Bertaqwalah Sebenar-benar Taqwa

Bertaqwalah Sebenar-benar Taqwa

Setiap kali menghadiri sholat jumat seorang muslim pasti akan mendengar sang khatib menyampaikan wasiat agar bertaqwa kepada Allah سبحانه و تعالى . Selanjutnya ia akan mengutip firman Allah سبحانه و تعالى berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran 102)

Di dalam ayat di atas Allah memerintahkan orang-orang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dengan حَقَّ تُقَاتِهِ “sebenar-benar taqwa”. Bila ada perintah agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, tentu itu berarti ada “taqwa yang tidak sebenarnya” alias “taqwa artifisial atau taqwa palsu”…! Apakah yang dimaksud dengan bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa?

Ahli tafsir di kalangan para sahabat, yakni Ibnu Abbas mengartikannya sebagai berikut:

أن يطاع فلا يعصى وأن يشكر فلا يكفر وأن يذكر فلا ينسى ويقال أطيعوا الله كما ينبغي

“Mematuhi Allah sehingga tidak bermaksiat, bersyukur kepada Allah sehingga tidak kufur nikmat dan mengingat Allah sehingga tidak melupakan-Nya. Sebagian juga mengartikannya sebagai mentaati Allah sebagaimana mestinya.”

Seorang muslim yang senantiasa mematuhi Allah, mensyukuri nikmat Allah dan selalu mengingat Allah, maka berarti dia telah mentaati Allah سبحانه و تعالى sebagaimana mestinya. Inilah hakikat bertaqwa kepada Allah سبحانه و تعالى dengan sebenar-benar taqwa. Pantaslah bilamana ia berhasil mengusahakannya, niscaya ia akan berpeluang besar untuk tidak menemui kematian kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى atau ia mati dalam keadaan beragama Islam, bukan mati jahiliyah apalagi mati kafir..! Sungguh itulah kemenangan sejati bagi seorang yang beriman di dunia dan ia akan memperoleh kebahagiaan yang jauh lebih baik di akhirat nanti.

Jika kita renungkan secara mendalam perintah ini, maka kita akan temukan kenyataan yang sungguh sangat tidak kondusif untuk dapat malaksanakannya. Mengapa? Karena dewasa ini sudah sangat meluas kesalah-fahaman banyak orang yang mengaku muslim akan ajaran Islam dan terlebih khusus akan makna “taqwa”.

Kita tahu bahwa di dalam surah Al-Baqarah terdapat ayat yang menghubungkan “ibadah” dengan “taqwa”. Berdasarkan ayat tersebut maka kita menjadi tahu bahwa untuk mencapai taqwa harus dengan jalan ibadah atau penghambaan diri kepada Allah سبحانه و تعالى .

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah (beribadahlah kepada) Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah 21)

Ayat di atas jelas-jelas menyebutkan koneksitas atau hubungan antara aktifitas beribadah dengan hasil menjadi orang yang bertaqwa. Jadi tidak bisa tidak untuk meraih ketaqwaan jalannya ialah melalui jalan ibadah kepada Allah سبحانه و تعالى . Namun kita perlu tahu bahwa ibadah harus memenuhi dua syarat agar diterima di sisi Allah سبحانه و تعالى . Kedua syarat itu ialah pertama, dalam mengerjakannya diniatkan semata untuk mencari keridhaan Allah سبحانه و تعالى. Inilah yang disebut dengan berniat ikhlas dalam segenap perbuatan. Lalu syarat kedua ialah ittiba’ yakni mengikuti contoh atau sunnah Nabi Muhammad di dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya Allah سبحانه و تعالى berfirman:

أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Sesunggunya Ilah kalian adalah Ilah yang Esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun”.(QS Al Kahfi 110)

Ibnu Katsir rohimahullah mengatakan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mengikuti syariat Allah سبحانه و تعالى (mengikuti petunjuk Nabi ). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.” Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah .”

Namun yang menjadi masalah ialah meluasnya pemahaman keliru mengenai makna ibadah atau penghambaan diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Banyak sekali orang yang mengaku muslim dewasa ini memahami kegiatan ibadah secara sempit dan sangat terbatas. Mereka membatasi kegiatan ibadah kepada Allah سبحانه و تعالى hanya dalam urusan-urusan sholat, puasa, zakat, nikah, talak, rujuk, haji, umroh serta dzikir dan doa. Mereka faham jika semua urusan itu perlu dilaksanakan sesuai agama. Tetapi di luar urusan-urusan itu mereka tidak merasa keberatan jika dilaksanakannya tidak berpedoman kepada agama atau mengikuti petunjuk Nabi Muhammad .

Dalam urusan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan-keamanan dan militer, maka banyak orang yang mengaku muslim tidak merasa ada masalah jika semua urusan yang begitu luas itu dilaksanakan bukan berpedoman kepada syariat Allah سبحانه و تعالى ..! Padahal semua hal tersebut semestinya juga menjadi lahan ibadah atau penghambaan diri seorang mukmin kepada Allah. Sebab pada hakikatnya Allah سبحانه و تعالى menciptakan manusia hadir ke muka bumi ini dengan satu program saja, yaitu ibadah kepada Allah سبحانه و تعالى …!

