Retorika Pemberantasan Mafia Migas: Adili Ahok!

Berdasarkan sumber Republika.co.id, KordaMentha menunjukkan adanya arah ke korporasi besar, sebuah perusahaan yang memiliki jaringan dalam Petral. Dari perusahaan inilah terdengar nama “MR”. “Memang ternyata orang-orang yang bekerja di Petral adalah karyawan MR. Dokumen itu pura-pura saja. Pura-pura ada penawaran. Kalau dikatakan pakai ID, benar, tapi sebetulnya sudah diatur,” kata sang sumber (9/11/2015).

Mantan anggota TRTKM Fahmy Radhi mengatakan pada masa pemerintahan SBY, nama MR sering disebut atas dugaan keterkaitan sebagai pihak ketiga, yakni dalam kasus pengadaan minyak selama periode 2012-2014 di Petral. “Sesungguhnya dulu tim kami (TRTKM) ke KPK, kemudian melapor ke Bareskrim, kami melakukan konfirmasi ternyata ditemukan kesamaan, inisialnya MR,” kata Fahmy (Tempo.co 11/11/2015).

Berdasarkan temuan KordaMentha, jaringan mafia migas itu menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau Rp 250 triliun selama tiga tahun. “Tuan MR” ini, melalui perusahaannya, menjadi perantara pengadaan minyak negara. Tuan MR pengusaha besar yang memiliki perusahaan di Singapura. Akibat ulah para mafia migas, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak atau jual-beli produk BBM-nya.

Meskipun temuan KordaMentha dan penyebutan nama MR ini telah beredar bertahun-tahun, ternyata MR justru “sempat datang” menghadiri undangan pesta pernikahan putra pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Solo pada 11 Juni 2015. Saat itu MR juga sempat berbicara akrab dengan Presiden Jokowi.

Polemik tentang MR kembali mencuat setelah dia hadir pada kuliah umum Presiden Jokwi pada acara Partai Nasdem, di Jakarta (16/7/2018). Padahal, pada Januari 2016, Kejagung mengaku kesulitan menghadirkan MR untuk dimintai keterangan terkait kasus “Papa Minta Saham” yang “mencatut” nama dan sempat membuat berang Presiden Jokowi. Publik heran bagaimana bisa Presiden Jokowi tidak bereaksi soal protes publik terhadap hadirnya MR pada acara Nasdem. Padahal dalam acara kuliah umum itu Jokowi menjadi pembicara utama.

Kasus Papa Minta Saham memang telah ditutup Kejagung karena alat bukti tidak relevan. Tuan MR pun lolos dari proses penyelidikan. Namun meskipun nama Tuan MR sudah cukup dikenal terkait dengan mafia migas, Presiden Jokowi masih berkenan mengundangnya ke Solo pada 11 Juni 2015 dan sempat pula hadir bersama pada acara yang diadakan Partai Nasdem pada 16 Juli 2018. Jadi, janji memberantas mafia hanya sekedar retorika?

Retorika Baru: Ahok akan Berantas Mafia Migas!

Pada akhir November 2019 publik dikejutkan rencana pemerintah mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina. Ahok yang diberi gelar hiperbolis “si pendobrak” dan “salah satu putra terbaik bangsa” oleh Kementrian BUMN digadang-gadang menjadi jalan keluar bagi pemerintah memberantas mafia migas.

Lho, ternyata mafia migas si penghisap rakyat masih bergentayangan? Bukankah Jokowi pernah menyatakan pada Debat Capres 2019 telah berhasil memberantas mafia migas melalui pembubaran Petral? Jika diakui mafia migas masih bergentayangan, sehingga Ahok “dibutuhkan” memberantas, maka pernyataan keberhasilan yang diklaim oleh Capres No.1 pada saat Debat Capres 2019 dapat pula dianggap hanya sekedar retorika!

Terlepas bahwa pemberantasan mafia migas merupakan retorika baru dalam rangka menjustifikasi “pengangkatan” Ahok, rakyat harus sadar ketegasan Ahok semasa menjabat Gubernur DKI tidak serta merta bisa menjadi jaminan akan mampu memberantas mafia migas. Sebab, upaya pemberantasan mafia migas sudah dilakukan Jokowi melalui pembentukan TRTKM pada November 2014. Belum lagi bicara tentang siapa Ahok.

KordaMentha telah menghasilkan temuan berbagai pelanggaran mafia migas dan siap dilaporkan kepada KPK. Tetapi justru Jokowi mengurungkan proses yang sudah berjalan baik tersebut, entah karena apa dan siapa. Jika committed memberantas mafia migas, mestinya laporan ke KPK tersebut sudah dilakukan sejak akhir 2015 yang lalu.

Narasi Ahok bisa memberantas mafia migas adalah narasi retoris. Sebab, jabatan Ahok hanyalah Komut, bukan Direksi yang berwenang membuat dan mengeksekusi kebijakan. Jangankan direksi, atau Menteri, presiden saja “gagal” menindaklanjuti temuan audit forensik. Apalagi hanya sekedar Komut yang tidak punyai wewenang eksekusi dan penegakan hukum!