Ibukotaku Dilahap Banjir

           Ibu kota merupakan pusat dari segala pusat kota, Pusat perdagangan, bisnis, Ekonomi, hierarki dan otonomi.Semua mata tertuju padanya, Jakarta merupakan ibukota kita yang sudah ada semenjak terlepas dari penjajahan orang-orang komunis. Kondisi kota Jakarta yang era modern ini semakin menjadi-jadi sesuai dengan perkembangan zaman seperti, Budaya, tradisi, gaya semuanya berubah menjadi metropolitan dan ngetran di zaman sekarang. Akan tetapi masih banyak kekurangan dari kota sejarah ini terutama dari pengendalian lingkungan dan alam sekitar.

            Faktor lingkungan dan alam sekitar masih membelenggu dalam lilitan ibukota Jakarta, Bagaimana bisa? Hal ini terjadi akibat ulah tangan manusia, bagaimana bencana alam yang terjadi di ibukota kita? Apalagi Jakarta terkenal dengan istilah kota yang amat macet dan sering dilanda banjir, masalah yang satu ini tidak akan ada hentinya untuk dibicarakan dan diproses untuk ditanggulangi. Seketika saya terfokus dengan fenomena yang terjadi saat ini yaitu banjir yang melanda wilayah Jakarta. Banjir bencana alam yang kronologis terjadi tanpa kita sangka dan kita hanya bisa cukup waspada.

Fenomena ini tentu banyak dikeluhkan orang banyak, walaupun pemerintah sendiri telah turun tangan dalam mencoba untuk mengatasinya, pemerintah daerah telah menyusun serangkaain program, mulai dari normalisasi sejumlah sungai di Jakarta, hingga revitalisasi situ dan embung.  akan tetapi masalah banjir ini tetap menjadi sahabat kota Jakarta sampai penghujung musim hujan. Semuanya dilahap oleh banjir, tak mengenal tua, muda, anak-anak, balita,pejabat, orang kaya,orang miskin semuanya tak dipedulikan. Manusia hanya bisa mengatakan semua yang terjadi itu adalah bencana alam yang sudah terjadi tanpa merasa benar dirinya dipersalahkan. Seandainya manusia berpikir dan terus mencoba bersahabat dengan alam tentu bisa meminimalisir bencana alam yang terjadi.

Banjir yang sedang melanda ibukota Jakarta menjadi sorotan dan topik yang sedang diperbincangkan orang banyak dan beritanya sampai kepolosok desapun tak mau ketinggalan, ada orang yang mengatakan bahwa banjir yang terjadi di Jakarta adalah kiriman dari bogor (kota hujan) karena meluapnya sungai yang menghubungkan dengan sungai ciliwung, ketinggian air di pintu air Manggarai hari ini sebesar 10030 cm, “Artinya, ketinggian air di permukaan sungai hanya 960 cm. ” kata Direktur Sungai dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air (SDA), Kementerian PU, Pitoyo Subandrio, saat dihubungi di Jakarta, Kamis., Sebagian orang juga mengatakan bahwa banjir terjadi  akibat kerakusan manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan, manusia ingin sekali diuntungkan dan tidak mau disalahkan sehingga lingkungan dirugikan daripadanya. Kita hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada melihat kenyataan ini.

Menurut Badan Meteorologi Kronologi dan Geofisika memperkirakan cuaca yang terjadi di Indonesia semakin tak terkendalikan, khususnya wilayah Jakarta yang selalu diguyur hujan disertai angin dengan suhu 23 derajat celcius dan kelembapannya. Perkiraan ini selalu ditinjau oleh BMKG hingga sampai diujung musim hujan diperkirakan fenomena ini akan terus terjadi sampai akhir bulan maret mendatang. Sebelumnya, Menteri PU Djoko Kirmanto menyatakan, pemerintah tidak menjamin Jakarta akan bebas dari banjir hingga beberapa tahun mendatang. Hal itu karena program normalisasi sejumlah sungai dan lainnya tuntas 2017-2018. “Kendati program ini selesai pada 2017/2018, Jakarta tak dijamin bebas banjir,” kata Djoko. Apalagi, kata Djoko, tak ada satupun kota-kota besar di dunia yang mutlak bebas banjir, apalagi untuk Jakarta yang garis permukaannya di bawah air laut.

Warga Jakarta yang terkena banjir sangat bersedih karena harta benda mereka dilahap banjir, begitu juga dengan anak-anak sekolah yang terpaksa tidak bisa bersekolah, pegawai dan karyawanpun dengan terpaksa juga meliburkan dirinya untuk tidak bekerja, banjirpun melanda hingga kejalanan sehingga yang terjadi adalah kemacetan dimana kendaran saling berdesak-desakan di jalanan protokol, sehingga polisi lalulintas terpaksa membuka jalur lain untuk mengendalikannya.

Begitulah fenomena ibukota Jakarta yang tak terlepas dari himpitan berbagai masalah yang selalu mengepungnya. Adakiranya kita banyak mengintropeksi diri bukan banyak mengintropeksi alam dan jangan hanya bisa memanfaatkannya alam secara berlebihan. -Erwin Sebaztyan <[email protected]>-