bukanlah sikap politik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tetapi pemahaman saya yang keliru di masa lalu tentang sikap politik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ini adalah upaya menunaikan tanggung jawab sebagai da’i (juru da’wah) di jalan Allah. Untuk keperluan ini, saya telah menulis di Majalah SALAFY ed. 2 th. 5 hal. 19 s/d 26 dengan sub judul : Menentang Kesalahan Dan Kemungkaran Pemerintah. Dimana dalam tulisan tersebut saya uraikan landasan pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perkara sikap politiknya.

Namun baru saja saya menjelaskan landasan pemikiran dan belum masuk kepada bantahan terhadap berbagai kerancuannya, muncul tulisan di sebuah majalah, artikel yang membantah tulisan tersebut. Isi bantahan itu tentu saja dengan gaya bahasa remaja emosional dengan ilmu taqlid yang sesungguhnya sudah dibuang jauh-jauh oleh prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka dari itu, saya harus menuntaskan tulisan saya itu dalam mengoreksi berbagai kerancuan yang terjadi dalam tulisan yang pernah saya lansir dalam artikel di masa lalu. Agar semua pihak mempunyai kejelasan tentang permasalahan sikap politik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tersebut.

Hal yang perlu saya koreksi dalam artikel ini adalah hukum mencerca penguasa di depan umum. Karena perkara inilah yang saya yakini telah terjadi kesalahan pemahaman padanya bila ditinjau dari pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan kesalahan dalam memahami masalah ini justru dilansir besar-besaran oleh para muqallidin (orang-orang yang taqlid buta dalam beragama), seakan-akan hanya keyakinan merekalah yang sesungguhnya sebagai keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan siapa saja yang menyelisihi keyakinan mereka, dianggap sesat dan menyimpang dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Demikianlah malapetaka hizbiyyah yang sedang melanda da’wah Salafiyah.

Hadits-Hadits Tentang Mencerca Penguasa Di Depan Umum

Tampaknya sumber permasalahan dalam perkara ini adalah adanya hadits-hadits yang menyatakan larangan Nabishallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam untuk mencerca penguasa di depan umum. Permasalahannya bukan pada pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, tetapi terletak pada shahih atau tidaknya hadits-hadits tersebut. Sebagian Ulama’ menganggap shahih hadits-hadits tersebut, sehingga merasa yakin bahwa apa yang diberitakan dalam hadits-hadits itu adalah pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang harus ditaati. Sebagian Ulama’ yang lainnya meyakini bahwa hadits-hadits itu lemah riwayatnya sehingga diyakini oleh kelompok Ulama’ ini bahwa apa yang tertera di situ bukanlah pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dengan sebab itu tidak bisa dijadikan dalil pengharaman satu masalah yang hukum asalnya halal. Kedua golongan Ulama’ ini tentu telah sepakat, bahwa bila sebuah hadits telah diyakini shahih, maka yang ada padanya adalah pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dan harus ditaati.

Kedua golongan Ulama’ dalam permasalahan hadits-hadits yang melarang mencerca penguasa itu adalah sama-sama Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Perbedaan pendapat para Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam permasalahan shahih dan tidaknya satu hadits, sesungguhnya bukanlah permasalahan yang perlu dipertentangkan. Tetapi yang sesungguhnya membikin ribut itu adalah para muqallidin, sehingga muncullah stempel-stempel dhalim dari golongan ini. Oleh karena itu, mari berikut ini kita bincangkan kedudukan hadits-hadits yang berkenaan dengan larangan mencerca penguasa didepan umum.

Adapun hadits-hadits yang diperdebatkan dalam masalah ini adalah sebagai berikut : Hadits riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah, riwayat Ahmad dalam Musnadnya, dan riwayat Al Hakim dalam Mustadraknya yang menyatakan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, maka janganlah menyatakannya di depan umum dengan terang-terangan. Hendaklah ia memegang tangan penguasa itu (dan mengajaknya ke tempat tersembunyi –pent). Maka bila penguasa itu mau mendengar nasehat tersebut, itulah memang yang diharapkan. Tetapi bila tidak mau mendengar nasehat itu, sungguh penasehat itu telah menunaikan apa yang diwajibkan atasnya”.

