Standar Ganda HAM Barat

obama1234Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Adalah tanggal 10 Desember 1948 dianggap sebagai The Declaration of the Human Rights. Menurut seorang penulis, pemikir dan sejarawan Islam, Tharîq al-Bisyrî, ide HAM tersebut telah didahului oleh Amerika pada perang kemerdekaan atas Inggris pada bulan Juli 1776. Mereka menyatakan bahwa manusia telah dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan setara dan menyatakan bahwa hak manusia itu terimplementasi dalam tiga hal: hak hidup, kebebasan dan persamaan. Setelah itu pecahlah Revolusi Perancis pada bulan Agustus 1789 yang memploklamirkan HAM: manusia dilahirkan merdeka dan memiliki kesamaan hak (Lihat, Jurnal Al Resalah, edisi (12) Rajab-Sya`bân 1425 H/Agustus-September 2004: 2).

Itulah, menurut M. Fethullah Gülen: seorang pemikir Turki sebagai bentuk ‘demokrasi liberal modern’. Ia menyatakan: Democratic ideas stem from ancient times. Modern democratic liberal was born in the American (1776) and French Revolution (1789-1799).” (The Fountain- Turkey, M. Fethullah Ghulan: Essays, Perspectives, Opinions, 2002: 15). Tanggal 10 Desember 1948 itulah kemudian dijadikan sebagai tonggak sejarah HAM di muka bumi. Meskipun sebenarnya ide tersebut adalah hasil ‘plagiarisme’ dari ungkapan Umar bin Khattâb.

Sejatinya, berbicara seputar HAM sama artinya berbicara tentang ‘Persamaan Hak’. Namun, hak tersebut di Barat tidak mengedepankan esensi persamaan itu sendiri. Diskriminasi malah banyak terjadi di mana-mana. Hingga hari ini, isu diskriminasi di berbagai negara Barat tetap terjadi. Sebut saja di Amerika: orang kulit hitam tidak akan pernah diperlakukan sama dengan kulit putih – meskipun kasus Obama dianggap sebagai pengecualian. Para wanita tetap akan menjadi makhluk “kelas dua” dalam kehidupan sosial. Fenomena ini justru mengindikasikan bahwa Barat sejatinya mengidap penyakit dualism-democratic (demokrasi-dualisme): di satu sisi ingin mengekspor ide HAM, namun di sisi lain justru mereka yang menginjak-injak HAM mereka sendiri.

Negeri Paman Sam adalah negeri yang paling getol menyuarakan demokrasi, kebebasan, memerangi terorisme, menghancurkan diktatorisme, dsb. Namun pada kenyataannya, merekalah aktor utama dalam melanggar kode etik demokrasi, memasung kebebasan di Irak, dan menciptakan terorisme. Ide-idenya dibungkus dalam mega-proyek The Great Middle East.

Contoh lain adalah apa yang terjadi di Uni Eropa. Sampai hari ini, Turki merupakan negara yang dijadikan “bulan-bulanan”: niatnya untuk bergabung ke dalam Uni Eropa masih tergantung. Alasannya hanya satu: Turki pernah menjadi pusat kemajuan dan peradaban Islam: Khilafah Turki Utsmani. Tentu saja kebebasan di sini tidak terealisasi, dan dapat dipastikan bahwa Barat adalah “negara ular” yang banyak “menanam tebu dibibir mereka. Hanya lips service.

 

Islam sebagai alternatif

Rasanya tidak salah ketika Murad Wilfried Hofmann menyatakan bahwa Islam the Alternative: Islam sebagai (agama dan tata-nilai alternatif bagi dunia dan kemanusiaan). Manusia dalam pandangan Islam, menurut Gülen, dengan mengutip hadits Nabi saw. seperti “gigi sebuah sisir” (the teeth of a comb). Islam doesnt discriminate based on race, color, age, nationality, or physical tratis. The Prophet say: You are all from Adam, and Adam is from earth. O servants of God, be brothers (and sisters). Oleh karena itu, menurutnya, siapa yang lebih dahulu lahir, dialah yang akan memiliki banyak kekayaan (wealth) dan kekuasaan (power) dari yang lainnya…(M. Fethullah Gülen, hlm. 15). Fakta ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, bahkan oleh negara Barat sendiri.

Dalam sebuah karyanya tentang negara Pakistan, Rushprook Williams menyatakan tentang tradisi Islam: Tradisi-tradisi Islam mencakup prinsip-prrinsip persamaan diantara roh manusia di hadapan Allah dan mengakui hubungan darah persaudaraan dunia tanpa melihat ras ataupun warna kulit. Sebagaimana juga mengakui adanya pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah dari pihak yang berlaku zalim kepadanya, membantu orang-orang yang kekurangan, kehilangan haknya, dan orang mengorbankan kehidupannya dalam menempuh jalan yang lurus.” Hal ini juga diakui oleh penulis terkenal J. Weills di dalam bukunya yang terkenal Short History of the World. Ia menyatakan: “Tampaknya unsur kekuatan ketiga termanifestasi dalam tekad bulat umat Islam yang menyatakan bahwa kaum beriman adalah bersaudara yang memiliki persamaan di hadapan Allah, meskipun warna kulit, asal-usul dan tempat tinggal mereka berbeda-beda.” (Rajae Atheya, ‘Ālamiyah al-Islām, 2003: 240-241).

Rasanya tidak ada lagi alasan yang harus dikemukakan. Dunia harus menolak HAM Barat yang sudah “lapuk” dan ketinggalan zaman itu. Dalam bahasa Mohammad Iqbal, demokrasi Barat adalah old organ (organ yang sudah tua). Bukankah dua pemikir Barat di atas sudah representatif untuk mengakui HAM dalam Islam? Wa syahida syāhidun min ahlihā = dan seorang saksi dari keluarganya memberikan kesaksian (Qs. 12: 26). Al-Islām ya‘lū walā yu‘lā ‘alaihi.

 

*) Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumut.