Menjadi Penulis yang Bertanggung Jawab

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Menulis itu memang mudah, namun mempertanggungjawabkannya itu yang berat. Inilah salah satu masalah besar bagi para blogger pemula, karena belum apa-apa mereka sudah membayangkan begitu banyak beban yang dipikul di bahunya kalau sampai tulisannya dibaca orang. Takut tulisannya kurang bernas, takut dihina orang, takut referensinya kurang valid, takut ilmunya belum cukup mantap, dan seterusnya. Meskipun ketakutan semacam ini tidak boleh terlalu diperturutkan, namun kehadirannya memang sangat patut. Sebab, memang sudah sewajarnya seorang Muslim merasa malu kalau berbuat kesalahan. Inilah rasa malu yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga Rasulullah saw. pun bersabda, ”Jika tak ada lagi rasa malu, maka perbuatlah semaumu.”

Salah satu pilar dakwah telah diterangkan dengan sangat baik oleh Aa Gym. Prinsip itu berbunyi sebagai berikut: ”Jika ingin menyentuh hati, maka gunakanlah hati. Jika tidak menggunakan hati sendiri, maka pasti tidak akan menggapai hati orang lain.“ Artinya, dakwah dengan bermodalkan pengetahuan hitam dan putih itu nonsense. Seorang da’i harus bisa merasakan riak-riak perasaan masyarakat di sekitarnya dan berusaha menyentuh hati mereka dengan lembut agar mau diajak ke jalan yang benar.

Ada lagi prinsip lain yang mengatakan bahwa kebenaran harus disampaikan, meski pahit. Akan tetapi, prinsip ini seringkali disalahtafsirkan secara fatal. Pahit adalah sensasi yang dirasakan di lidah, bukan di telinga. Maka rasa pahit yang dimaksud adalah perasaan tidak enak yang dirasakan oleh yang menyatakan kebenaran, bukan oleh yang menerimanya. Yang menyatakan kebenaran tetap wajib menimbang-nimbang perasaan orang yang sedang dinasihatinya, bahkan kalau perlu ia mengabaikan perasaannya sendiri. Misalnya seorang mantan pecandu narkoba menceritakan kisah kehancuran hidupnya akibat narkoba, dengan tujuan agar para pendengarnya mau menjauhkan diri dari narkoba. Tentu saja menceritakan kisah pahit semacam ini terasa sangat berat, namun justru dengan cara demikianlah muncul ikatan personal dengan yang dinasihatinya, sehingga nasihat menjadi lebih mudah untuk dicerna.

Dalam membahas masalah artikel Wahai PKS, itu Bukan Gambar Al Aqsho!, saya tidak akan melangkah kepada masalah-masalah yang terlalu teknis. Mari gunakan perasaan terhalus kita, karena halusnya perasaan adalah tanda cinta, dan cinta pada sesama Muslim adalah tuntutan iman.

Sebagian orang menganggap artikel tersebut hanyalah sebuah nasihat dari seorang saudara kepada saudara lainnya. Tapi cobalah perhatikan judulnya, dan gunakanlah rasa bahasa yang umumnya dimiliki oleh para pengguna bahasa Indonesia. Adakah seruan ”Wahai PKS” terdengar mesra, atau justru menciptakan jarak yang menganga? Apakah pemberian tanda seru di akhir judul hanya sebagai penunjuk kalimat seruan, atau justru terdengar menantang? Gunakanlah perasaan yang halus sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw., yang mengajari kita untuk tidak menunjuk dengan satu jari, melainkan dengan seluruh jari, dan yang mengajari kita untuk saling berpelukan di masa-masa ketika orang dengan ringannya membunuh anaknya sendiri.

Andaikan masih juga belum dipahami efek buruk dari seruan ini, maka ingatlah bahwa manusia itu berbeda-beda. Ada orang yang perasaannya seperti kain yang lembut, ada juga yang tidak terlalu sensitif. Bahkan Abu Dzar ra. pun pernah kelepasan mengatakan hal buruk kepada Bilal ra., dan beliau tidak menyadarinya hingga Rasulullah saw. menegurnya. Abu Dzar ra. kemudian memberikan reaksi terbaik, hingga ia tempelkan pipinya ke tanah agar saudaranya mau memaafkannya, dan Bilal ra. pun memberikan reaksi terbaik, yaitu dengan memaafkan saudaranya. Perasaan adalah masalah yang sangat relatif, sehingga apa yang dipandang biasa oleh seseorang bisa jadi dianggap sangat kasar oleh orang lain. Perhatian kepada perasaan orang adalah salah satu ukuran kebesaran jiwa seorang da’i.

Mari melangkah pada isi artikelnya secara keseluruhan, lihatlah the big picture (gambaran besar) tentang kegiatan yang dibicarakan dalam artikel tersebut, yaitu Munashoroh untuk Palestina yang diadakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Artikel itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh penulisnya, hanya menyoroti masalah kesalahan penggunaan imej Dome of Rock sebagai Masjid Al-Aqsha.

Sudah banyak orang yang membantah bahwa Dome of Rock pun bisa dijadikan simbol Masjid Al-Aqsha, karena sejak dulu yang disebut Masjidil Aqsha adalah keseluruhan kompleknya, dan bukan hanya satu masjid di dalamnya. Akan tetapi, argumen ini tidak akan dibahas lebih lanjut di sini. Dengan menggunakan visi dakwah (yang tidak digunakan oleh para penulis umum), gunakanlah lagi perasaan kita untuk menimbang-nimbang efek yang ditimbulkan dari artikel tersebut terhadap kegiatan Munashoroh.