Dalam sanad hadits ini ada beberapa permasalahan sebagai berikut :

  1. Riwayat Al Hakim dalam Mustadraknya jilid 3 halaman 290, terdapat pada sanadnya seorang rawi yang bernama Amer bin Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ bin Zuraiq Al Humshi. Al Imam Adz Dzahabi mengomentari sanad Al Hakim ini dengan menyatakan : “Aku katakan : Ibnu Zuraiq adalah rawi yang lemah”.
  2. Riwayat Ahmad dalam Musnadnya jilid 3 hal. 403, dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Syuraih bin Ubaid Al Hadrami. Terhadap sanad Imam Ahmad ini, Al Hafidl Nuruddin Ali bin Abi Bakar Al Al Haitsami memberikan komentarnya dalam kitabnya Majma’uz Zawa’id Wa Manba’ul Fawa’id jilid 5 halaman 229 sebagai berikut : “Sanadnya riwayat Ahmad ini adalah orang-orang kepercayaan. Hanya saja aku tidak mendapati keterangan bahwa Syuraih mendengar riwayat ini dari Iyadl dan Hisyam, walaupun Syuraih adalah seorang Tabi’ie”.
  3. Riwayat Ibnu Abi A’shim dalam As Sunnah hadits ke 1096 , dalam sanadnya juga Syuraih bin Ubaid yang terputus sanadnya dari Iyadl bin Ghanim dan Hisyam bin Hakim. Dalam riwayat ke 1097 dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ayyasy Al Humshi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Taqribnya menyatakan tentangnya : “Mereka para Ulama’ mencercanya karena dia meriwayatkan dari bapaknya tanpa mendengarnya sendiri”. Sedangkan dalam riwayat ke 1098 terdapat rawi yang bernama Abdul Hamid bin Ibrahim Abu Taqiy Al Hadrami Al Humshi. Orang ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Taqribut Tahdhib : “Dia orang yang shaduq(yakni benar ucapannya), hanya saja kitab-kitab catatannya hilang sehingga rusaklah hafalannya”.
  4. Riwayat At Thabrani dalam Mu’jam

Hadits-hadits ini lemah pada sanadnya masing-masing. Sehingga Al Imam Al Hafidl Abi Ja’far Muhammad bin Amer bin Musa bin Hammad Al Uqaili Al Makki dalam Adh Dhu’afa’ Al Kabir jilid 3 halaman 60 ketika menguraikan tentang rawi bernama Abdul A’la bin Abdullah bin Qais (rawi ke 1022) menyatakan : “Tidak ada satu hadits shahihpun dalam perkara ini”.

Al Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah ketika saya menanyakan kepada beliau : “Mengapa yang mulia mencerca pemerintah dalam berbagai ceramah di depan umum padahal terdapat beberapa hadits yang menyatakan larangan Nabishallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam untuk mencerca penguasa di depan umum ?”. Maka beliaupun menjawab : “Semua hadits-hadits itu lemah pada sanadnya !”.

Pada waktu itu aku menyangka bahwa yang mempunyai anggapan demikian itu hanyalah Syeikh Muqbil. Namun setelah Syeikh Muqbil membimbingku untuk merujuk kepada kitab Adl Dlu’afa’ Al Kabir karya Al Imam Al Uqaili dan aku menelaah lebih lanjut, ternyata Al Imam A Uqaili telah menyatakan demikian, jauh sebelum Syeikh Muqbil. Lebih-lebih lagi setelah saya mentelaah berbagai sanad hadits-hadits itu, ternyata apa yang dinyatakan oleh beliau-beliau memang benar terbukti.

Beberapa Kejanggalan Ulama’ Yang Menshahihkan Hadits Ini

Dalam hal ini yang paling menonjol adalah Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Karena itu uraian di sini tertumpu pada beberapa kritik pada keterangan beliau dalam menshahihkan hadits-hadits tersebut. Syeikh Al Albani dalam menshahihkan hadits-hadits ini menerangkan sebagai berikut :

(Setelah beliau menukil keterangan Al Hafidl Al Haitsami yang menegaskan bahwa Syuraih bin Ubaid Al Hadrami tidak mendengar riwayat tersebut dari Iyadl dan Hisyam, beliau mengomentari) “Aku katakan, sesungguhnya Al Haitsami mengemukakan catatan demikian, karena Syuraih meriwayatkan hadits dari sekelompok Shahabat Nabi dalam keadaan dia tidak mendengar langsung dari mereka sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya At Tahdzib. Meskipun, Al Bukhari menyatakan bahwa Syuraih mendengar langsung riwayat dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dan juga Ibnu Makula menyatakan bahwa Syuraih mendengar langsung riwayat dari Fadhalah bin Ubaid, wallahu a’lam. Akan tetapi sanad Syuraih ini telah ditopang oleh sanad Al Hakim dalam Mustadraknya dari jalan Amer bin Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ bin Zibriq Al Humshi”. Demikian penjelasan Syeikh Al Albani rahimahullah.

