Surat Terbuka Buat Adikku Gustika Yusuf Hatta

Jika sudah kenal dan sayang, mungkin engkau akan rileks membacanya. Sehingga jika ada kritik engkau bisa menerimanya dan tidak marah padaku. Bukankah kritik adalah vitamin kemajuan. Dengan menulis surat ini aku ingin mengkritikmu. Memberimu vitamin sehingga engkau maju.

Namaku Miftah Nur Sabri. Dalam bahasa Arab artinya Kunci Cahaya Kesabaran. Aku tumbuh di kampung halaman yang sama dengan datuk. Kuhabiskan masa kanak-kanak di tempat yang sama dengan datuk. Menatap Gunung Marapi dan Gunung Singgalang setiap membuka jendela rumah di pagi hari di Bukittinggi sana.

Rose City kata Datuk dalam memoir. Kota yang Indah bagai mawar. Lihat saja kota itu dari jauh. Indah. Namun orang-orangnya kritis. Sehingga cukup dilihat dari jauh dan jangan disentuh karena berduri.

Mungkin berbeda dengan engkau yang tumbuh dan mekar di negeri asing. Sedangkan aku tingggal di kampung seperti Datuk. Sebagaimana Datuk, waktu kecil kami mengaji di surau dan “maota” di lapau.

Kami masih dikungkung oleh adab sopan santun dalam bertutur kata. Jika dalam pergaulan sehari-hari saat kecil kami kedapatan bercarut, maka mulut dan lidah kami kanai lado (kena cabe) oleh Ibu pertiwi. Bercarut itu artinya ngomong jorok. Misalnya menyebut: Pante*. Hanjian* Kaler* (umpatan pasar orang minang).

Nah, jika datuk masih hidup dan ketahuan kamu ngetwit carut fuc*, anjiiiin*, aku yakin datuk akan sangat marah denganmu. Mungkin kamu akan langsung dilado oleh Datuk. Dicabe dengan tangannya sendiri.