Refleksi Perayaan Tahun Baru

2014Oleh : Rahmi Rahmawati

 

Peringatan permulaan tahun baru Masehi telah berlalu. Tetapi perayaan yang digadang-gadang menguntungkan banyak segmen masyarakat di beberapa kota besar ini menyisakan beberapa masalah. Sampah-sampah berserakan di kawasan Monas, Jakarta. Bandung pun menyisakan hingga 12 ton sampah perayaan tahun baru kali ini. Selain masalah sampah, masalah penghamburan dana pun mewarnai perayaan tahun baru yang digelar di beberapa kota besar di tanah air ini. Sungguh ironi, dana pesta yang bahkan menurut beberapa pengamat tidak diketahui sumbernya dari mana itu berjumlah ratusan juta bahkan hingga milyaran rupiah. Seolah-olah rakyat dan pemimpinnya masih punya kesukaan yang sama, yaitu foya-foya.

Satu hal yang selayaknya jadi perhatian rakyat Indonesia yang kebanyakan muslim dalam perayaan tahun baru kali ini dan setiap tahun-tahun yang lalu adalah rangkaian aktivitas berlebih-lebihan (isyraf) dan penghamburan (tabdzir). Sepertinya bukan hal yang aneh jika Sidney menghabiskan sampai Rp 64 Milyar untuk membeli 7 ton kembang api. Namun jika aktivitas tersebut diikuti oleh sebagian kaum muslim, maka menjadi aneh rasanya. Pertama, seorang muslim dilarang menyerupai kebiasaan (tasyabuh) orang-orang kafir. Haditsnya sudah banyak yang hafal. Perayaan tahun baru masehi bukan termasuk kebiasaan kaum muslim dan bahkan sejarah menjelaskan bahwa asal muasal diadakannya perayaan tahun baru ini adalah perayaan orang-orang nashrani yang terkait kepercayaan (aqidah) mereka. Kedua, jika pun pergantian tahun masehi ini harus dirayakan tentu bukan dengan bentuk perayaan yang dipenuhi aktivitas berlebih-lebihan (isyraf) dan penghamburan (tabdzir). Bahkan di kedua hari raya kaum muslim pun, yakni idul fitri dan idul adha, Muhammad saw telah mengajarkan bagaimana meluapkan rasa suka cita yang begitu meluap-luap saat kedua momen itu datang. Perayaan hari-hari besar itu disemarakan dengan makan-makan bersama sebagai wujud syukur dan tahaduts bin ni’mah (menyebut-nyebut nikmah -Allaah). Fakir miskin dan anak yatim serta kaum dhuafa yang lainnya wajib kebagian hak makan mereka. Demi kegembiraan semua kalangan, namun tidak dengan aktivitas foya-foya. Ketiga, kaum muslim dilarang untuk ikut merayakan hari raya agama lain. Kaum nashrani meyakini bahwa momen pergantian tahun masehi termasuk ke dalam hari raya bagi mereka. Saya kutipkan sebuah hadits dari Anas RA, dia berkata,”Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, sedang mereka (umat Islam) mempunyai dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Rasulullah SAW bertanya,’Apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami bermain-main pada dua hari itu pada masa Jahiliyyah.’ Rasulullah SAW bersabda,’Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud, no 1134). . Toleransi artinya menghormati akidah mereka dan ikut mendoakan supaya kehidupan berbangsa ini menjadi kehidupan yang rukun dan akur tapi tidak dengan mengucapkan selamat atas hari raya mereka dan bahkan ikut melaksanakan rangkaian aktivitas perayaan hari raya mereka.

Maka, sudah sepantasnya kaum muslim mengambil pelajaran dan mau mengakui kesalahan serta memintakan ampun di hadapan Allaah atas apa yang telah terjadi khususnya pada malam pergantian tahun beberapa waktu lalu. Astaghfirullaahal ‘adziim. Mudah-mudahan tidak terulang lagi. Aamiin. Wallaahu a’lam.