Meriwayatkan satu hadits dalam keadaan tidak mendengar sendiri riwayat itu, diistilahkan oleh para Ahli Hadits sebagai periwayatan dengan cara mursal. Yakni dia sesungguhnya mendengar hadits itu dari narasumber lain, namun yang disebutkan olehnya dalam periwayatan hadits itu ialah nara sumber yang tidak dia temui dan tidak dia mendengarnya sendiri. Cara periwayatan yang demikian itu termasuk keaiban yang dicerca oleh para Ulama’. Hal ini terjadi pada cara periwayatan yang dilakukan oleh Syuraih bin Ubaid dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari para Shahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga riwayat Syuraih adalah riwayat yang lemah atau dengan kata lain tidak akurat. Namun Syeikh Al Albani membela riwayat Syuraih ini dengan dua cara :

1]. Dikatakan oleh beliau bahwa Al Bukhari menyatakan bahwa Syuraih mendengar langsung periwayatan hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufayan. Juga Ibnu Makula menyatakan bahwa Syuraih mendengar langsung periwayatan hadits dari Fadhalah bin Ubaid. Apa yang dinukil oleh Al Albani di sini dari pernyataan Al Bukhari dan Ibnu Makula, telah dibantah oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tahdzibut Tahdzib jilid 4 halaman 300, sebagai berikut : “ Ibnu Abi Hatim menyatakan dalam kitab Al Marasil dari bapaknya : Syuraih tidak menemui hidupnya Abu Umamah Al Bahili, dan tidak pula menemui hidupnya Al Miqdam bin Ma’dikariba, dan tidak pula menemui hidupnya Al Harits bin Abil Harits, dan Syuraih meriwayatkan hadits dari Abi Malik Al Asy’ari dengan cara mursal. Sampai di sini pernyataan Abi Hatim yang dinukil oleh Ibnu Abi Hatim. Dan apabila Syuraih tidak menemui hidupnya Abi Umamah yang meninggalnya belakangan (meninggal th. 86 H –pent), maka tidak mungkin lagi dia menemui zaman hidupnya Abu Darda’ (meninggal th. 324 H). Dan sungguh aku sangat heran dengan sikap penulis (yakni Al Mizzi), bagaimana dia memastikan bahwa Syuraih tidak berjumpa dengan orang-orang yang disebutkan di sini, namun dia tidak menerapkan teori yang serupa dalam perkara Al Miqdad, yang beliau ini telah wafat sebelum Sa’ad bin Abi Waqqash. Demikian pula Abu Darda’, Abu Malik Al Asy’ari dan banyak lagi yang lainnya dari kalangan para Shahabat Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang disebutkan bahwa Syuraih telah meriwayatkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam dari mereka, dan Allahlah yang memberi taufiq kepada para hambaNya”.

Jadi pernyataan Al Bukhari dan Ibnu Makula yang menegaskan bahwa Syuraih mendengar riwayat hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Fadhalah bin Ubaid adalah pernyataan yang sangat diragukan kebenarannya, dengan keterangan Ibnu Hajar Al Asqalani sebagaimana tersebut di atas. Karena menurut penelitian Ibnu Hajar Al Asqalani, Syuraih tidak ketemu dalam hidupnya di dunia ini dengan Abu Umamah Al Bahili yang merupakan Shahabat Nabi yang paling akhir meninggal. Kalau tidak ketemu Abu Umamah, tentu lebih-lebih lagi beliau tidak mungkin ketemu Mu’awiyah dan Fadhalah yang meninggal lebih dahulu sebelum Abu Umamah.