Munashoroh Palestina telah menyedot banyak perhatian, baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak ikhwah yang telah membagi link situs-situs berita Israel yang gempar karena melihat lebih dari 150 ribu manusia dikerahkan ke jalan untuk mengutuk penjajahan di Palestina. Hebatnya lagi, pengerahan massa tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga terjadi di berbagai kota, meskipun skalanya tidak sebesar yang di ibu kota. Penolakan terhadap Zionisme telah menjadi gerakan nasional yang tidak main-main. Di situs-situs berita tersebut, kita bisa melihat sendiri betapa gusarnya warga Israel dan para pendukungnya dari seluruh belahan dunia.

Pada saat yang sama, muncullah artikel ini, yang hanya sekedar menyoroti masalah imej Al-Aqsha yang digunakan saat Munashoroh. Ini bagaikan mengomentari seorang ikhwah yang begitu bersemangat mengejar shalat Subuh berjama’ah, dan karena terburu-buru mendengar imam bertakbir, maka ia pun terlupa melangkah ke dalam masjid dengan kaki yang salah. Kesalahannya sebenarnya bisa dianggap lalu saja, dan sebenarnya kita bisa memacu motivasi ibadahnya dengan memuji komitmennya terhadap shalat Subuh. Akan tetapi, yang disoroti malah kekhilafan kecilnya saja. Bagaimanakah kira-kira efek yang akan ditimbulkan dari nasihat semacam ini?

Artikel yang dimuat di sebuah media massa tentu berbeda dengan nasihat yang disampaikan secara langsung. Pembaca dan penulis tidak berhadapan secara langsung, bahkan keduanya sangat boleh jadi tidak saling kenal. Justru karena itulah, nasihat melalui tulisan harus lebih berat lagi pertimbangannya. Lagipula, dengan dimuatnya nasihat dalam bentuk artikel di media massa, maka yang terlibat bukan hanya pemberi dan penerima nasihat, melainkan juga umat secara keseluruhan. Kembali pada analogi jama’ah shalat Subuh tadi, jika nasihat disampaikan secara terbuka (misalnya ditulis di mading masjid), maka orang akan memiliki interpretasinya masing-masing, dan besar kemungkinan orang akan melupakan kebaikan yang banyak karena kekurangan yang sedikit, karena yang sedikit itulah yang disoroti.

Sungguh ironis, betapa kegiatan yang dianggap begitu menakutkan oleh media-media massa Israel justru dikecilkan di tanah air. Kenyataannya, artikel ini telah digunakan oleh sebagian kalangan yang tidak bertanggung jawab untuk mengolok-olok PKS. Seolah-olah dukungan PKS terhadap Al-Aqsha hanya retorika belaka, karena mereka sebenarnya tidak tahu Masjid Al-Aqsha itu yang mana. Hal ini memang tak pernah dikatakan dalam artikel, namun begitulah tanggapan orang. Akibatnya, pembentukan opini untuk mendukung Palestina justru menjadi tidak optimal. Dalam hal ini, bukan kerugian PKS yang harus dipertimbangkan, tapi justru kepentingan Al-Aqsha itu sendiri.

Sebenarnya insiden tak perlu terjadi kalau saja kita mau berpikir panjang. Kalaupun penggunaan imej Dome of Rock dianggap tidak tepat, marilah kita bertanya: Apakah kader-kader PKS memang tidak kenal Masjid Al-Aqsha? Pada kenyataannya, ikhwah PKS-lah yang dulu mempelopori penyebarluasan informasi bahwa Dome of Rock bukanlah Masjid Al-Aqsha. Banyak pula kader PKS yang telah mengunjungi Masjid Al-Aqsha yang sebenarnya. Dan yang paling penting, perhatian PKS tidak hanya terbatas pada Masjid Al-Aqsha, melainkan pada keseluruhan kompleknya, sedangkan Dome of Rock sudah terlanjur menjadi ikon yang dikenali orang sebagai perlambang Masjidil Aqsha. Bahkan ketika menyebut nama Al-Aqsha, yang terbetik dalam benak bukan hanya komplek Masjidil Aqsha, melainkan Palestina secara keseluruhan. Tanyakanlah pada seluruh kader PKS, apakah mereka menghadiri Munashoroh untuk membela Dome of Rock, Masjid Al-Aqsha, keseluruhan komplek Al-Aqsha, ataukah seluruh jengkal tanah Palestina beserta penduduknya? Saya jamin, jawabannya adalah yang terakhir. Wajar, karena semulia-mulianya Masjid Al-Aqsha, ia hanyalah bangunan. Bahkan Rasulullah saw. pun mengatakan bahwa Ka’bah tidak sebanding harganya dengan nyawa seorang Muslim. Oleh karena itu, Masjid Al-Aqsha, Dome of Rock, apa pun imej yang digunakan dalam Munashoroh, hanyalah sebuah simbol bagi tanah Palestina yang telah dibasahi oleh darah para syuhada.

Dengan sedikit saja usaha untuk memahami jalan pikiran orang lain, kita bisa mengatasi kesalahpahaman yang fatal. Sebagai da’i yang berdakwah melalui tulisan, kita dituntut untuk mempertimbangkan hal-hal tertentu yang tidak dipertimbangkan oleh para penulis umumnya. Mengantisipasi efek yang akan muncul dari sebuah tulisan, baik perasaan maupun asumsi yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang membaca tulisan kita, adalah suatu hal yang membedakan kita dari para penulis sekuler.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Akmal ([email protected])