Larangan Menikah, Tak Sesuai Fitrah

larang nikahOleh : Nindi Ra

Biarawati Melahirkan

Dua minggu terakhir, dunia dihebohkan oleh berita tentang seorang biarawati di Italia tanpa diduga melahirkan seorang bayi di rumah sakit. Biarawati asal El Salvador ini awalnya dibawa ke rumah sakit karena keram perut parah dan mengaku tidak sadar dirinya hamil. Biarawati bernama Roxana Rodriguez (33) ini menyatakan dirinya sama sekali tidak tahu jika dirinya tengah mengandung, terlebih setelah melahirkan seorang bayi laki-laki pada Rabu (15/01). “Saya tidak tahu kalau saya sedang hamil. Saya hanya merasa sakit perut,” ujar Rodriguez seperti dikutip kantor berita Italia, ANSA dan dilansir independent.co.uk, Senin (20/01/2014).

Rodriguez memberi nama bayinya Francesco (Francis) dan memutuskan akan merawat bayi tersebut. “Saya akan merawat bayi ini karena dia adalah hadiah dari Tuhan. Saya menamainya Francis untuk menghormati Paus kami dari Amerika Selatan,” ucapnya kepada seorang pekerja sosial setempat, seperti dilansir Sydney Morning Herald.

Menanggapi insiden ini, para biarawati yang ada di biarawati tersebut mengaku sangat terkejut dengan kelahiran bayi tersebut. Diduga ayah bayi ini berada di El Salvador. Kelahiran bayi dari seorang biarawati ini memicu perdebatan di Gereja Katolik setempat. Terutama Rodriguez telah bersumpah untuk menjaga kemurnian dan ketaatan saat pertama menjadi biarawati pada September 2012 lalu (news.detik.com, 20/01/2014).

 

Naluri Seksual adalah Fitrah

Sebagai seorang biarawati, Roxana Rodriguez memang telah disumpah. Namun apa dikata jika fakta sumpah itu tak sesuai fitrah. Sebab, larangan menikah sesungguhnya bertentangan dengan fitrah manusia, sebagaimana potensi kehidupan yang telah Allah Swt karuniakan padanya.

Allah Swt telah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dengan suatu fitrah tertentu yang berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia, sebagaimana halnya pria. Masing-masing tidak berbeda dari lainnya dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi yang lainnya pada aspek ini. Allah Swt telah mempersiapkan kedua-duanya untuk mengarungi kancah kehidupan dengan sifat kemanusiaannya. Allah telah menjadikan pria dan wanita untuk hidup bersama dalam satu masyarakat. Allah Swt juga telah menetapkan bahwa kelestarian jenis manusia bergantung pada interaksi kedua jenis tersebut dan pada keberadaan keduanya pada setiap masyarakat. Karena itu, tidak boleh memandang salah satunya kecuali dengan pandangan yang sama atas yang lain, bahwa ia adalah manusia yang mempunyai berbagai ciri khas manusia dan segala potensi yang mendukung kehidupannya.

Allah Swt telah menciptakan pada masing-masingnya potensi kehidupan (thâqah hayawiyyah), yaitu potensi yang juga diciptakan Allah pada yang lainnya. Allah telah menjadikan pada masing-masingnya kebutuhan jasmani (hâjâtul ‘udhwiyyah) seperti rasa lapar, rasa dahaga, atau buang hajat; serta berbagai naluri (gharâ’iz), yaitu naluri mempertahankan diri (gharîzah al-baqa’), naluri seksual untuk melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’), dan naluri beragama (gharizah at-tadayyun). Kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada masing-masing jenis kelamin.

Secara khusus tentang naluri seksual, pemenuhannya tidak lain hanya melalui satu cara, yaitu pemenuhan naluri tersebut seorang wanita oleh seorang pria atau sebaliknya. Karena itu, hubungan pria-wanita atau sebaliknya, dari segi naluri seksual, adalah hubungan yang alamiah dan bukan merupakan hal yang aneh. Bahkan ia adalah hubungan asli yang dengannya dapat diwujudkan tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan keturunan manusia. Jika di antara kedua lawan jenis (pria-wanita) tersebut terjadi hubungan dalam bentuk hubungan seksual, hal itu sangat wajar dan alamiah serta bukan hal yang aneh. Bahkan hal itu merupakan keharusan demi kelestarian jenis manusia. Namun demikian, membebaskan naluri ini sangat membahayakan manusia dan kehidupan bermasyarakat. Padahal tujuan adanya naluri itu tiada lain untuk melahirkan anak dalam rangka melestarikan keturunan.

Atas dasar itu, pandangan terhadap naluri ini harus difokuskan pada tujuan penciptaan naluri ini pada diri manusia, yaitu untuk melestarikan jenis, tak ada bedanya antara pria dengan wanita. Dari sinilah, harus diwujudkan pemahaman tertentu mengenai naluri seksual untuk melestarikan jenis (gharîzah an-naw‘) dan tujuan penciptaannya dalam diri manusia. Pemahaman ini akan membentuk pandangan yang khas mengenai naluri tersebut yang telah diciptakan Allah dalam diri manusia, yaitu pemahaman yang membatasi naluri tersebut pada hubungan pria dengan wanita atau sebaliknya. Disamping itu, akan terbentuk pula pandangan khas terhadap hubungan pria dan wanita, yaitu hubungan seksual/biologis antara dua lawan jenis, dalam arti memfokuskan hubungan itu pada tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan jenis manusia. Pandangan seperti inilah yang akan dapat mewujudkan pemuasan naluri, mewujudkan tujuan diciptakannya naluri itu, dan mewujudkan ketenteraman bagi masyarakat yang mengambil dan memiliki pandangan yang khas ini.

