Surat Terbuka Buat Jokowi: Inpres BPJS? Jangan Deh, Plis…

Nah, bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera kalau mereka tidak bisa bekerja narik ojek atau jadi sopir karena tidak bisa memperpanjang SIM hanya disebabkan telat membayar iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa cerdas jika anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah hanya karena orang tuanya telat membayar iuran BPJS? Bagaimana kesejahteraan rakyat meningkat, kalau mereka tidak bisa mengakses kredit perbankan untuk memulai atau mengembangkan usaha hanya karena menunggak iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa menjual lahan atau rumahnya, hanya karena telat membayar iuran BPJS? Padahal, bisa jadi mereka menjual lahannya yang cuma seuprit untuk melunasi tunggakan iuran BPJS.

Ketujuh, saya ingin mengingatkan sampeyan, bahwa negara bertanggung jawab menjamin kesehatan seluruh warga negara. Ini amanat konstitusi, lho. Silakan baca pasal 34 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Jadi, berdasarkan konstitusi kita yang dalam sumpah jabatan sampeyan harus junjung tinggi itu, jelas-jelas Pemerintah wajib menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Wajib! Jangan pula kewajiban ini Pemerintah manipulasi dengan membentuk perusahaan asuransi yang menarik premi dari rakyat, wajib plus sanksi-sanksinya pula!

Saya serius, kalau sampai Inpres tertsebut terbit, artinya sampeyan bisa disebut melanggar UU bahkan Konstitusi kita. Agar tidak lupa, dalam sumpah jabatan, mas Joko mengucapkan ini:

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden/Wakil Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan semua undang-undang dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Mas Joko, sumpah ini serius banget, lho. Berat! Karena siapa pun Presidennya yang mengucapkan sumpah ini, artinya dia sudah berjanji kepada rakyat Indonesia. Melanggar sumpah ini, bisa berujung pada pemakzulan. Sesuai Konstitusi kita, Presiden juga bisa diberhentikan di tengah jalan. Jadi, di negeri ini memakzulkan Presiden dan atau Wapres di masa jabatannya bukanlah tindakan inkonsititusional.

Pasal Pasal 7A, menyebutkan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tapi, ah sudahlah. Persyaratan, proses, dan prosedur pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya di pasal-pasal berikutnya dibuat begitu rumit, njelimet, berbelit. Singkat kata, nyaris tidak mugkin! Apalagi dengan komposisi anggota DPR sekarang, semuanya jadi hampir mustahil!