Tugas Negara Itu Melindungi Rakyatnya, Bukan Menangkap Para Pengkritiknya

eramuslim.com

Tony Rosyid

Saat ini, Jokowi mampu mengendalikan stabilitas keamanan dalam negeri. Diantara indikatornya, pertama, Polri dan TNI yang menjadi organ penting dalam menjalankan tugas pengamanan berada dalam kendali penguasa. Kedua institusi ini terlihat kompak, setidaknya dalam konsolidasi struktural.

Kedua, di luar Polri dan TNI, ada sejumlah ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah yang masih memberi dukungan kepada pemerintah dengan dinamikanya masing-masing.

Ketiga, sejumlah tokoh dan aktifis yang teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok oposisi yang krirltis seperti KAMI, masyarakat yang tergabung dalam komunitas 212, dan sejumlah akademisi, berhasil dibonsai melalui UU ITE. Pasal ujaran kebencian (pasal 28 ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 jo UU No 11 Tahun 2008) dan penghasutan (pasal 160 KUHP). Sebagian bahkan sudah ditangkap dan berada dalam tahanan.

Penguasa sepertinya berhasil meredam setiap kritik yang dilontarkan kelompok-kelompok oposisi menggunakan pasal-pasal dalam undang-undang hukum pidana dan terutama undang-undang ITE. Meski pasal-pasal yang ditersangkakan seringkali menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para ahli hukum. Pertama, ada kesan dipaksakan. Kedua, pasal-pasal itu seringkali hanya berlaku untuk tokoh-tokoh pengkritik pemerintah, dan ada kesan berbelit-belit jika menyangkut para pendukung pemerintah.

Kekhawatiran adanya ancaman pelengseran terhadap Jokowi itu terlalu berlebihan. Justru sebaliknya, narasi ancaman dianggap publik seperti sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggiring munculnya tuduhan kepada para tokoh oposisi itu.

Orde Lama dan Orde Baru menggunakan pasal subversi untuk menghadapi para pengkritiknya. Kalau sekarang pintu masuknya seringkali melalui pelanggaran terhadap UU ITE. Hampir semuanya kena pasal ujaran kebencian dan penghasutan.

Untuk saat ini, situasi keamanan nasional masih sangat kondusif. Hanya beberapa kasus “Papua Merdeka” yang memang terjadi sejak dulu.

Kedepan belum ada tanda-tanda stabilitas keamanan nasional terancam. Kecuali jika terjadi krisis ekonomi. Baik krisis moneter maupun krisis fiskal.

Atau jika negara kekurangan anggaran untuk menggaji TNI-Polri dan para pegawai. Ini tentu akan menimbulkan gejolak.

Faktor krisis ekonomi akan menjadi trigger yang paling kuat. Terutama dalam situasi rakyat sedang dalam keadaan kecewa dan marah.

Negara memang sedang kesulitan uang. Upaya untuk mendapatkan pinjaman sedang terus dilakukan. Baik melalui penjualan SBN (Surat Berharga Negara) atau SUN (Surat Utang Negara) maupun pinjaman luar negeri. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, bukan hal mudah untuk mendapatkan pinjaman. Nopember bulan lalu, penjualan SBN/SUN jauh dari target. Jika upaya mencari pinjaman ini gagal, memang sangat berisiko.