Karena itulah, setiap orang harus memiliki pemahaman tentang pemuasan naluri seksual untuk melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’) dan pemahaman tentang tujuan penciptaan naluri tersebut. Masyarakat pun harus memiliki suatu peraturan yang dapat menghapuskan dari diri manusia, dominasi pikiran tentang hubungan yang bersifat seksual melulu dan anggapan bahwa hubungan itu merupakan satu-satunya perkara yang dominan.

Masyarakat juga harus memiliki peraturan yang mempertahankan hubungan tolong menolong antara pria dan wanita. Sebab, tidak ada kebaikan pada suatu komunitas masyarakat, kecuali dengan adanya tolong menolong antara pria dan wanita, sebagai dua pihak yang saling bersaudara dan saling menanggung berdasarkan kasih dan sayang. Atas dasar itu, harus ditegaskan perlunya mengubah secara total pandangan masyarakat mengenai hubungan pria-wanita. Pengubahan pandangan ini diharapkan akan menghilangkan dominasi pemahaman yang hanya berorientasi hubungan seksual.

Pandangan ini harus selalu didominasi oleh ketakwaan kepada Allah Swt, bukan didominasi oleh kesenangan mencari kenikmatan dan pelampiasan syahwat. Pandangan tersebut tidak mengingkari manusia untuk meraih kenikmatan dan kelezatan hubungan seksual, tetapi menjadikannya sebagai suatu bentuk kenikmatan yang dibenarkan oleh syariah, mampu melestarikan keturunan, dan selaras dengan tujuan tertinggi seorang Muslim, yaitu mendapatkan keridhaan Allah Swt. Firman Allah Swt: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu…” (TQS Al-Hujuraat [49]: 13).

Ayat-ayat al-Quran datang dengan memfokuskan maknanya pada kehidupan suami-istri, yakni pada tujuan penciptaan naluri seksual untuk melestarikan jenis (gharîzah al-naw’). Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya naluri tersebut diciptakan untuk kehidupan suami-istri dalam suatu pernikahan, maksudnya untuk melestarikan keturunan. Dengan kata lain, naluri ini semata-mata diciptakan Allah Swt demi kehidupan bersuami-istri saja, bukan hubungan seksual pria dan wanita di luar ikatan pernikahan.

Firman Allah Swt: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang- biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 01).

Juga firman Allah Swt yang masyhur tercantum dalam setiap undangan pernikahan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21).

Dan hadits Rasulullaah saw, dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Rasulullaah saw bersabda ‘Hai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat.’” (HR Jama’ah).

Jika naluri manusia bangkit, ia akan menuntut pemuasan. Sebaliknya, jika naluri itu tidak bangkit, ia tidak menuntut pemuasan. Jika naluri menuntut pemuasan, naluri itu akan mendorong manusia untuk mewujudkan pemuasannya. Jika belum berhasil mewujudkan pemuasan, manusia akan gelisah selama naluri tersebut masih bergejolak. Setelah gejolak naluri tersebut reda, rasa gelisah itu pun akan hilang. Tiadanya pemuasan naluri tidak akan menimbulkan kematian dan gangguan, baik gangguan fisik, jiwa, maupun akal. Naluri yang tidak terpuaskan hanya akan mengakibatkan kepedihan dan kegelisahan. Dari fakta ini, pemuasan naluri bukanlah sesuatu keharusan sebagaimana pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani. Pemuasan naluri tidak lain hanya untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman.

Faktor-faktor yang dapat membangkitkan naluri ada dua macam: (1) fakta yang dapat diindera; (2) pikiran yang dapat mengundang makna-makna (bayangan-bayangan dalam benak). Jika salah satu dari kedua faktor itu tidak ada, naluri tidak akan bergejolak. Sebab, gejolak naluri bukan karena faktor internal, sebagaimana kebutuhan jasmani, melainkan karena faktor eksternal, yaitu dari fakta-fakta yang terindera dan pikiran yang dihadirkan (Kitab Nizhomul Ijtima’i).

 

Khatimah: Larangan Menikah, Tak Sesuai Fitrah

Dengan demikian, kasus ini makin memperjelas bukti bahwa larangan menikah pada pendeta atau biarawati adalah penghilangan naluri seksual (gharîzah al-naw’), yang tentu saja hal ini sama dengan meniadakan fitrah manusia. Jelas, dampaknya pun berupa penyimpangan perilaku (asusila). Terlebih, mereka pun dalam kondisi yang tidak mungkin menggunakan standar pengelolaan yang benar bagi nalurinya, sebagai bentuk keterikatannya pada aturan gereja. Akibatnya, mereka menggunakan standar apa pun yang ada, dalam rangka memenuhi naluri seksual tersebut. Hingga naluri tersebut tidak dikelola dengan standar yang benar. Tanpa ada pikiran tentang pertanggungjawaban di akhirat, mereka menggunakan standar kebebasan ala sistem sekular-kapitalisme. Maka, penting sebagai manusia, untuk senantiasa memahami posisi sebagai makhluk ciptaan Allah. Agar dapat menggunakan standar yang benar, yang juga berasal dari Allah, bagi pengelolaan potensi hidup, yaitu standar Islam.

Wallaahu a’lam bish showab []

 

BIODATA PENULIS:

Nama                            : Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si