Pembubaran FPI: “Memperkosa” Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul! (1)

Tampaknya rencana Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas ini lebih bersifat politis semata. Padahal, kiprah sosial FPI sudah dilakukan di mana-mana dan terekam media mainstream maupun non-mainstream.

Bahkan, media asing kelas dunia seperti The Washington Post sempat menulis kiprah FPI saat ada bencana. Tampaknya, Presiden AS Donald Trump tidak alergi lagi pada ormas FPI yang sering digambarkan sebagai “Ormas Radikal dan Intoleran”.

Melansir Demokrasi.co.id, Kamis (13/6/2019), kiprah FPI dalam membantu korban bencana alam di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Front bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan bencana.

Jurnalis Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help yang diunggah di The Washington Post, Selasa, 11 Juni 2019 lalu.

Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang di rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Pria berusia 50 tahun itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut.

Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulteng, 28 September 2018 lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya.

Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan, FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut. Anwar tinggal di kampung nelayan di daerah terpencil yang sulit terjangkau.

Itulah sebagian fakta yang ditulis Wright di The Whasington Post. Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu orang di Serambi Mekkah itu.

Terakhir, FPI juga turut berperan ikut mengevakuasi korban gempa dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian korban, pendistribusian bantuan ke daerah pelosok, dan membangun perumahan sementara dan masjid baru.

Wright menguraikan, sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI menilai, ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler.

Dalam tulisannya itu, Wright juga mencatat, FPI dibentuk di Jakarta oleh unsur-unsur militer Indonesia setelah jatuhnya diktator Suharto pada 1998 sebagai alat untuk menghadapi aktivis pro-demokrasi dan liberalisme.

Menurut Putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, sebaiknya semua nilai agama di negeri juga diajarkan sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan untuk melawan ketidak-adilan dan penindasan.

Diajarkan pula untuk menegakkan hukum guna melindungi seluruh rakyat secara adil, serta keberanian untuk melawan, jika hukum digunakan menjadi alat segolongan penguasa yang munafik serta menindas.

“Diajarkan juga untuk berpikir kritis, terbuka, jujur dan adil guna memupuk keberanian rakyat melawan faham otoritarianisme gaya baru, praktek jual beli hukum dan jabatan,” lanjut Ketum Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) ini.

Diajarkan untuk menumbuhkan rasa saling menghormati, mengasihi sesama dan antar umat beragama untuk menumbuhkan keberanian melawan adu domba antar umat bergama yang didasarkan kecurigaan dan kebencian buta.

Diajarkan pula bahwa untuk meningkatkan kesadaran berbangsa, bernegara dan ber-Pancasila guna melawan merebaknya penghianatan yang ingin menggiring negara ini jadi antek bangsa dan negara lain.

Diajarkan untuk membentuk keberanian membela dan mendidik kaum pengusaha lemah bumiputera guna berani melawan kerakusan, liberalisme, dan anarkisme pengusaha kuat.

Tentunya, pengusaha kuat yang ingin menguasai kehidupan negara ini yang dampaknya bisa menimbulkan ketimpangan, kecemburuan, keresahan dan ketegangan sosial. (FNN)

(Bersambung)

Penulis: Mochammad Thoha, wartawan senior FNN.co.id