Ketika “Jenderal Tua” Mengancam Masyarakat

Memberi Saran yang Salah

Jadi sangat aneh kalau kemudian FPI atau ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah lebih dulu dibubarkan rezim Jokowi tàhun 2017 disamakan dengan PKI. Pentolan PKI ditahan dan dipenjarakan pemerintah Orde Baru karena memang mereka telah membunuh dan membantai masyarakat terutama para kiai dan para santri pada bulan September 1965 dan tàhun 1948.

Sementara kegiatan FPI yang sudah dibubarkan pemerintah akhir bulan Desember 2020 justru sebenarnya banyak membantu program pemerintah karena yang dilakukan ormas Islam ini adalah mengajak pada kebaikan dan mencegah setiap perbuatan kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar). Tidak hanya itu, selama ini FPI lama banyak melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan. Dalam setiap terjadi bencana alam di Tanah Air, FPI lama nyaris selalu yang pertama hadir di lokasi bencana membantu masyarakat yang terkena musibah.

Kalau kemudian FPI lama dibubarkan pemerintah, sungguh sangat memprihatinkan kita semua. Oleh karena itu wajar kalau Natalius Pigai mempertanyakan ancaman Hendropriyono yang akan membubarkan organisasi yang menampung mantan anggota FPI. Adanya ancaman dari orang seperti Hendropriyono yang nota bene sekarang berada di luar struktur resmi pemerintah dan negara, memang menimbulkan keheranan, tanda tanya sekaligus kecurigaan di kalangan masyarakat.

Terkait hal itu, elite Partai Demokrat Andi Arief mendesak Menko Polhukam Mahfud MD untuk berhenti mendengarkan masukan dari “Jenderal Tua” yang menurutnya selalu memberi saran yang salah arah. Dalam kicauannya di akun Twitter pribadi, Jumat (1/1/2021), Andi Arief menyebutkan: “Ketimbang mendengar pandangan-pandangan yang bisa menyesatkan dari jenderal tua yang sudah terbukti menyesatkan dan melanggar HAM”.

Namun, Andi Arief tidak gamblang merinci siapa Jenderal Tua yang dimaksudnya itu. Menko Polhukam Mahfud MD diminta Andi Arief untuk lebih berdiskusi dan mendengarkan masukan dari masyarakat sipil (civilsociety). Khususnya dalam menyikapi peristiwa hukum yang belakangan ramai diperbincangkan publik.

Sementara sejumlah warganet memberi komentar beragam tentang siapa sosok “Jenderal Tua” yang juga disebut sebagai pelanggar HAM oleh Andi Arief.
“Jendral tua yg menyesatkan??” cetus akun @ad3ira29 yang mengomentari postingan Andi Arief. “Jendral Talangsari,” timpal akun @nurkyqo menduga.

Selama ini AM Hendropriyono memang banyak dikaitkan dengan kasus Talangsari Lampung. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, pada 7 Februari 1989, ketika AM Hendropriyono masih berpangkat kolonel dan menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung, menyerbu Desa Talangsari. Banyak korban berjatuhan yang jumlahnya mencapai 300 orang. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI.

Pada tahun 2001, korban pelanggaran HAM Talangsari telah mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk KPP HAM. Berdasarkan rekomendasi rapat paripurna tanggal 23 Februari  2001 dibentuk tim penyelidikan berdasarkan UU No. 39 tahun 1999. Tim terdiri dari Enny Suprapto (Kekerasan), Samsudin (Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan Muhamad Farid (anak-anak). Tim mulai bekerja pada Akhir Maret hingga Awal April 2005. Setelah Komnas HAM turun lapangan pada Juni 2005, ditemukan adanya pelanggaran HAM berat.

Namun banyak kendala dalam penyelidikan karena fokus para korban banyak yang terpecah belah karena sebagian ada yang melakukan islah dengan Hendropriyono sejak 1999. Mantan jamaah Warsidi yang melakukan islah tersebut menghalangi warga lain yang ingin mencari keadilan lewat pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM. Itulah antara lain kiprah AM Hendropriyono yang kini berusia 75 tàhun. Wallohu a’lam bhisawab. (FNN)

Penulis wartawan senior FNN.co.id