Ketika Dakwah Jadi (Medan) Politik

Terungkapnya korupsi impor daging sapi yang diduga ikut menyeret sebuah partai berlabel dakwah beberapa hari lalu cukup membuat kita terkejut.Pasalnya partai ini melekat dengan citra bersih sehingga kadangkali beberapa kali kadernya berbangga akan citra tersebut.Namun,pasca penangkapan tokoh sentral partai tersebut,hampir seluruh lini kader menganggap bahwa hal itu adalah sebuah kedzaliman.Beramai-ramai dari mereka menghakimi KPK telah melakukan rekayasa, konspirasi dan berbagai serapah lainnya yang menunjukkan ketidakpercayaan atas penangkapan tersebut.Bahkan,Pimpinan baru partai ini dengan berani mengatakan “adanya konspirasi tirani otoritas” yang ingin menjatuhkan partai mereka.

Kondisi demikian,sungguh memprihatinkan.Apalagi harapan ummat tertuju pada partai tersebut,ketika nafas “dakwah” dihembuskan sebagai landasan berpijak.Nafas inilah yang menjadikan ummat simpati atas perjuangan partai ini.Bahkan tak jarang,sebagian besar ummat menyamakan bentuk perjuangan ini dengan Masyumi;Sebuah partai ideologi berbasis dakwah ummat yang hendak menegakkan syariat Islam di era Orde Lama.Prespektif inilah terkadang menjadi kekhawatiran ummat akan keberlangsungan partai ini,yang takut partai ini akan bernasib sama seperti Masyumi;dibubarkan dan hilang ditelan bumi.

Akan tetapi harapan ummat bahwa partai ini memperjuangkan dakwah layaknya Masyumi nampaknya hampirlah sirna.Partai ini oleh ummat mendapat stigma kian lama,kian menyimpang dari manifesto ideologi awal.Apalagi pasca pemilu 2004,partai ini dianggap lebih kental nuansa politis daripada nuansa dakwah dan syiar.Mulai dari gaya hidup yang mulai menjurus kepada hedonisme dalam anggota DPR partai ini hingga geliat partai ini dalam menghalalkan berbagai cara untuk meraih perolehan suara.Bahkan di kampus-kampus tempat intelektual muda lahir,yang (seharusnya) netral dan aktivitas politik praktis.Indepedensi mahasiswa mereka coba renggut paksa dengan menempatkan mahasiswa-mahasiswa yang bisa dijadikan perpanjangan aktivitas politik mereka dalam struktur penting di organ intra kampus.Tujuannya adalah mengarahkan para mahasiswa untuk memilih partai tersebut.Tentu hal tersebut amat berbeda dengan Masyumi yang lebih menekankan pencerdasan secara massif melalui tulisan di buku-buku serta penyampaian orasi ilmiah.Mereka enggan melakukan penetrasi lebih dalam seperti yang dilakukan partai “dakwah” saat ini dengan cara menguasai organ kampus,meskipun ketika itu HMI yang notabene cukup kuat di organ intra kampus lebih condong dengan perjuangan mereka.Afiliasi yang terjadi antara HMI dan Masyumi saat itu lebih kepada afiliasi ideologis dalam hal ini Islam.Artinya bukan afiliasi organisatoris yang berarti bahwa mereka tunduk kepada pimpinan partai Masyumi.

Ironis bila “dakwah” yang diperjuangkan saat ini lebih menyerupai sebagai salah satu arena politik.Padahal,dakwah dalam Islam bersifat universal (rahmatan lil alamin) dan tak terbatas untuk aktivitas politik belaka.Ketika menjadikan dakwah sebagai arena politik maka secara langsung kita mempersempit ruang berdakwah dan mengaburkan makna dakwah itu sendiri.Kecenderungan dakwah yang dimanfaatkan sebagai arena politik,bisa berimplikasi pada anggapan orang awam bahwa dakwah kental dengan aroma politik.Hal tersebut tentunya menjadikan dakwah jauh dari esensinya dalam menegakkan kebenaran sehingga dakwah dikhawatirkan akan dianggap sekadar angin lalu oleh ummat.Dengan demikian,momen pertaubatan nasional yang disuarakan oleh pimpinan baru partai ini bisa ditafsirkan bahwa seluruh kader partai ini harus kembali ke khittah awal dengan menjadikan politik sebagai ladang berdakwah dan bukan justru menjadikan dakwah sebagai tameng (bahkan) medan berpolitik.Wallahu A’lam Bishawab.

Achmad.P.Nugroho

Mahasiswwa Politeknik Negeri JAkarta
Sekretaris Direktur Lembaga Pers MAhasiswa Islam (LAPMI)
HMI Cabang Depok