2]. Pembelaan Al Albani berikutnya terhadap riwayat ini ialah bahwa riwayat Syuraih ditopang dengan riwayat Amer bin Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ bin Zibriq Al Humshi yang mendapatkan riwayat ini dari bapaknya sebagaimana dibawakan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya. Sementara Amer bin Ishaq ini adalah seorang rawi yang lemah sebagaimana dinyatakan oleh Al Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhis – nya. Dan riwayat Amer bin Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ bin Zibriq Al Humshi ini tidak bisa ditopang oleh sanad lemah yang lainnya. Karena dalam riwayat ini disamping kelemahan itu pada Amer bin Ishaq, juga kelemahan lainnya ialah bahwa dia meriwayatkan hadits ini dari bapaknya yang bernama Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ Al Humshi Ibnu Zibriq. Bapaknya Amer ini disamping adanya Ulama’ yang memujinya, juga ada yang mencercanya dengan cercaan yang berat. Yang mencercanya ialah Ulama’ Ahli Hadits dari negeri Humshi bernama Muhammad bin Auf At Tha’i yang mengatakan bahwa Ishaq bin Al Ala’ Al Humshi ini adalah pendusta. Disamping itu Al Imam An Nasai menyatakan tentangnya : “Dia ini bukan orang kepercayaan”. Juga Al Imam Abu Dawud menyatakan tentangnya : “Dia ini riwayatnya tidak ada nilainya sama sekali”.

Demikian penilaian para Ulama Ahli Hadits terhadap rawi yang bernama Amer bin Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ Al Humshi Ibnu Zibriq dan juga penilaian para Ulama’ tersebut tentang bapaknya Amer yakni Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ Al Humshi Ibnu Zibriq, sebagaimana yang telah dibawakan keterangan ini oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I’tidal jilid 1 halaman 181. Dan juga dibawakan keterangan yang demikian oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya Taqribut Tahdzib berkenaan dengan Ishaq bin Ibrahim bin Al Ala’ Al Humshi Ibnu Zibriq.

Maka dengan kenyataan yang demikian ini semua, sungguh sangat aneh bila riwayat Al Hakim yang sedahsyat ini kelemahannya dikatakan sebagai riwayat penopang bagi riwayat Syuraih bin Ubaid. Padahal riwayat dari pendusta seperti ini, tidak bisa sama sekali untuk dijadikan penopang riwayat lemah lainnya dan juga tidak bisa ditopang oleh riwayat lain untuk meningkat menjadi Hasan apalagi menjadi shahih.

Maka dengan berbagai kelemahan fatal sanad-sanad hadits ini, amat dipertanyakan kebenarannya bila Syeikh Al Albani menyimpulkan :

“Maka hadits ini shahih dengan terkumpulnya berbagai sanadnya, wallahu a’lam”. Kemudian Syaikh Al Albani menambahkan : “Dan hadits ini diperkuat lagi ma’na yang terdapat padanya dengan hadits mauquf pada Abdullah bin Abi Aufa yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya jilid 4 halaman 382 – 383 dengan sanad yang hasan”. (Dzilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah halaman 516).

Riwayat Ahmad ini juga ada kelemahan padanya, yaitu terdapat dalam sanadnya Hasyrad bin Nubatah yang dikatakan oleh Abu Hatim bahwa dia ini orang shaleh dan hadits yang diriwayatkannya boleh ditulis tapi tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Kemudian terdapat pula dalam sanadnya seorang rawi bernama Sa’id bin Jumhan dimana Al Imam Al Bukhari menyatakan bahwa dia ini dalam riwayatnya terdapat berbagai keanehan. Al Hafidl Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa rawi ini meriwayatkan beberapa riwayat yang ganjil dan hadits ini termasuk riwayat-riwayat yang ganjil yang diriwayatkannya.

Maka kalau Al Albani menyatakan bahwa riwayat Ahmad ini sebagai pendukung makna bagi riwayat-riwayat yang lemah tersebut di atas, ini juga merupakan keanehan pada keterangan beliau. Mengapa beliau mengabaikan riwayat yang jauh lebih kuat dari riwayat Ahmad ini yang amat bertentangan dengan makna hadits-hadits dhaif (lemah) tersebut di atas dan kemudian berpegang dengan riwayat yang lemah. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya telah diriwayatkan perbuatan Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang senior bernama Abu Said Al Khudri dan Abu Mas’ud Al Anshari yang keduanya mencerca di depan umum (yakni di depan jama’ah shalat hari raya di lapangan) terhadap perbuatan gubernur Al Madinah An Nabawiyah yang bernama Marwan bin Al Hakam yang membikin khutbah terlebih dahulu sebelum shalat ied (Shahih Al Bukhari hadits ke 956, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya hadits ke 889). Al Hafidl Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari jilid 2 halaman 450 menyatakan : “Dan telah diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari jalan Thariq bin Syihab, bahwa beliau menyatakan : Yang pertama kali menjadikan khutbah hari raya di dahulukan atas shalatnya ialah Marwan. Maka berdirilah seorang pria mengatakan kepadanya : Shalat sebelum khutbah. Maka Marwan mengatakan : Sungguh telah ditinggalkan perbuatan yang seperti itu. Terhadap perbuatan orang itu (Yakni menegur penguasa di depan umum) berkatalah Abu Said Al Khudri : Adapun orang ini sungguh telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.

