Kisah Warga Lombok: Kami, Korban Pariwisata

“Kami, adalah korban pariwisata”, begitu lanjutnya.

Terlalu mahal harga pariwisata, walau itu berlabel syariah. Karena sejatinya ketika malam terhampar, maksiat kembali melenggang. Kemunafikan yang berjubah. Disinilah, Allah sendiri yang mengingatkan, dengan serangkaian gempa di Pulau Seribu Masjid.

Status Darurat Nasional memang sangat dibutuhkan. Akan dengan cepat mampu memulihkan keadaan, dan sebagai bukti kehadiran negara. Di sisi lain, kemandirian masyarakat khas desa Indonesia, memungkinkan pulih sendiri tanpa bantuan pemerintah. Walau tentu lebih butuh waktu. Tapi luka kali ini tentu akan sangat membekas.

Belajarlah dari negeri Tibet dan Jepang. Negeri yang sangat maju secara teknologi dan ekonomi, tapi tidak norak dalam memandang dunia. Tradisi nenek moyang mereka tetap membekas.

Saling menyapa dan menunduk untuk menghormati, memuliakan orang tua, mengucapkan terima kasih, meminta maaf tanpa disuruh dan tanpa pembuktian pengadilan, dan sederet tradisi baik lainnya. Sama seperti tradisi baik di Indonesia. Bedanya, kita lebih terpukau oleh target dunia, sementara mereka adalah dunia itu sendiri.[]

*catatan: cerita asli dengan nama sumber disamarkan

Sumber: AQLNews