Ketika Agama Dijadikan Topeng!

Ketika Agama Dijadikan Topeng!

Belakangan ini, media sosial ramai dengan sebuah kasus yang bikin banyak orang mengelus dada sekaligus menggelengkan kepala.

Seorang selebgram yang dikenal lewat konten-konten dakwahnya, tampil bak ustaz muda idaman, ternyata terbongkar sisi kelamnya.

Sosok yang selama ini rajin menyuarakan pesan-pesan religi dan tampil dengan citra “sholeh” itu rupanya memanfaatkan popularitasnya untuk mendekati para akhwat bukan satu, bukan dua, tapi lebih dari sepuluh perempuan yang mengaku pernah menjadi korban rayuan manisnya.

Semua ini terungkap berkat keberanian beberapa akhwat yang mempublikasikan kisah mereka di TikTok.

Satu demi satu mereka buka suara, menunjukkan pola pendekatan yang sama, awalnya lewat dakwah, lalu berlanjut ke pesan pribadi bernuansa romantis.

Dari yang awalnya “nanya kabar”, jadi “sayang-sayangan”. Sayangnya, bukan dengan niat serius dan lurus, tapi sekadar main perasaan, tanpa tanggung jawab.

Banyak yang terkejut. Tapi sebagian lagi tidak heran. Karena di zaman sekarang, menjual tampilan religius itu kadang lebih laris daripada menjual kebenaran itu sendiri.

Dan sayangnya, banyak orang yang terlalu cepat percaya pada cover tanpa sempat menguji isi.

Agama Jadi Komoditas, Bukan Jalan Hidup

Kita hidup di era di mana eksistensi di media sosial bisa diukur dari seberapa sering kita dianggap baik. Maka tak heran, banyak yang berbondong-bondong membangun citra termasuk cover religius.

Padahal, pemahaman agama yang sejati itu tidak bisa direduksi hanya dari gaya berpakaian, kutipan ayat di caption, atau seberapa banyak follower yang memanggil “ustadz”.

Orang yang paham agama, justru akan hati-hati dalam setiap Tindakan dan ucapannya. Mereka tidak merasa perlu mengumumkan kesalehannya, apalagi menjadikan agama sebagai topeng untuk memikat hati lawan jenis.

Sayangnya, sebagian justru menjadikan citra religius ini sebagai alat untuk mendapatkan validasi, popularitas, bahkan pasangan.

Ini bukan soal generalisasi semua pendakwah digital. Banyak kok yang tulus, benar-benar ingin menyebarkan kebaikan.

Tapi kasus seperti ini jadi alarm keras bagi kita semua untuk tidak mudah kagum pada penampilan luar. Ingat, bahkan topeng bisa dipakai dengan sangat rapi hingga kita nyaris tak sadar sedang ditipu.

Akhwat, Jangan Salah Pilih Nahkoda!

Untuk para akhwat, semoga ini jadi pelajaran penting, memilih pasangan hidup tidak bisa sekadar karena dia tampak sholeh atau fasih melafalkan ayat.

Harus ada proses mengenal yang jujur, terbuka, dan tidak tergesa-gesa. Jangan sampai karena ingin cepat naik pelaminan, malah berakhir terluka di kemudian hari.

Lelaki yang benar-benar memahami tanggung jawab dalam rumah tangga tidak akan bermain-main dengan hati perempuan.

Ia tidak akan menjadikan dalih agama untuk membenarkan tindakan yang menyakiti. Poligami misalnya, itu bukan topik sepele yang bisa dijadikan tameng saat sudah merasa bosan atau tergoda dengan yang lain, padahal istri yang satu saja belum bisa diurus dengan benar.

Sayangnya, karena iming-iming “paham agama” dan “calon imam”, banyak akhwat yang mudah luluh. Padahal seharusnya, perempuan yang cerdas dan matang secara spiritual tahu bahwa iman bukan hanya di lisan, tapi dibuktikan lewat akhlak dan tanggung jawab.

Hijrah Itu Proses, Bukan Gaya Hidup Instan.

Satu lagi pelajaran penting dari kisah ini, hijrah bukan soal tampil beda secara instan. Bukan tiba-tiba bercadar, tiba-tiba full syar’i, lalu merasa paling benar sendiri. Perubahan yang terlalu cepat, tanpa bekal pemahaman yang matang, sering kali mudah goyah.

Yang tiba-tiba berubah, bisa juga tiba-tiba kembali seperti semula bahkan lebih buruk.

Hijrah adalah perjalanan panjang. Ada naik turunnya. Ada godaannya. Tapi kalau dijalani dengan niat yang benar dan pemahaman yang cukup, hijrah akan menjadi proses yang menguatkan jiwa, bukan sekadar mengganti penampilan.

Waspada!!! Jangan Terpukau Topeng.

Dari semua ini, kita belajar satu hal penting, tidak semua yang terlihat religius itu benar-benar tulus. Dunia digital bisa membuat siapa saja terlihat suci, bahkan saat hatinya penuh tipu daya.

Sebagai generasi muda Muslim (jilul syabab) kita harus belajar membedakan antara yang hak dan yang batil. Jangan mudah silau oleh konten-konten islami yang viral, apalagi jika tidak dibarengi dengan akhlak yang mencerminkan nilai Islam itu sendiri.

Karena agama bukan sekadar kata-kata manis dalam caption atau lighting estetik di video dakwah, tapi tentang bagaimana kita jujur dalam niat, dan konsisten dalam sikap.

 

Penulis: Fathiyah Ikhsani Siregar (Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Imam
Bonjol Padang)

Beri Komentar