Perbuatan dua orang Shahabat Nabi yang senior ini dilakukan di Al Madinah An Nabawiyah ketika para Shahabat Nabi masih banyak yang hadir dalam peristiwa tersebut. Dan tidak ada seorang Shahabat Nabipun yang mengingkari perbuatan keduanya diamana keduanya mencerca penguasa di depan umum. Dengan demikian amat jelas, bahwa mencerca penguasa didepan umum tidak dianggap sebagai perbuatan yang salah oleh para Shahabat Nabi, minimal yang hadir dalam shalat ied di lapangan itu. Lalu dimanakah letak hadits-hadits yang menyatakan larangan mencerca penguasa di depan umum ? Apakah mungkin ribuan Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang hadir disitu tidak ada yang tau tentang larangan tersebut sehingga semuanya diam ketika kedua Shahabat senior ini “melanggar” larangan tersebut ?! Demikianlah beberapa keanehan Ulama’ yang menshahihkan hadits-hadits larangan mencerca penguasa di depan umum.

Kesimpulan Dan Penutup

Dari uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa permasalahan larangan mencerca penguasa di depan umum itu bukanlah permasalahan ushul bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dalam artian, bahwa masalah ini tidak bisa dipakai sebagai patokan untuk menilai apakah seseorang itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau bukan. Dan juga tidak bisa dipakai sebagai alat untuk memvonis bahwa orang yang mencerca penguasa di depan umum itu berarti mengikuti pemahaman khawarij dan menyimpang dari jalan pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Bagaimana mungkin sikap mencerca penguasa di depan umum itu dijadikan patokan untuk menilai pelakunya sebagai khawarij, padahal terdapat kalangan Shahabat dan Tabi’in yang mencerca penguasa di depan umum dan bahkan memberontak kepada penguasa yang dianggap telah melakukan kekafiran yang nyata. Dari kalangan Shahabat dan Tabi’in itu antara lain ialah Abu Thufail Amir bin Watsilah Al Kinani[1] yang memobilisasi kaum Muslimin untuk memberontak kepada Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqfi dan mendukung pemberontakan Abdurrahman bin Al As’ats. Juga Uqbah bin Abdil Ghafir Al Azdi[2] dan juga para Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari kalangan Tabi’in, seperti Al Hasan Al Basri, Sa’id bin Jubair, Amir bin Syarahil Asy Sya’bi, Ibnu Kumail dan lain-lainnya. Dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil tidak ada pernyataan dari para Imam Ahlus Sunnah yang menganggap mereka ini sebagai Khawarij. Bahkan tidak ada yang menganggap mereka sebagai orang-orang yang keluar dari kedududkan mereka sebagai Ahlus Sunnah Wal jama’ah.

Adalah bukan akhlaq Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bila seseorang menjadikan permasalahan furu’ ini sebagai permasalahan ushul (pokok). Permasalahan furu’ itu adalah permasalahan yang masih menjadi perdebatan para Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan belum disepakati. Sedangkan masalah ushul itu adalah permasalahan yang telah disepakati oleh para Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Tuntunan akhlaq Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam permasalahan furu’ ini, ialah hendaknya kita mengikuti mana pendapat yang paling kuat dipandang dari sisi dalilnya dan kemudian tidak memvonis pihak lain yang mengikuti pendapat lainnya. Semoga Allah Ta’ala membimbing kita ke jalanNya yang diridhoiNya dan menyelamatkan kita dari hawa nafsu yang terus-menerus mengajak kepada kesesatan. Amin ya Mujibas sa’ilin. Wallahu a’lamu bi shawab.

Footnote :________________

1). Beliau adalah salah seorang Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam.

2). Menurut Al Imam At Thabari, beliau ini adalah salah seorang Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallamsebagaimana hal ini dinyatakan dalam Tarikh At Tabari jilid 6 halaman 341.