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah kepada)-Ku.” (QS Adz-Dzariyat 56)

Dan tentunya realitas pahit ini tidak terlepas dari dahsyatnya pengaruh the battle of hearts and minds (pertarungan merebut hati dan fikiran) yang dilansir oleh kaum kafir yang sedang diberi giliran kemenangan di dunia saat ini oleh Allah سبحانه و تعالى . Dunia dewasa ini sedang Allah gilirkan kepemimpinannya kepada kaum yahudi dan nasrani (baca: Eropa dan Amerika alias masyarakat barat). Hal ini sesuai dengan prediksi Nabi Muhammad limabelas abad yang lalu. Beliau telah peringatkan para sahabat bahwa akan datang suatu masa fitnah dimana Allah beri hak kepemimpinan dunia kepada kaum yahudi dan nasrani sehingga kaum muslimin mengekor kepada mereka dalam berbagai aspek kehidupan sehingga masuk ke dalam lubang biawak alias kebinasaan…!

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ

لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Rasulullah  bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun, maka kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum yahudi dan nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Muslim – shahih)

Tidak bisa kita pungkiri bahwa dewasa ini yang memimpin dunia ialah masyarakat barat yang tidak lain adalah masyarakat kaum yahudi dan nasrani. Sedemikian dominannya mereka sehingga mengarahkan segenap masyarakat dunia -termasuk kaum muslimin- agar mengikuti cara hidup mereka dalam berbagai aspek. Mereka promosikan ideologi sekularisme, pluralisme dan liberalisme, politik machiavelli-demokrasi, ekonomi kapitalisme-ribawi, budaya syahwat sebagai tujuan, hukum sebagai produk manusia dan militer nasionalisme dengan slogan “right or wrong is my country”. Semua aspek kehidupan tersebut sangat ditentukan oleh masyarakat barat dewasa ini. Dan kita lihat betapa hebatnya sebagian besar orang yang mengaku muslim mengekor tanpa ragu kepada apa yang mereka promosikan itu. Sampai masuk ke lubang biawak..! Wa na’udzubillaahi min dzaalika…

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah (cara hidup) mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah 120)

Jelas sekali berdasarkan ayat di atas Allah سبحانه و تعالى telah peringatkan kita bahwa kaum yahudi dan nasrani tidak bakal senang atau ridha kepada kaum muslimin sebelum kaum muslimin mengikuti millah (cara hidup) mereka. Kaum yahudi dan nasrani tidak terlalu gusar bila dalam urusan tertentu kaum muslimin ngotot mempertahankan agar pelaksanaannya berpedoman kepada agama. Bila kaum muslimin mengharuskan dalam urusan-urusan sholat, puasa, zakat, nikah, talak, rujuk, haji, umroh serta dzikir dan doa, semua itu berpedoman kepada agama, maka mereka tidak terlalu mempermasalahkan.

Tetapi yang penting dalam berbagai urusan yang jauh lebih luas cakupan dan efeknya seperti urusan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan-keamanan dan militer, maka kaum yahudi dan nasrani tidak akan rela bila itu semua juga diatur mengikuti pedoman agama atau petunjuk Nabi Muhammad . Semua urusan itu mereka pastikan harus mengikuti millah mereka. Padahal itu semua merupakan bagian dari hidup di dunia yang semestinya hanya diisi dengan program ibadah atau penghambaan diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Bagaimana bisa disebut ibadah bila di dalam pelaksanaannya bukan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad ? Biarpun di dalam niyat mengerjakannya sudah dimaksudkan untuk semata meraih keridhaan Allah, namun bila di dalam pelaksanaannya malah mengikuti millah kaum yahudi dan nasrani bukan tuntunan Nabi Muhammad , maka mustahil ia akan diterima di sisi Allah سبحانه و تعالى . Dan mustahil segenap kegiatan tersebut akan mengantarkan seseorang kepada taqwa..!

Dan jika segenap urusan tersebut tidak bernilai sebagai ibadah di sisi Allah, berarti mustahil pelakunya bisa meraih “taqwa kepada Allah sebenar-benar taqwa”. Ia hanya memperoleh taqwa parsial atau sektoral. Malah boleh jadi ia hanya meraih taqwa yang palsu. Dan jika ia tidak kunjung berhasil meraih taqwa sebenar-benar taqwa, maka bagaimana mungkin ia bisa berharap “meraih kematian dalam keadaan sebagai muslim”? Mungkin masih ada harapan kebaikan jika ia wafat dalam keadaan sedang sholat atau puasa atau haji yang mana pelaksanaannya masih mengikuti pedoman agama. Tetapi bagaimana jika Allah wafatkan ia sedang terlibat dalam urusan politik atau ekonomi yang pelaksanaannya bukan berpedoman kepada agama Islam, tetapi mengikuti millah yahudi dan nasrani..! Wa na’udzubillahi min dzaalika….