Surat Terbuka Buat Jokowi: Inpres BPJS? Jangan Deh, Plis…

Kedua, di belahan dunia mana pun, premi asuransi bukanlah pajak dan atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Untuk dua jenis pungutan kepada rakyat tersebut, ada dasar hukumnya. Kita menyebut itu dengan Undang Undang. Salah satunya, UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Mungkin ada UU Perapajakan yang lebih baru, saya ndak tahu. Barangkali sampeyan bisa tanya sama Sri Mulyani, Menteri Keuangan ‘terbalik’ negeri ini. Ndak sulit, kan, mas Joko tanya kepada si mbak yang jadi anak buah sampeyan itu?

Oya, saya juga mau mengingatkan sampeyan, mas Presiden, bahwa UU itu produk bersama antara Pemerintah dan DPR. Sampayan pasti tahu, kenapa pemerintah harus melibatkan DPR dalam membuat UU, kan? Ndak perlulah saya mengajari lagi, lha wong sampeyan pasti lebih tahu daripada saya.

Ketiga, bahwa karena bukan pajak atau PNBP maka negara sama sekali tidak boleh memaksa rakyat membayar. Apalagi ini cuma premi perusahaan asuransi. Kalau negara sampai memaksa rakyat membayar, lalu apa bedanya pemerintahan sampeyan sekarang dengan Kompeni saat menjajah Indonesia? Maaf, lho ya, kalau saya langsung menyebut Kompeni. Maksudnya supaya lebih jelas saja dan tak bertele-tele.

Keempat, jika mas Joko jadi menerbitkan Inpres sanksi bagi pelanggar iuran BPJS tidak bisa memperolah layanan publik, ini kan lebih zalim lagi. Mosok sebagai Presiden sampeyan akan memerintahkan aparat negara menolak rakyat yang mau memperpanjang SIM, Paspor, mengurus anak sekolah, akses perbankan, hingga tak bisa mengurus administrasi pertanahan hanya karena menunggak iuran BPJS. Jangan begitulah, mas. Bukankah tugas aparat dan birokrat negara memang untuk melayani rakyatnya?

Saya ingatkan mungkin saja sampeyan lupa, bahwa menunggak iuran BPJS bukanlah tindakan kiriminal. Lha wong mereka yang jelas-jelas melanggar hukum saja masih berhak memperoleh banyak hak priviledge, kok. Ndak percaya, lihat saja rekam jejak orang-orang di Senayan itu. Beberapa dari mereka (untuk tidak menyebut ‘banyak’) yang tersangkut masalah hukum? Tidak tanggung-tanggung, mereka mencuri uang rakyat dalam jumlah puluhan miliar, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah!

Atau, mungkin sampeyan akan mengelak dengan mengatakan, lho orang-orang terhormat di Senayan itu belum terbukti secara hukum melakukan korupsi. Begitu? Alahhhh…, mas Joko, sampeyan lebih tahu permainan dan campur aduk antara soal hukum dan politik di negeri ini ketimbang saya.

Kelima, kalau mas Joko jadi juga menerbitakn Inpres ini, sampeyan bisa dikategorikan melanggar UU, lho. Minimal, sampeyan melanggar prosedur penerbitan peraturan dan perundangan. Sebab, setiap aturan yang isinya memungut uang rakyat harus berbentuk UU, harus dibuat bersama-sama DPR. Lalu, pungutan itu harus benar-benar masuk ke kas negara, bukan kocek perusahaan. Apalagi kalau tujuan diterbitkannya aturan tersebut hanya untuk memperbaiki kolektibilitas iuran BPJS. Keleru, mas, keleru!

Keenam, sampeyan pasti masih ingat tujuan para bapak pendiri bangsa ini membentuk Indonesia, kan? Kalau lupa atau tidak sempat mencari referensinya, ini saya kutipkan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, konstitusi kita:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…

Jadi mas Joko, bapak-bapak pendiri bangsa membentuk negara yang amat kita cintai ini antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.